Latar belakang: Leiomioma uteri merupakan tumor jinak dengan prevalensi yang cukup tinggi dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh hormon steroid. Sementara itu masih terdapat pertentangan pada penelitian mengenai ekspresi reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada leiomioma uteri, serta belum dipahami tentang etiologi dan patogenesis leiomioma uteri. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada leiomioma uteri. Metoda: Penelitian ini merupakan analitik observasional dengan rancangan case control design, dilakukan di Laboratorium Patologi anatomi Rumah sakit umum pusat Dr. Kariadi, Semarang. Populasi penelitian adalah blok histopatologi dengan diagnosa leiomioma uteri pada tahun 2017. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana, setelah memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Berdasarkan karakteristik usia pada kelompok leiomioma uteri, yang terbanyak adalah kelompok usia > 40 tahun. Dari segi karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT), pada kelompok Leiomioma uteri IMT yang paling banyak dijumpai adalah normoweight, tetapi terdapat kecendrungan kasus Leiomioma uteri meningkat pada IMT yang lebih tinggi, dengan jumlah kumulatif pada IMT overweight dan obese adalah sebanyak 6 kasus (40%). Karakteristik paritas pada kelompok Leiomioma uteri yang terbanyak adalah nullipara yaitu 7 kasus (46,7%). Seluruh kelompok leiomioma uteri mengeskpresikan reseptor estrogen dengan rerata skor 7,20 ± 0,78 dan reseptor progesteron dengan rerata skor 7,47 ± 0,74. Pada pengujian Mann-whitney terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi reseptor estrogen antara jaringan leiomioma uteri dan miometrium normal (p = 0,045). Dan terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi reseptor progesteron antara jaringan Leiomioma uteri dan miometrium normal (p = 0.022). Pada pengujian dengan uji korelasi spearman’s terhadap ekspresi RE dan RP dihubungkan dengan karakteristik usia, index massa tubuh dan paritas, didapatkan hasil yang tidak signifikan. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ekspresi ER dan PR terhadap karakteristik usia, index massa tubuh dan paritas pada pasien leiomioma uteri. Kata kunci: Leiomioma uteri, miometrium, reseptor estrogen, reseptor progesteron
Latar belakang : Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) adalah salah satu kanker yang sering terjadi di seluruh dunia. Penelitian-penelitian mengenaik KSSRM tidak sebanyak penelitian karsinoma sel skuamosa di organ lain, padahal keganasan ini menimbulkan angka kecacatan dan kematian terutama apabila sudah didapati adanya metastasis. Parameter histopatologik dengan menggunakan p53 dan E-cadherin diharapkan dapat membantu penilaian prediksi progresifitas dan prognosis pada KSSRM, akan tetapi data lebih lanjut masih diperlukan. Tujuan: Mengetahui ekspresi p53 dan E-cadherin pada pasien KSSRM dengan dan tanpa metastasis di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan desain cross sectional. Sebanyak 33 blok histopatologi RSUP dr. Kariadi Semarang dengan diagnosis karsinoma sel skuamosa rongga mulut tahun 2015-2018 dilakukan pengecatan immunohistokimia antibody p53 dan E-cadherin. Analisa hasil dengan menggunakan Uji Mann Whitney. Hasil : Pada analisa Mann Whitney terdapat perbedaan tidak bermakna untuk p53 (p=0,056) antara pasien KSSRM tanpa dan dengan metastasis. Pada E-cadherin terdapat perbedaan bermakna (p=0,001) antara kelompok KSSRM tanpa metastasis dengan kelompok metastasis. Kesimpulan : Ekspresi imunohistokimia E-cadherin dapat menjadi predictor prognostic pada KSSRM tetapi dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Kata kunci : karsinoma sel skuamosa rongga mulut, metastasis, p53, E-cadherin
