LatarBelakang : Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di Intensive Care Unit (ICU), khususnya pada penderita yang menggunakan ventilasi mekanik. Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP cukup tinggi, bervariasi antara 9 – 27 % dan angka kematiannyabisamelebihi 27 - 43 %. Namun di ruang ICU RSUP Dr. kariadi Semarang angka kejadian VAP justru sangat rendah yaitu bias mencapai 0 %, sehingga menjadi suatu tanda tanya. MetodePenelitian Sebanyak 16 Pasien memenuhi criteria inklusi dengan metode deskriptif observasional. Pasien non bedah dengan ventilator mekanik diambil secret intratrakea dengan cara seragam pada saat awal masuk keruang ICU sebelum terventilator dan sesudah terventilator 48 jam. Sekret trakea tersebut di periksakan di laboratorium mikrobiologi. Hasil Sebelum terventilator sebanyak 16 pasien tersebut diambil sampel secret intratrakheal secara steril dengan tehnik pengambilan yang seragam. Hasilnya sebanyak 3 (18,8 %) pasien terdapat pertumbuhan kuman namun bukan kuman penyebab VAP. Sebanyak 13 (81,3 %) pasien menunjukkan hasil pemeriksaan secret tidak adanya pertumbuhan kuman. Setelah terventilator sebanyak 8 (50 %) pasien menunjukkan hasil positif terdapat kuman penyebab VAP dan 8 (50 %) pasien menunjukkan hasil tetap tidak ada pertumbuhan kuman. Skor CPIS dihitung pada 16 pasien tersebut dengan hasil sebelum terventilator positif 0 (0 %) pasien dan sesudah terventilator 3 (18,8 %) pasien. Sedangkan dengan tehnik pemeriksaan kultur secret didapatkan sebelum terventilator positif 0 (0 %) pasien dan sesudah terventilator 8 (50 %) pasien. Simpulan Pemeriksaan kultur secret dapat membantu mendiagnosa VAP dengan lebih akurat. Pemeriksaan kultur secret sebelum pasien terventilator dapat membuktikn bahwa pasien tersebut tidak menderita Pneumonia sebelumnya sehingga diagnosis Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dapat tersingkirkan dan diagnosa VAP dapat ditegakkan. Dengan hasil yang didapatkan, angka kejadian VAP di ICU RSUP.Dr. Kariadi tidak lagi 0 %. Kata Kunci Ventilator Associated Pneumonia (VAP), Kultur secret trakea, Intensive Care Unit (ICU), Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)
Latar belakang: Cedera neurologi akibat kejang penurunan kesadaran menyebabkan gangguan permeabilitas sawar darah-otak dan kerusakan integritas sawar darah-otak. Disfungsi sawar darah-otak menyebabkan perubahan komponen protein cairan serebrospinal (CSS) yang mengakibatkan perubahan rasio komponen protein CSS terhadap serum. Tujuan: Membuktikan rasio protein CSS/serum dapat digunakan sebagai prediktor luaran kejang penurunan kesadaran pada anak. Metode: Penelitian kohort prospektif pada 34 pasien anak dengan kejang penurunan kesadaran yang dirawat di Bangsal Anak, HCU, dan PICU RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Maret 2016 sampai Februari 2017. Pasien dengan edema bermakna, syok, disfungsi hepar, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan pembekuan darah, dan palsi serebral dieksklusi. Subyek dikelompokkan sebagai luaran buruk dan baik. Rasio protein CSS/serum dihitung dengan membagi kadar protein CSS dengan protein serum. Perbedaan rasio protein CSS/serum antara kedua kelompok dianalisis dengan uji Mann-Whitney U. Cut-off point rasio protein CSS/serum untuk prediktor luaran kejang penurunan kesadaran ditentukan dengan menggunakan kurva ROC. Hasil: Sejumlah 34 anak kejang penurunan kesadaran diikutkan dalam penelitian. Terdapat 16 pasien dengan luaran buruk dan 18 pasien dengan luaran baik. Median rasio protein CSS/serum dengan luaran buruk 19,23 (5,33 – 35,47) dan pada luaran baik 5 (1,75 – 16,33) (p
