Latar Belakang : Terapi kejang listrik (Electroconvulsive Therapy) merupakan pilihan pengobatan andalan dalam Psikiatri selain terapi farmakoterapi. Diberikan pada pasien dengan penyakit berat yang membutuhkan tatalaksana cepat atau pada pasien yang mengalami kegagalan terapi farmakologis. Penggunaan sedasi pada ECT dapat menimbulkan penurunan ambang kejang, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan efek terapi ECT. Sehingga diperlukan kombinasi sedasi yang tepat, agar tidak mempengaruhi hasil ECT. Tujuan : Mengetahui perbandingan pengaruh Propofol 1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV dengan Midazolam 0,1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV terhadap efektifitas terapi kejang listrik. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain cross sectional dengan sampel 44 pasien. Sampel adalah semua pasien yang mendapatkan terapi kejang listrik dengan anestesi pada Bangsal Kenari RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemilihan sampel dilakukan dengan simple random sampling, sampel dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing dilakukan pengukuran durasi kejang motorik dan EEG, tekanan arteri rerata, nadi pasien, dan skor PANSS, data dikumpulkan dan dicatat untuk dianalisis. Hasil : Terdapat perbedaan yang bermakna pada durasi kejang dan perbedaan yang tidak bermakna pada hemodinamik serta skor PANSS setelah pemberian Propofol 1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV dibandingkan dengan midazolam 0,1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV pada terapi kejang listrik. Simpulan : Pemberian propofol menawarkan stabilitas hemodinamik yang baik dan durasi kejang yang lebih optimal dan perbaikan skor PANSS. Kata Kunci : Terapi elektrokonvulstif, Propofol, Midazolam
Latar belakang : Kraniotomi disasosiasikan dengan stimulus intens yang membutuhkan anti nyeri untuk memelihara kedalaman anestesi. Opioid dapat menurunkan kebutuhan obat hipnotis dan sedasi serta mempertahankan respon hemodinamik pada batas normal saat diberikan stimulasi nyeri kuat. Opioid sintetik,fentanyil sering digunakan dimana tidak memiliki efek besar pada perubahan cerebral blood flow (CBF). Opioid dengan onset kerja ultra-pendek seperti remifentanil mulai populer karena memiliki efek serupa pada TIK dan tekanan perfusi otak (CPP) dibandingkan fentanil. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektivitas antara remifentanil dan fentanil intravena pada operasi kraniotomi elektif. Metode : Penelitian dilakukan dengan uji klinis acak pada pasien yang menjalani operasi kraniotomi elektif di Instalasi Bedah Sentral RSUP Kariadi Semarang. Pasien dibagi menjadi dua kelompok; kelompok pertama mendapat remifentanil intravena 3 menit sebelum induksi dengan bolus 1mcg/kgbb selama 30 detik dilanjutkan dosis pemeliharaan diberikan secara kontinus intravena dengan syringe pump dengan dosis 0,2 mcg/kgbb/menit dihentikan pada saat jahitan kulit selesai., dan kelompok kedua mendapatkan fentanil intravena 3 menit dengan dosis bolus 2 mcg/kgbb dilanjutkan dosis pemeliharaan diberikan secara kontinus intravena dengan syringe pump dengan dosis 0,02 mcg/kgbb/menit dengan terakhir pemberian obat saat pin kepala dilepas. Dicatat data hemodinamik, kebutuhan obat yang berhubungan dengan anestesi, agen inhalasi sevoflurane dan waktu membuka mata. Analisa statistik data tidak normal dengan Mann-whitney test. Data sebaran normal dengan independent T test. Hasil : Pada kelompok remifentanil