Latar belakang: Trombosis terkait kanker merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien kanker. Pedoman saat ini belum merekomendasikan tromboprofilaksis secara rutin pada pasien kanker. Oleh sebab itu diperlukan parameter yang baik untuk memprediksi kejadian TEV sehingga dapat dilakukan pencegahan primer. Metode: Penelitian kohort prospektif pada pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - September 2020 dan melibatkan 34 pasien kanker. Skor Khorana dan kadar TATc (Abcam Kit, ELISA) dinilai pada awal penelitian. Hasil keluaran yang dinilai adalah kejadian TVD, dibuktikan dengan USG doppler kompresi bila ada keluhan atau pada akhir observasi bulan ke-3. Hasil: Dari 34 pasien kanker yang hendak kemoterapi, satu pasien (2,9%) menderita TVD dalam 3 bulan. Kadar TATc meningkat pada 70,6% pasien (11,5 IQR 8,7-11,7). Peningkatan kadar TATc tidak berhubungan dengan kejadian TVD (p= 0,284). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara Skor Khorana dan kejadian TVD (p= 0,592). Penambahan TATc pada skor Khorana tidak meningkatkan nilai prediktivitas skor Khorana terhadap TVD (p=0,790). Kesimpulan: TATc tidak berperan sebagai prediktor terjadinya TVD pada pasien kanker yang hendak menjalani kemoterapi. Penambahan nilai TATc pada skor Khorana tidak meningkatkan nilai prediktivitas skor Khorana. Kata kunci: Thrombin Antithrombin complex (TATc), skor Khorana, Trombosis vena dalam
Latar belakang: Hasil konversi kultur sputum yang diperoleh dua bulan setelah memulai pengobatan dinilai potensial untuk memprediksi hasil pengobatan. Tetapi volume dan kualitas sputum menurun pada respon terhadap pengobatan. Menjadi penting memiliki metode alternatif dalam evaluasi keberhasilan pengobatan TB, salah satunya dengan pemeriksaan kadar plasma Ca-125. Tujuan: Mendeskripsikan, membandingkan dan mengetahui hubungan kadar plasma Ca-125 dan kultur sputum di akhir bulan ke-2 terapi pada pasien TB-MDR. Metode : Penelitian ini berbentuk observasional analitik dengan desain cross sectional pada pasien TB MDR di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan pemilihan sampel menggunakan consecutive sampling. Pada bulan kedua terapi, kadar plasma Ca -125 dan kultur sputum dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney dan dilakukan analisis kurva ROC untuk menentukan cut-off Ca-125 terhadap evaluasi kultur sputum bulan ke dua. Hasil: Terdapat perbedaan kadar plasma Ca–125 yang bermakna antara kelompok kultur negatif dengan kultur positif (p = 0,013), dengan rerata kelompok kultur negatif 9,12 ± 10,41 U/ml, dan pada kelompok kultur positif 23,25 ± 13,93 U/ml. Kami mendapatkan kadar Ca-125 bulan kedua ≥ 9,505 U/ml memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 75% (AUC = 0,865; 95% CI = 0,71-1,0) untuk memiliki kultur sputum positif. Simpulan: Kadar Ca-125 plasma bulan kedua pengobatan yang tinggi bermakna tidak terjadinya konversi kultur sputum. Kadar Ca-125 bulan kedua ≥ 9,505 U/ml dapat digunakan sebagai skrining dalam memprediksi kultur sputum akan tetap positif. Kata kunci: TB-MDR, kultur sputum bulan kedua, plasma Ca–125
Latar belakang : Pemberian analgesia paska pembedahan laparoskopi ginekologi dengan analgetik opiod diperlukan untuk mengurangi nyeri. Analgetik opiod sering terjadi efek samping sistemik sehingga diperlukan analgetik lain untuk mengurangi nyeri paska pembedahan, salah satunya dengan pemberian bupivakain intraperiotoneum. Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas buvipakain 25 mg dengan bupivakain 50 mg intraperitoneum sebagai analgesia paska pembedahan pada laparoskopi ginekologi. Metode: Penelitian dilakukan dengan uji klinis acak tersamar tunggal pada pasien yang menjalani operasi pembedahan laparoskopi ginekologi di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang. Pasien dibagi menjadi dua kelompok; kelompok pertama mendapatkan bupivakain 25 mg yang diencerkan dengan aqua steril 15 cc dan kelompok kedua mendapatkan bupivakain 50 mg yang diencerkan dengan aqua steril 10 cc, pemberian dilakukan di akhir operasi dengan cara menyemprotkan bupivakain ke dalam rongga peritoneum. Dinilai skor nyeri numeric rating scale (NRS) pada jam 1, 8, 16 dan 24 paska operasi. Analisis statistic data menggunakan chi-square dan uji-U Mann-Whitney. Hasil : Pemberian bupivakain intraperitoneum menurunkan skor nyeri numeric rating scale (NRS) dosis 50 mg memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dosis 25 mg (p
Latar Belakang : Mortalitas dari Regurgitasi Mitral dalam 5 year survival pada pasien yang tidak diterapi meningkat sebesar 60-70% kebanyakan karena gagal jantung yang progresif, ditandai dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. Angka mortalitas tersebut menurun pada Mitral Valve Replacement = MVR dalam 5-years survival berkisar 12 - 16%, yang dapat dievaluasi 6 bulan setalah operasi dengan ekokardigrafi. Maka dari itu, peneliti ingin mengkaji peningkatan fungsi ventrikel kiri (LVIDd) setelah operasi MVR. Metode :Pre and post test design pada populasi target penderita RM derajat 3 dan 4 di RSDK Semarang tahun 2016-2019 yang menjalani MVR di IBS RSDK. Penilaian LVIDd dengan ekokardiografi pre MVR dan 6 bulan post MVR di bagian Kardiologi RSDK Semarang. Data dianalisa dengan uji delta T-test dan Wilcoxon. Uji korelasi pre dan post test dengan Pearson correlation test. Hasil : Didapatkan rerata LVIDd 74 penderita RM, preoperasi 42,41 ± 8,95 mm, postoperasi 36,83 ± 11,36 mm untuk RM derajat 3 dan 31,83 ± 1,48 mm preoperasi, 31,37 ± 1,35 mm postoperasi untuk RM derajat 4. Terdapat perbedaan bermakna sebesar p = 0,000 untuk LVIDd RM derajat 3 (p
Latar Belakang: Kejadian perdarahan intrakranial pada anak merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi, namun memerlukan perhatian khusus karena tingginya angka kematian dan kesakitan akibat kejadian ini. Tujuan: Untuk mengetahui besar angka kejadian perdarahan intrakranial pada anak berdasarkan jenis kelamin, usia dan lokasi perdarahan di RSUP dr. Kariadi Semarang periode tahun 2016 – 2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling berdasarkan waktu kedatangan pasien. Hasil: Pada seluruh kasus perdarahan intrakranial anak yang terjadi pada tahun 2016 – 2018 didapatkan kejadian perdarahan intrakranial terjadi lebih banyak pada anak-anak yang berjenis kelamin laki – laki (55,56%) dibanding dengan perempuan (44,44%). Frekuensi kejadian paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak (33,3%) dan remaja (33,3%), selanjutnya pada kelompok usia bayi (27,8%) dan paling sedikit ditemukan pada kelompok usia balita (5,6%). terdapat 13 variasi lokasi lesi yang berbeda, dengan lokasi paling sering adalah frontalis dextra (27,8%). Kesimpulan: Selama tahun 2016 – 2018 terdapat 18 kasus perdarahan intrakranial pada anak-anak yaitu pasien yang berusia 0 – 18 tahun di RSUP dr. Kariadi, Semarang, didapatkan 8 orang pasien berjenis kelamin perempuan dan 10 pasien berjenis kelamin laki – laki. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia anak (5 – 10 tahun) dan remaja (10 – 18 tahun). Lokasi perdarahan paling banyak adalah region frontalis dextra. Kata Kunci: Perdarahan intrakranial, consecutive sampling, frontalis dextra