Latar Belakang : Menurut Badan Internasional untuk Penelitian, Database GLOBOCAN 2012, kanker prostat merupakan penyebab utama kelima kematian pada pria.2 Pemahaman tentang peran onkogen dan tumor suppressor genes mendominasi penelitian tentang biologi kanker saat ini dan berpotensi menghasilkan target terapi kanker terbaru. Salah satu yang perannya pada adenokarsinoma prostat yang masih belum jelas ialah Her-2 dan Ki-67.5 Perbedaan ekspresi profil molekular Her-2 dan Ki-67 yang dianalisa berdasarkan Gleason Grade diharapkan membantu prognosis penyakit dan resiko metastasis pada kanker prostat. Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ekspresi Her-2 dan Ki-67 pada Gleason Grade adenokarsinoma asinar prostat di RSUP Dr. Kariadi. Metode: Merupakan penelitian observatif analitik dengan desain cross-sectional menggunakan 31 blok histopatologi laboratorium Patologi Anatomik RSUP dr. Kariadi, dengan diagnosis Adenokarsinoma Asinar Prostat tahun 2015 – 2017. dilakukan pengecatan imunohistokimia menggunakan antibodi Her-2 dan Ki-67. Analisa hasil menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji Spearman. Hasil : Terdapat perbedaan dan korelasi signifikan antara ekspresi Ki-67 dengan Gleason grade. Terdapat perbedaan yang tidak signifikan, dan tidak terdapat korelasi antara ekspresi Her-2 dengan Gleason Grade. Kata kunci : Adenokarsinoma asinar prostat, Her-2, Ki-67, Gleason grade
Latar belakang: Laparoskopi merupakan salah satu tindakan bedah paling umum dan telah berkembang. Tindakan pembedahan dapat menginduksi respons inflamasi akut dan menyebabkan banyak komplikasi yang dapat terjadi. Peran prediktif RNL dapat sebagai penanda inflamasi, serta menunjukkan bahwa RNL dapat menjadi sebuah indicator prediktif yang berguna untuk menilai nyeri pasca operasi yang dihasilkan dari jalur inflamasi sekunder akibat adanya trauma pembedahan. Tujuan : Membandingkan penggunaan remifentanil dan fentanil terhadap rasio neutrofil limfosit pada operasi laparoskopi ginekologi. Metoda: Penelitian ini merupakan eksperimental single blind randomized. Variabel merupakan pasien yang menjalani operasi laparoskopi ginekologi dengan counsecutive sampling yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok 1 diberikan analgetik remifetanil dengan dosis 1 mcg/kgbb serta dosis rumatan 0,05 mcg/kgbb/jam dan kelompok 2 diberikan fentanil dengan dosis induksi 2 mcg/kgbb serta dosis rumatan 0,5 mcg/kgbb/jam. Sebelum induksi dicatat heart rate (HR), mean atrial pressure (MAP) dan selama durante operasi tiap 15 menit. Rasio Netrofil Limfosit (RNL) dinilai pre dan paska operasi, NRS dicatat 30 menit setelah pasien berada di ruang pemulihan. Hasil: Penelitian ini terdapat 36 sampel dengan perbandingan data awal berat badan, tinggi badan dan body weight index p . 0,05. Perbandingan nilai rerata RNL post operasi didapatkan nilai p sebesar 0,050. Nilai RNL pre dan post operasi didapatkan p
Latar belakang: Kecemasan praoperatif secara umum terjadi pada pasien yang akan menjalani prosedur pembiusan dan pembedahan elektif. Kecemasan praoperatif dapat mempengaruhi beberapa aspek perioperatif. Kebutuhan obat premedikasi dan analgetik yang lebih besar pada saat induksi, dosis obat pemeliharaan anestesi yang lebih besar, kebutuhan obat analgetik pascabedah yang lebih besar dan fase pemulihan pasien. Video adalah metode praktis untuk menyediakan standar informasi pra operasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian informasi yang dibantu multimedia kepada pasien dapat meningkatkan pengetahuan mereka, mengarah ke hasil yang lebih baik pada kuesioner pengetahuan daripada penyediaan informasi verbal secara tatap muka. Tujuan : Membandingkan tingkat kecemasan pasien yang diberi edukasi video pembiusan pre operasi dan yang tidak diberi edukasi pada operasi vitrektomi. Metoda: Penelitian ini merupakan uji klinik randomized clinical trial pada pasien dewasa yang menjalani operasi vitrektomi dengan ASA 1-2. Dengan random sampling dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok video dan tidak video yang dinilai kecemasannya dengan menggunakan APAIS score. Dan pengolahan data statistic menggunakan uji Chi-square test. Hasil: Terdapat 36 pasien yang menjalani operasi vitrektomi, pada kelompok perlakuan 88,9% tidak mengalami kecemasan dan 11,1% orang mengalami kecemasan. Sedangkan kelompok yang tidak diberi perlakuan terdapat 11,1% yang tidak mengalami kecemasan dan 88,9% mengalami kecemasan. Dengan hasil statistic chi square perbedaan 2 kelompok tersebut sangat bermakna dengan p