rata-rata total penggunaan propofol adalah 992,50 ± 708,87 mg dan 1184,17 ± 1056,55 mg pada kelompok fentanil,nilai p 0,506. Pada kelompok remifentanil untuk rata-rata total penggunaan rocuronium 119,17 ± 88,78 mg dan 148,75 ± 106,82 mg pada kelompok fentanil dengan nilai p 0,310. Pada penggunaan sevoflurane pada kelompok remifentanil rata-rata 90,58 ± 38,26 ml sedangkan pada kelompok fentanil 104,58 ± 59,33 ml dan hasil kurang bermakna dengan nilai p 0,222. Penggunaan naloxone pada kedua kelompok yang didapatkan hasil yang bermakna dengan nilai p 0,019 (p
Latar Belakang: Lower Limb Orthopedic Surgery merupakan tindakan bedah ortopedik pada ekstremitas inferior yang meliputi tulang, sendi, dan vaskuler. Peningkatan interleukin-6 (IL-6) sistemik setelah pembedahan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasca operasi. Ketamin dan parasetamol mempengaruhi ekspresi IL-6. Tujuan: Membandingkan pengaruh pemberian ketamin 0.1mg/Kg IV dengan parasetamol 1000 mg IV terhadap kadar IL-6 pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery yang mendapatkan regional anestesi. Metode: Randomized Control Trial pada 54 pasien yang telah menjalani Lower Limb Orthopaedic Surgery dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok yang terdiri dari kontrol (K); epidural bupivacaine 0.125%, Perlakuan 1 (P1); dengan tambahan ketamin 0.1 mg/KgBB IV dan Perlakuan 2 (P2); dengan tambahan parasetamol 1000 mg IV pasca operasi. Sampel darah diambil 2 jam pasca operasi untuk diukur kadar interleukin-6 menggunakan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Analisis dilakukan dengan uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan post hoc uji Mann-Whitney dan hasil signifikan jika nilai p
Latar Belakang : Keganasan pada anak relatif jarang diperkirakan 5% dari semua jenis keganasan. Kemoterapi merupakan terapi utama untuk beberapa jenis keganasan pada anak. Jenis kemoterapi platinum dapat menyebabkan gangguan pendengaran karena bersifat ototoksik (60-70%). Gangguan pendengaran dapat di deteksi dini dengan pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE). Tujuan : Mengetahui hubungan jenis dan jumlah siklus kemoterapi dengan gangguan emisi akustik pada keganasan anak. Metode : Penelitian belah lintang pada 89 anak dengan keganasan di RSUP Dr.Kariadi Semarang. Kriteria inklusi adalah pasien telah menjalani minimal 3 siklus kemoterapi, Timpanometri tipe A orang tua/pasien setuju diikutkan dalam penelitian. Kriteria eksklusi yaitu bila terdapat riwayat kelainan kongenital, keterlambatan bicara, diabetes melitus hipertensi, penyakit jantung, gagal ginjal, pemakaian obat-obatan (antibiotik, NSAID, kina) dalam jangka lama, radiasi kepala dan leher, riwayat paparan bising serta penderita dengan perubahan regimen kemoteapi ditengah pengobatan. Gangguan emisi akustik dinilai dari hasil OAE dengan kriteria hasil pemeriksaan pass ≤5 frekuensi dan SNR 3 kali, 28 pasien (35,1%) yang mengalami gangguan emisi akustik. Uji chi-square menunjukkan hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi platinum (p 0,0005), jumlah siklus > 3 kali (p 0,042) dengan dengan gangguan emisi akustik. Kesimpulan : Jenis kemoterapi platinum, siklus kemoterapi >3 kali berhubungan dengan gangguan emisi akustik pada anak dengan keganasan. Kata kunci: Kemoterapi, gangguan emisi akustik, keganasan anak
