Latar belakang : Ruptur aneurisma intrakranial merupakan penyebab tersering (85%) perdarahan subarahnoid (PSA) spontan, yang merupakan kegawatan medis dan dapat menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas. FAktor risiko dari pasien dan karakteristik aneurisma berguna dalam menunjang menajemen klinis dari aneurisma intrakranial. Multidetector computed tomography angiography (MDCTA), sebagai alat diagnostik non invasif, telah digunakan secara luas dalam imaging pembuluh darah otak. Tujuan : Mengetahui hubungan antara faktor risiko dan karakteristik aneurisma dengan kejadian perdarahan intrakranial yang didiagnosis menggunakan CT angiografi. Metode : Studi cross-sectional pada penderita dengan aneurisma intrakranial yang telah dilakukan pemeriksaan MDCTA dari data rekam medis di RSUP dr. KAriadi Semarang mulai Juli 2012 - Juni 2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Faktor risiko diambil dari data rekam medik dan karakteristik (bentuk, lokasi, jumlah dan ukuran) aneurisma dievaluasi oleh dua orang spesialis radiologi yang independen dari hasil MDCTA. Analisis statistik bivariate menggunakan chi square. Hasil : Faktor risiko penderita aneurisma intrakranial yang mengalami pendarahan intrakranial terbanyak berusia < 60 tahun 66,7%, laki-laki 66,7%, hipertensi 77,3%, dan merokok 85,7% sedangkan karakteristik aneurisma terbanyak pada bentuk sakular 68,9%, berukuran > 7 mm serta 87,5% berlokasi di sirkulasi posterior 66,7% dan tunggal 66,7%. Kesimpulan : Faktor risiko yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial pada pasien aneurisma adalah hipertensi dan karakteristik aneurisma (bentuk, lokasi, jumlah dan ukuran) tidak berhubungan dengan kejadian perdarahan intrakranial. Kata kunci : aneursima intrakranial, MDCTA, faktor risiko dan karakteristik aneurisma
Latar belakang : Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Prinsip dasar penatalaksanaan nyeri akut harus ditujukan mencegah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. HAl ini bisa dicapai jika penanganan nyeri sebelum terjadinya nyeri itu sendiri. Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian deksketoprofen dan parasetamol intravena sebelum dan setelah insisi pada tikus wistar terhadap kadar prostaglandin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental desain randomized pre and post test only control group design. Sampel adalah 14 ekor tikus wistar jantan dengan kriteria tertentu, dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 (K1) merupakan kelompok yang diberi deksketoprofen 0,9 mg intravena sebelum insisi dan kelompok 2 (K2) merupakan kelompok yang diberi parasetamol 18 mg intravena sebelum insisi. Pengambilan sampel berupa serum darah untuk pemeriksaan kadar prostaglandin dilakukan sebelum pemberian deksketoprofen maupun parasetamol dan pemberian dilakukan 30 menit sebelum dilakukan insisi, 1 jam pasca insisi dilakukan pengambilan sampel darah pada kedua kelompok guna membandingkan kadar prostaglandin pre dan post insisi. Uji statistik normalitas data dengan Shapiro-wilk, pre and post dengan pair t test dilanjutkan wilcoxon. Uji beda K1 dan K2 menggunakan independent t test dan man whitney. Hasil : Rata-rata kadar prostaglandin pada kelompok 1 sebsar 4811,08 + 1180,39 (pre test) dan 1022,75 + 667,2 (post test). Kelompok 2 2271,53 + 1555,96 (pre test) dan 544,63 + 446,49 (post test). Pada uji beda kadar prostaglandin dengan uji paired T-test didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K1 pre dan post (p=0,001) dan kelompok k2 juga didapatkan berbeda bermakna pada pre dan post (p=0,018). Pada uji selisih penurunan antar kelompok K1 dan kelompok K2 terdapat kadar prostaglandin dengan menggunakan uji Independent T-test didapat hasil yang berbeda bermakna (p=0,024). Kesimpulan : Deksketoprofen dan parasetamol dapat digunakan untuk menurunkan kadar prostaglandin dimana deksketoprofen memiliki kemampuan dalam menurunkan kadar prostaglandin yang lebih baik dibandingkan parasetamol. Kata kunci : deksketoprofen, parasetamol, prostaglandin
Latar belakang : Terdapat berbagai model sistem severity of illness, digunakan untuk memprediksi mortalitas, keefektifitasan dan lama rawat di perawatan intensif, memprediksi jumlah perawat yang secara efektif dapat menangani pasien, banyaknya pasien yang dirawat dirumah sakit, penghitungan beban biaya kesehatan dan salah satu komponen evaluasi performance ICU. Diperlukan penilaian validitas antara sistem severity of illness sehingga dapat diterapkan secara maksimal di perawatan intensif. Tujuan : Membandingkan validitas sistem skoring APACHE II, MSOFA dan SAPS 3 terhadap mortalitas pasien ICU non bedah di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan desain kohort retrospektif. Sampel sebanyak 135 sampel dipilih berdasarkan simple random sampling, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Missing value yakni bilirubin dinilai dan dipertimbangkan dalam interpretasi data. Validitas diperoleh dengan melakukan kalibrasi dan diskriminasi dari hasil penelitian kemudian dibandingkan antara hasil yang didapat. Normalitas data menggunakan uji kolmogorov smirnoff, sementara homogenitas menggunakan uji Levenne. Sampel dikalibrasi dengan uji Hosmer LAmeshow goodness of fit C dan area under the receiver operating curve. Penilaian diskriminasi dilakukan dengan uji diagnostik dengan membuat tabel 2x2 dengan komponen pasien outcome, dengan model parsimoni dari tiap-tiap model skoring. Hasil : Kurva ROC memberikan nilai auROC untuk scoring APACHE II, MSOFA dan SAPS 3 dengan hasil 0,7981, 0,7620, 0,785. Dari hasil tersebut, ketiga penilaian berada pada nilai baik. APACHE II lebih sensitif (83,3%) dari pada MSOFA (82,6%) maupun SAPS 3 (79,6%). Kesimpulan : Sistem skoring APACHE II, MSOFA dan SAPS 3 cukup baik untuk digunakan sebagai mortalitas dengan APACHE II lebih valid dibandingkan MSOFA dan SAPS 3. Kata kunci : validitas, APACHE II, MSOFA, SAPS 3