Latar belakang: Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan. Penilaian nyeri merupakan hal penting untuk mengetahui intensitas dan menentukan terapi yang efektif. Salah satu penilaian nyeri adalah Numeric rating scale (NRS). Analgetik opioid umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri paska operasi. Blok Transverse Abdominis Plane (TAP) merupakan teknik anestesi regional yang digunakan dengan cara memblokir saraf aferan. Selain itu blok TAP mudah diaplikasikan didaerah, tekhnik yang mudah dan efek samping yang ringan. Tujuan : Mengetahui efektivitas antara analgetik blok TAP dibandingkan dengan fentanil syring pump pada pasien paska seksio sesaria. Metoda: Jenis penelitian ini merupakan quasy eksperimental dengan desain post test. Variabel yang digunakan adalah pasien yang menjalani operasi seksio sesaria dengan simple random sampling yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok 1 diberikan analgetik blok TAP dan kelompok 2 diberikan fentanil syring pump, masing-masing dinilai skor NRS, mual muntah tiap 6 jam selama 24 jam, serta dinilai kebutuhan biaya yang dikeluarkan. Analisis bivariat menggunakan chi square untuk data kategorik-kategorik, sedangkan data kategorik – numeric menggunakan T test tidak berpasangan. Hasil: Terdapat 36 sampel penelitian. Efek samping mual muntah dan NRS dinilai pada tiap kelompok setiap 6 jam. Pada jam ke 6 dan 12 terdapat 1 subjek yang diberik drip fentanil mengalami mual muntah. Terdapat perbedaan nilai NRS dari jam ke 6 – 12 dengan p>0.05. Serta terdapat selisih biaya sebesar Rp. 75.000,00. Kesimpulan : Terdapat perbedaan skor nyeri dan mual muntah tetapi secara interpretasi NRS dan secara statsitik tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Terdapat selsisih biaya yang diperlukan sebesar Rp. 75.000,00 dimana blok TAP lebih murah. Kata kunci: anestesi, analgetik, blok TAP, fentanil, NRS
Latar belakang: Prosedur operasi tulang belakang umumnya berkaitan dengan terjadinya nyeri hebat pada periode pasca operasi. Prevalensi kejadian nyeri pasca laminektomi adalah sebesar 60% yang dapat berkembang menjadi nyeri kronis. Tren terkini dalam manajemen nyeri pada operasi tulang belakang yaitu menggunakan analgesic adjuvant untuk mengurangi dosis opioid yang digunakan. Salah satu adjuvant yang digunakan adalah ketamin. Ketamin adalah antagonis N-methyl-d-aspartate reseptor yang telah menunjukkan manfaatnya dalam menurunkan nyeri pascaoperasi dan kebutuhan analgetik pada beberapa macam operasi. Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh pemberian ketamin dosis subanestesi intraoperasi terhadap kebutuhan morfin sebagai analgetik pasca operasi tulang belakang. Metoda: Penelitian acak terkontrol terhadap 32 pasien yang menjalani operasi tulang belakang, yang memenuhi criteria yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan mendapatkan ketamin dosis awal 0,25 mg/kgbb dilanjutkan dosis kontinyu 10 mcg/kgbb/menit selama operasi, sedangkan kelompok control tidak diberikan ketamin. Hasil: Penggunaan morfin dengan PCA selama 24 jam pasca operasi pada kelompok yang diberi ketamin dosis subanestesi, secara bermakna (p=0,002) lebih sedikit (10,19 mg ± 3,39) dibandingkan kelompok control (17,81 mg ± 10,30). Pemakaian fentanyl intraoperasi pada pemberian ketamin secara bermakna (p