Latar Belakang: Bahaya asap rokok semakin meningkat tiap tahun menghasilkan sejumlah efek kesehatan yang merugikan termasuk penyakit pada gangguan tuba eustachius. Penelitian yang membahas tentang perubahan histopatologi tuba eustachius yang diinduksi atau dipaparkan asap rokok masih sangat terbatas, terlebih pada tingkat dosis tertentu. Tujuan: Mengetahui pengaruh paparan asap rokok dosis bertingkat dengan perubahan histopatologi tuba eustachius tikus wistar. Metode: Penelitian true experiment with post-test only control group design menggunakan tikus wistar sebagai subjek penelitian. Jumlah tikus masingmasing kelompok adalah 6 ekor. Total tikus wistar yang digunakan adalah 24 ekor. Penelitian ini dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol yang tidak diberi paparan asap rokok. Pada kelompok perlakuan 1,2,3 masing-masing diberi paparan asap rokok 4 batang, 8 batang, 12 batang per hari selama 30 hari. Preparat dilihat dan dinilai oleh 2 analisis Patologi Anatomi. Data primer yang telah diperoleh diolah dengan program komputer. Ethical clearance diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Hasil: Perbedaan bermakna didapatkan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2, kelompok perlakuan 2 dan perlakuan 3. Hasil analisis menunjukkan terdapat perubahan histopatologi tuba eustachius tikus wistar dengan pemberian asap rokok dosis bertingkat. Kesimpulan: Asap rokok dengan dosis bertingkat memiliki pengaruh terhadap perubahan histopatologi tuba eustachius. Kata Kunci: asap rokok, tuba eustachius,rokok filter
Latar belakang : Menyelam merupakan kegiatan yang memiliki resiko besar dimana terjadi perubahan tekanan pada tubuh dengan lingkungan sekitar. Telinga dalam merupakan salah satu organ yang sering mengalami cidera akibat menyelam sehingga menimbulkan kerusakan outer hair cell (OHC). Kerusakan OHC tersebut dapat disebabkan oleh perubahan tekanan saat masuk dan keluar dari air. Perubahan ini mempengaruhi aliran oksigen ke stria vaskularis sehingga dapat menyebabkan kurang pendengaran sensori neural. Tujuan : Membuktikan sensitivitas dan spesifisitas OAE lebih baik dibandingkan pemeriksan audiometri pada penilaian kerusakan outer hair cell (OHC) berkaitan dengan kurang pendengaran sensorineural pada penyelam dengan atau tanpa keluhan kurang pendengaran. Metode : Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan menilai sensitivitas dan spesifisitas OAE dengan pengambilan sampe menggunakan consecutive sampling. Sampel merupakan penyelam self contained underwater breathing apparatus (SCUBA), yang dilakukan pemeriksaan timpanometri, Distortion Product Otoacouatic Emissions (OAE) dan audiometri. Analisis uji diagnostik sensitivitas dan spesifisitas menggunakan tabel dua kali dua dengan indeks OAE dan standar referensi audiometri. Hasil : Sampel sebanyak 23 dilakukan pemeriksaan selama maret hingga mei 2020. Hasil pemeriksaan OAE dalam menilai sensitivitas kerusakan OHC sebesar 66,7%, dengan spesifitas 40 %. Simpulan : Pemeriksaan OAE memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 66.7% dan 40% dalam menentukan kurang pendengaran SNHL pada penyelam, tidak lebih baik dari pada audiometri. Kata kunci: Penyelam, Otoacouatic Emissions (OAE), Distortion Product Otoacouatic Emissions (OAE), Outer Hair Cell (OHC), Sensory Neural Hearing Loss (SNHL)