Latar Belakang. Studi sebelumnya telah menunjukkan pentingnya zinc dalam proses pertumbuhan, perkembangan fisik dan neurologis bayi dengan ASI eksklusif. Pentingnya mengetahui pengaruh zinc dalam tumbuh kembang bayi dengan ASI eksklusif diharapkan menjadi pengetahuan untuk mencegah gangguan tumbuh kembang akibat defisiensi Zinc Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kadar zinc dengan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dengan ASI eksklusif Metode. Penelitian cross-sectional pada bayi dengan ASI eksklusif yang berusia 6 bulan dilakukan di Rumah Sakit Kariadi dan daerah sekitar Semarang. Pengukuran kadar serum zinc dan penilaian tumbuh kembang dilakukan dalam waktu yang sama. Penilaian Pertumbuhan menggunakan WHO antropometri Z-skor. Perkembangan dinilai dengan Denver II, yaitu dengan menilai developmnent quotient (DQ) pada empat sektor perkembangan. Uji korelasi menggunakan Spearman. Koefisien korelasi dinyatakan dengan r, signifikan bila nilai p < 0,05. Hasil. Diteliti 39 bayi dalam studi ini yang terdiri dari 25 (64,1%) laki-laki, 14 (35,9%) perempuan. Korelasi positif dan hubungan yang bermakna ditemukan antara zinc serum dan WAZ (r = 0,562; p = 0,000), WHZ (r = 0,496; p = 0,001), motorik kasar (r = 0,454; p = 0,004), motorik halus (r = 0.420; p = 0,008) dan bahasa (r = 0,494; p = 0,001) pada bayi dengan ASI eksklusif. Kesimpulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara serum zinc dan pertumbuhan (WAZ, WHZ), serta perkembangan (motorik kasar, motorik halus, dan bahasa) pada bayi dengan ASI eksklusif. Kata Kunci: Serum zinc, bayi dengan ASI eksklusif, pertumbuhan, perkembangan
Latar belakang : Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan gangguan neurologis yang dimulai sejak lahir, didiagnosis dengan pemeriksaan nilai bilirubin total serum dan skor BIND Tujuan penelitian : Membuktikan adanya hubungan antara kadar bilirubin total serum dengan gangguan neurologis yang dinilai dengan skor BIND pada bayi baru lahir cukup bulan Metode : Penelitian ini merupakan studi cross sectional dengan subyek penelitian bayi hiperbilirubinemia yang dirawat di RSUP Dr.Kariadi Semarang sejak bulan Juni 2016 – Februari 2017. Penilaian bilirubin total serum menggunakan pemeriksaan darah, dan pengukuran gangguan neurologis dengan menggunakan skor BIND. Analisis statistik dilakukan dengan uji korelasi Spearman, Receiver Operating Characteristic Curve dan uji chi square dengan kemaknaan p
Pendahuluan Banyak anak dengan leukemia akut membutuhkan transfusi trombosit berulang. Komponen darah yang ditransfusikan mengandung sejumlah leukosit yang dapat menimbulkan berbagai efek pada resipien. Transfusi trombosit berulang tanpa leukoreduksi menimbulkan efek trombositopenia refrakter. Tujuan Menilai pengaruh leukoreduksi metode filtasi bedside terhadap kejadian trombositopenia refrakter pada anak-anak dengan leukemia akut. Material dan Metode Penelitian eksperimental pada pasien anak dengan leukemia akut (n=77) yang dirawat di Bangsal Hematoonkologi Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang periode September 2014 - Juli 2015. Pasien dengan perdarahan masiv, splenomegali masiv, dan DIC dieksklusi. Dinyatakan trombositopenia refrakter apabila nilai CCI (Corrected Count Increment) 1 jam posttransfusi kurang dari 5x109/L. Kejadian refraktori transfusi trombosit pada kelompok percobaan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan Chi-Square, Independent T-test. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 37 subyek perlakuan dan 40 kontrol. Median kenaikan trombosit posttransfusi pada kelompok perlakuan adalah 24.000 (-8.010 – 59.100/µL). Sedangkan pada kelompok kontrol 12.000 (-24.200 – 46.000/µL) (p=0,002). Median nilai CCI pada kelompok perlakuan 5.485 (337-17.073/µL) dan pada kelompok kontrol 3.085 (-7.663-12.458/µL) (p=0,001). Sebanyak 13 anak (31%) mengalami trombositopenia refrakter pada kelompok perlakuan dan 29 anak (69%) pada kelompok kontrol (p=0,01). Kesimpulan Leukoreduksi metode filtrasi bedside menurunkan angka kejadian trombositopenia refrakter pada pasien leukemia akut dan meningkatkan jumlah trombosit setelah transfusi secara signifikan. Kata Kunci: leukoreduksi, filtrasi bedside, refraktori transfusi trombosit