Latar belakang: Intubasi endotrakeal menghasilkan rangsangan simpatoadrenergik yang emnyebabkan peningkatan tekanan darah, takikardia dan bahkan aritmia. Fentanyl adalah opioid yang umum digunakan tetapi dapat menyebabkan bradikardia, mual dan depresi pernafasan pasca operasi dalam prosedur bedah durasi pendek. Remifentanil adalah agonis opioid µ selektif dengan 2 kali lebih poten disbanding fentanil. Onset cepat dan durasi yang singkat menjadikan remifentanil pilihan yang berguna untuk intubasi pada pasien berisiko. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antara remifentanil dengan fentanyl dalam menurunkan respon perubahan hemodinamik pasca intubasi endotrakeal. Metoda: Dilakukan uji klinis acak tersamar terhadap 86 pasien di RSUP dr. Kariadi yang direncanakan intubasi endotrakeal serta memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 diberikan premidekasi remifentanil 1 µg/Kg BB IV bolus selama 1 menit dan kelompok II diberikan 2 µg/Kg BB IV 5 menit sebelum dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Pada menit 1, 3 dan ke 5 pasca laringoskopi dan intubasi endotrakeal dilakukan pencatatan tekanan sistolik, tekanan diastolic, tekanan arteri rerata dan nadi. Uji hipotesis menggunakan independent T-test dengan hasil sebaran data normal. Hasil: Remifentanil di banding dengan fentanyl dapat menurunkan perubahan hemodinamik (sistolik, diastolic, tekanan arteri rerata dan nadi) pasca intubasi endotrakeal secara signifikan pada menit 1, dan 3 namun tidak signifikan pada menit ke 5. Kesimpulan : Premidekasi remifentanil 1 µg/Kg BB IV terbukti lebih efektif menurunkan perubahan hemodinamik pasca intubasi endotrakeal baik nadi dan tekanan darah dibandingkan fentanyl 2 µg/Kg BB IV. Kata kunci: fentanil, intubasi, remifentanil, premedikasi
Tujuan : Membuktikan rerata penurunan skor ketangkasan tangan (Nine hole peg test) pada penderita stroke kronik yang mendapatkan penambahan radial shock wave therapy (RSWT) lebih besar dari kelompok control. Rancangan : Simple randomized controlled pre and post test experimental design. Subjek : 30 subjek penderita stroke kronik yang berusia 40-65 tahun. Tempat: Poliklinik Rawat Jalan Rehabilitasi Medik RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang. Waktu : November-Desember 2018. Metode : Tiga puluh subjek dikumpulkan dan dibagi menjadi kelompok perlakuan (n=15) mendapatkan intervensi RSWT pada muscle belly otot fleksor wrist pada ventral lengan bawah dan otot intrinsic tangan 1 kali per minggu, terapi infrared dan latihan peregangan pada ekstremitas atas 3 kali per minggu, selama 6 minggu berturut-turut; dan kelompok control (n=15) mendapatkan terapi infrared dan latihan peregangan pada ekstremitas atas 3 kali per minggu, selama 6 minggu berturut-turut. Hasil pengukuran utama : Ketangkasan tangan diukur dengan nilai nine hole peg test pada sebelum dan akhir minggu ke-6 intervensi. Hasil : Terdapat perbedan yang bermakan rerata skor nine hole peg test pada sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok control. Tidak terdapat perbedaan bermakna penurunan rerata skor nine hole peg test kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok control. Simpulan : Penambahan radial shock wave therapy tidak terbukti berpengaruh terhadap ketangkasan tangan. Kata kunci : radial shock wave therapy, stroke kronik, ketangkasan tangan, rehabilitasi
Buku ini terbagi atas 3 bagian, antara lain: Bagian 1 Konsep dasar imuno-onkologi Bab 1. Perkembangan kanker dalam konteks imunologi Bab 2. Immunosurveillance dan immunoediting Bab 3. Mekanisme efektor sistem imun terkait kanker Bab 4. Lingkungan mikro tumor (Tumor Microenvironment, TME) Bab 5. Defek sistem imun terkait kanker Bab 6. Rekayasa imunologik pada kanker Bagian 2 Imuno-onkologi klinik Bab 1. Prinsip dasar imunoterapi kanker Bab 2. Antibodi monoklonal Bab 3. " Immune chekpoint" sebagai sasaran terapi kanker Bab 4. Cell-based immunotherapy Bab 5. Immune-related respon criteria dan immune-related adverse events Bab 6. imunoterapi pada berbagai keganasan Bagian 3 Laboratorium imuno-onkologi klinik Bab 1. Uji kuantitas sel imun Bab 2. Uji fungsi/aktivitas sel imun Bab 3. Pemrosesan sel imun Bab 4. Praktek manufaktur yang baik dan praktik laboratorium yang baik