Latar belakang: Gangguan pendengaran yang terjadi pada penerbang karena tingginya intensitas terpapar bising oleh pesawat/helikopter. Tingkat kebisingan helikopter berkisar 104-110 dB.Jam terbang, trauma akustik, DM, hipertensi dan merokok dapat mempengaruhi kejadian gangguan dengar. Tujuan: Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada Kru Helikopter Militer Puspenerbad Semarang. Metode: Penelitian observasional dengan design belah lintang pada kru penerbang helikopter Puspenerbad Semarang, usia 20-58 tahun, sampel ditentukan sebanyak 96. Gangguan pendengaran terdiri dari kurang dengar dan tinitus. Kurang pendengaran dinilai dengan pemeriksaan otoskopi dan audiometri. Tinitis didapatkan dari anamnesis. Riwayat operasi telinga sebelumnya, infeksi pada telinga luar dan telinga tengah, serta riwayat atau pernah mengkonsumsi obat- obatan yang bersifat ototoksik (kanamisin, cisplatin dan carboplatin) dieksklusikan. Analisis data menggunakan uji chi-square dan fisher’s exact serta yates correction. Hasil: Seratus empat belas sampel dengan rerata umur 26,54+ 4,72 semua berjenis kelamin laki laki. Beberapa faktor seperti jam terbang (p=0,698), trauma akustik (p=0,151), diabetes melitus (p=0,596), merokok (p=0,222), hipertensi (p=0,356) tidak berhubungan dengan kurang dengar sensorineural. Beberapa faktor seperti jam terbang (p=0,706), trauma akustik (p=0,5160), diabetes melitus (p=0,789), merokok (p=0,495), hipertensi (p=0,112) tidak berhubungan dengan tinitus. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara jam terbang, trauma akustik, diabetes melitus, hipertensi, dan merokok dengan gangguan pendengaran Kata kunci: Kurang dengar, tinitus, kru helikopter
Latar belakang : Penyakit alergi dapat bermanifestasi ke berbagai sistem jaringan dan organ, apabila mengenai saluran pernapasan bermanifestasi sebagai rinitis alergi. Rinitis alergi sebagai inflamasi kronik pada saluran pernapasan memicu rekruitmen berbagai mediator inflamasi pada mukosa paru. Peningkatan eosinofil, neutrofil dan limfosit yang memiliki efek toksi pada jaringan. Nigella sativa dapat menurunkan mediator inflamasi, menghambat sekresi sitokin dan menekan degranulasi sel mast. Zink berperan dalam mengurangi proliferasi sel Th2, perbaikan jaringan dan antioksidan enzim sehingga mengurangi hiperresponsif saluran nafas. Tujuan: Mengetahui pengaruh Nigella sativa dan zink terhadap jumlah eosinofil, neutrofil dam limfosit jaringan paru mencit BALB/C yang diinduksi ovalbumin. Metode : Desain penelitian adalah true experiment with post-test only control group menggunakan mencit BALB/C pada Maret-Oktober 2020. Kriteria inklusi adalah mencit BALB/C betina umur 6-8 minggu, berat badan 22-25 gram, sehat, dan aktif. Sampel dibagi dalam 5 kelompok yaitu; kontrol negatif, kontrol positif, kelompok NS, kelompok zink, dan kelompok NS dan zink. Perlakuan dilakukan selama 28 hari. Reaksi alergi dinilai dari jumlah eosinofil, neutrofil dan limfosit jaringan paru. Hasil : Sampel didapatkan 6 kontrol negatif, 6 kontrol positif, 6 kelompok NS, 5 kelompok zink, dan 5 kelompok NS + zink. Hasil uji beda jumlah eosinofil p < 0,001, jumlah neutrofil p < 0,001 dan jumlah limfosit p < 0,001. Data dilanjutkan analisis multivariat, jumlah eosinofil paling signifikan pada kelompok NS dan zink (p = 0,006), jumlah neutrofil paling signifikan pada kelompok NS dan zink (p = 0,008), dan jumlah limfosit paling signifikan pada kelompok NS dan zink (p < 0,001). Simpulan : Terdapat pengaruh Nigella sativa dan zink terhadap jumlah eosinofil, neutrofil dam limfosit jaringan paru mencit BALB/C yang diinduksi ovalbumin. Kata kunci: Nigella sativa, Zink, Eosinofil, Neutrofil, Limfosit