Latar belakang: Matching human leukocyte antigen (HLA) allel antara donor dan resipien sangat krusial untuk menurunkan resiko komplikasi mengancam nyawa pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal. HLA adalah tantangan utama dari graft untuk dapat bertahan di tubuh resipien. HLA matching memberikan keuntungan outcome pada transplantasi ginjal. untuk mengetahui outcome graft survival dapat dimonitor melalui pengukuran kadar kreatinin pasca transplantasi. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal memerlukan perawatan di ICU untuk memonitoring secara intensif kondisi sistemik dan lokal pasien yang bisa mempengaruhi outcome transplant. Tujuan: Mengetahui hubungan HLA matching dengan kadar serum creatinin dan lama rawat di ICU pada pasien pasca trasnplantasi ginjal di RSUP Dr. Kariadi Semarang-Jawa Tengah dalam periode 2015 –2020. Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Data penelitian diambil dari rekam medis 33 pasien yang menjalani transplantasi ginjal di RSUP dr. Kariadi Semarang sejak Februari 2015 sampai dengan Februari 2020. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Pearson Chi Square. Hasil: Dari 33 data rekam medis pasien didapatkan jumlah HLA fullmatch (A, B, C, DRB 1) sebanyak 18 pasien (54,5%). Mayoritas pasien memiliki kadar creatinin post operasi
Latar belakang : Infeksi pleura merupakan salah satu penyakit tertua dengan tingkat keparahan yang cukup berat. Empiema thoraks masih merupakan masalah penting, meskipun ada perbaikan teknik pembedahan dan penggunaan antibiotik baru yang lebih efektif. Penegakkan diagnosis empiema yang cepat dan tepat sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengobatan; bahkan dengan upaya terapeutik yang tepat, mortalitas pasien dengan empiema adalah 15-20% Metode : Penelitian secara analisis deskriptif menggunakan 78 sampel dari instalasi rekam medik RSUP Dr. Kariadi secara total sampling. Data yang dikumpulkan berupa hasil isolat kultur spesimen empyema thorax pada tahun 2015-2019. Hasil : Hasil kultur dari sampel empiema thorax didapatkan Acinetobacter Baumanii sebanyak 2,6%, Candida Albicans sebanyak 3%, Escherichia Coli sebanyak 8%, Klebsiella Pneumoniae sebanyak 10,3%, Mycobacterium Tuberculosis sebanyak 26%, Pseudomonas Aeruginosa sebanyak 3%, Staphylococcus Aureus sebanyak 15%, Staphylococcus Cohnii sebanyak 2%, Staphylococcus Epidermidis sebanyak 1%, dan Staphylococcus Haemolyticus sebanyak 4%. Kesimpulan : Hasil isolat kultur empyema thorax terbanyak disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis sebesar 26% dari total sampel, Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian lain dan teori yangmenuliskan bahwa etiologic terbanyak penyebab empiema adalah patogen penyebab infeksi paru yang mendasari seperti TB paru Kata kunci : Empiema, Kultur, Mycobacterium Tuberculosis
Latar Belakang: Penyakit katup jantung memberikan beban kesehatan yang besar di seluruh dunia. Pasien yang menjalani bedah ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2018 adalah sebanyak 111 pasien. Pada pasien pasca bedah ganti katup jantung terjadi penurunan kebugaran kardiorespirasi. Kebugaran kardiorespirasi dapat diukur melalui pengukuran VO2max. Penambahan threshold inspiratory muscle training (tIMT) praoperasi dianggap mampu menaikkan baseline kebugaran kardiorespirasi sehingga hasil keluaran pasca bedah menjadi lebih baik, menurunkan komplikasi operasi serta mempersingkat waktu pemulihan dan lama perawatan. Tujuan: Mengetahui pengaruh penambahan tIMT praoperasi terhadap kebugaran kardiorespirasi pada pasien pasca bedah ganti katup jantung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling, subyek dibagi menjadi kelompok perlakuan (n=9) dan kelompok kontrol (n=9). Kelompok perlakuan diberikan latihan rehabilitasi medik konvensional rutin sebelum bedah ganti katup jantung sesuai dengan Panduan Praktik Klinis (PPK) serta ditambahkan threshold inspiratory muscle training sesuai protokol penelitian. Kelompok kontrol hanya melakukan latihan rehabilitasi medik konvensional. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara klinis antar kelompok perlakuan dan kontrol pasca bedah dengan minimal clinically important difference lebih dari 6%. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik untuk nilai VO2max pra dan pascaperlakuan dalam kelompok perlakuan (p=0,021), serta antar kelompok perlakuan dan kontrol pascaperlakuan (p=0,026). Kesimpulan: Penambahan tIMT praoperasi meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pasien pra dan pasca bedah ganti katup jantung. Kata kunci : Bedah ganti katup jantung, threshold inspiratory muscle training, VO2max
Latar belakang: Prevalensi obesitas pada remaja mengalami peningkatan seiring dengan perubahan gaya hidup. Obesitas berkaitan erat dengan berbagai kondisi kesehatan, diantaranya dapat mempengaruhi fungsi muskuloskeletal berupa gangguan keseimbangan. Struktur core yang kuat penting untuk keseimbangan. Core exercise dengan menggunakan Swiss Ball maupun resistance band diketahui dapat meningkatkan keseimbangan. Belum diketahui perbedaan efektivitas core exercise dengan menggunakan Swiss Ball dan resistance band terhadap keseimbangan remaja obesitas. Metode: 36 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dibagi secara acak menjadi kelompok Swiss Ball (n=18) dan kelompok resistance band (n=18). Kelompok Swiss Ball mendapatkan core exercise dengan Swiss Ball, kelompok resistance band mendapatkan core exercise dengan resistance band. Masing-masing kelompok melakukan latihan 3x seminggu selama 6 minggu. Keseimbangan dinamis diukur sebelum dan setelah intervensi dengan menggunakan Star Excursion Balance Test (SEBT). Hasil: Dalam kelompok Swiss Ball terdapat peningkatan keseimbangan dinamis yang signifikan sebelum dan setelah intervensi (p=
Latar Belakang: Penyakit katup jantung menyebabkan beban kesehatan yang besar di seluruh dunia. Jika terjadi gagal jantung diperlukan tindakan pembedahan. Pasien yang menjalani bedah ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2018 sebanyak 111 pasien. Gagal jantung dan tindakan pembedahan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot inspirasi sehingga terjadi penurunan kapasitas fungsional paru. Kapasitas fungsional paru dapat diukur melalui pengukuran Force Vital Capacity (FVC). Threshold inspiratory muscle training (Threshold IMT) praoperasi akan meningkatkan baseline kekuatan dan daya tahan ventilasi sehingga meningkatkan kapasitas fungsional paru. Dengan demikian, hasil keluaran klinis menjadi lebih baik, komplikasi pascaoperasi menurun dan waktu perawatan menjadi lebih singkat. Tujuan: Membuktikan pengaruh penambahan Threshold IMT praoperasi terhadap kapasitas fungsional paru pada pasien pascabedah ganti katup jantung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling, subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan penambahan Threshold IMT (n=9) dan kelompok kontrol (n=9). Kelompok perlakuan diberikan latihan rehabilitasi medik konvensional praoperasi ganti katup jantung serta penambahan Threshold IMT. Kelompok kontrol hanya diberikan latihan rehabilitasi medik konvensional. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata nilai FVC pascabedah antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0,008). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata nilai FVC pascaperlakuan antar kelompok (p=0,353), tetapi terdapat perbedaan yang bermakna pada perubahan rerata (delta) di antara kedua kelompok dengan nilai p=0,047. Kesimpulan: Penambahan Threshold inspiratory muscle training praoperasi meningkatkan kapasitas fungsional paru pasien pascabedah ganti katup jantung. Kata kunci: bedah ganti katup jantung, threshold inspiratory muscle training, force vital capacity