Latar belakang : Laryngopharingeal reflux (LPR) adalah Aliran balik isi lambung ke esofagus, laring serta hipofaring yang dapat menimbulkan inflamasi pada jaringan. Diagnosis LPR berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laringoskopi fleksibel (Fiber Optic Laryngoscopy). Pemeriksaan lain yang untuk mengetahui inflamasi dapat digunakan Rasio limfosit neutrofil (NLR) dan Mean Platelet Volume (MPV). Terapi medikamentosa pada LPR dengan obat-obatan anti refluks, dan dapat diberikan terapi adjuvant berupa Nigella sativa (jintan hitam) yang memiliki fungsi anti inflamasi, antioksidan, gastroprotektif. Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh pemberian nigella sativa terhadap pemeriksaan NLR dan MPV pada penderita LPR di banding kontrol. Metode : Penelitian intervensi dengan Pre and Post-test randomized control group design dari 36 subjek berupa pasien dengan LPR di RSUP Dr. Kariadi Semarang, RSUD Rembang, RSUD Soeselo Slawi pada Januari - April 2020. Kelompok perlakuan diberi terapi Omeprazol dan NS, kelompok kontrol diterapi Omeprazol tanpa NS. Hasil : Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara dua kelompok meskipun di dapatkan perubahan hasil yang lebih baik pada pemeriksaan NLR dan MPV pada terapi standart ditambah nigella sativa. Simpulan : Hasil pemeriksaan NLR dan MPV pada pasien LPR yang diberikan terapi standar ditambah nigella sativa lebih baik dibandingkan tanpa nigella sativa, terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna secara statistik. Kata Kunci : LPR, NLR, MPV, nigella sativa
Latar belakang : Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah keganasan primer pada Kelenjar Getah Bening (KGB) dan jaringan limfoid yang berasal dari limfosit B, limfosit T, dan walaupun amat jarang dapat berasal dari sel Natural Killer (NK). Sel-sel tumor dapat menghasilkan enzim Lactate Dehidrogenase (LDH) sebagai respon terhadap penurunan Adenosine Triphospate (ATP) dalam sel serta peningkatan asam laktat maupun hasil reaksi oksidatif-reduktif yang menjadi asam piruvat (Warburg effect). Peningkatan kadar LDH dikenal sebagai penanda tumor yang menggambarkan aktivitas tumor, serta penanda sel pada beberapa keganasan yang bersifat agresif termasuk tumor sel germinal, sarkoma dan LNH. Koenzim Q10 bekerja sebagai kofaktor dalam Siklus Krebs yang berperan dalam mengatasi kondisi kekurangan ATP dalam sel melalui reaksi reduksi dan oksidasi. Tujuan Penelitian : Membuktikan pengaruh pemberian koenzim Q10 terhadap kadar LDH penderita LNH yang mendapat kemoterapi di RSUP Dr.Kariadi, Semarang. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian intervensi dengan desain randomized pre and post test double blind control group design. Subjek penelitian adalah penderita LNH yang mendapat kemoterapi dengan pemberian terapi selama 21 hari. Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan (penderita LNH yang mendapat kemoterapi, dan koenzim Q10 100mg/hari) serta kelompok kontrol (penderita LNH yang mendapat kemoterapi dan plasebo). Hasil : Saat kelompok perlakuan dan kontrol, pretest dan posttest dibandingkan, terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara dua kelompok. Kadar LDH menurun pada kelompok dengan kemoterapi ditambah pemberian koenzim Q10 sedangkan pada kelompok kemoterapi saja terjadi peningkatan. Simpulan : Kadar LDH pada pasien LNH yang diberikan kemoterapi standar ditambah koenzim Q10, lebih baik dibandingkan tanpa pemberian koenzim Q10. Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada penelitian ini. Kata kunci : Limfoma Non-Hodgkin (LNH), Kelenjar Getah Bening (KGB), limfosit B, limfosit T