Latar belakang. Diare menjadi penyebab kematian kedua tertinggi pada anak di dunia. Rehidrasi merupakan tatalaksana utama diare anak. Formula rehidrasi oral berbasis singkong (FROBS) mengandung amilum yang dapat meningkatkan luaran diare. Tujuan. Menentukan efektivitas FROBS dibandingkan cairan rehidrasi oral (CRO) saja terhadap luaran klinis anak diare akut dehidrasi tidak berat Metode. Penelitian uji acak terkontrol dilakukan terhadap anak diare akut dehidrasi tidak berat, usia 6-24 bulan, pada Agustus 2015 hingga April 2016 di bangsal anak RSUP Dr. Kariadi. Subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan (mendapat 1 gram Mocaf plus CRO dalam 200 ml air dengan suhu 650C) dan kelompok kontrol (mendapat 200 ml CRO osmolaritas rendah). Luaran klinis dibandingkan antar dua kelompok. Analisis statistik menggunakan uji Mann whitney dan regresi linear berganda. Hasil. Sebanyak 51 pasien diikutkan dalam penelitian, terdiri atas 25 subjek dan 26 kontrol. Durasi sakit 48 jam vs 72 jam, p
Latar belakang : Adductor pollicis muscle thickness (APMT) adalah petanda antropometri yang relatif baru dan menggambarkan besar massa otot. Kehilangan massa otot merupakan salah satu komponen diagnosis malnutrisi. Pasien stroke merupakan kelompok risiko tinggi malnutrisi karena penurunan asupan yang diperantarai oleh gangguan saraf, kognitif, motorik serta peningkatan kebutuhan energi akibat respon inflamasi. Malnutrisi pada pasien stroke diperberat oleh keadaan imobilitas. Asupan energi dan protein yang adekuat dianggap dapat mengurangi penurunan massa otot yang terjadi pada pasien stroke. Tujuan : Menentukan hubungan antara asupan energi dan protein dengan APMT Metode penelitian : Penelitian korelasional ini melibatkan subyek sejumlah 56 pasien rawat inap di Unit Stroke Bangsal Rajawali RSUP dr Kariadi Semarang dari bulan Desember 2016 hingga Februari 2017 yang memenuhi kriteria inklusi. Asupan energi dan protein dengan jalur enteral dan parenteral dihitung secara langsung, asupan dengan jalur per oral diukur dengan metode Komstock. Asupan energi dan protein dinyatakan dalam persentase terhadap perhitungan kebutuhan (requirement). Pengukuran APMT dilakukan pada akhir pengamatan selama 7 hari dengan caliper Harpenden. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji Spearman. Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan APMT (r=0,051; p=0,78) serta asupan protein dan APMT (r=0,152; p=0,26). Simpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan energi dan protein dengan APMT. Kata kunci : asupan energi dan protein, APMT, stroke
Pendahuluan Kanker pankreas merupakan penyebab kematian keempat dan kelima akibat kanker di USA dan Jepang. Pertumbuhannya yang agresif dan metastasis yang cepat membuat angka 5-year survival rate untuk pasien dengan kanker pankreas masih rendah (3-5%). Penegakan diagnosis dari kanker pankreas menjadi lebih sulit dibandingkan dengan organ gastrointestinal lainnya, kebanyakan tumor dalam stadium lanjut, inoperable, dan hanya dapat dilakukan tindakan paliatif. Serum karbohidrat antigen 19-9 (Ca19-9) merupakan antigen tumor-associated yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi untuk kanker pankreas, dan direkomendasikan untuk penegakan diagnosis, penentuan staging dan surveilans post operatif bagi pasien dengan kanker pankreas. Pada penelitian ini bertujuan meneliti hubungan antara kadar tumor marker CA19-9 dengan hasil patologi anatomi dan mortalitas pada pasien bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi, Semarang periode Januari 2010-Desember 2014. Metode Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional retrospektif dengan pendekatan cross sectional terhadap penderita keganasan pankreas yang menjalani operasi di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan data diperoleh dari rekam medis, dari penderita keganasan pankreas yang menjalani operasi di RSDK pada 1 Januari 2010 – 31 Desember 2014. Hasil Dari hasil analisis statistik, didapatkan kadar Ca19-9 sensitif terhadap adenokarsinoma pankreas (p = 0,029, OR = 30, CI 95% = 1,41 – 638,2). Dari hasil uji Chi Square dari kadar Ca19-9 terhadap mortalitas, didapatkan angka mortalitas sebesar 90,9% pada pasien-pasien dengan kadar Ca19-9 di atas 300 mL/U (n = 10, p = 0,033; OR = 30), sedangkan pada kadar Ca19-9 kurang dari 300 mL/U didapatkan angka mortalitas sebesar 9,1% (n = 1, p = 0,033; OR = 30). Kesimpulan Kadar Ca19-9 lebih dari 300 mL/U berhubungan dengan keganasan adenokarsinoma pankreas dan kejadian mortalitas yang tinggi. Kata kunci : Ca19-9, adenokarsinoma pankreas, mortalitas
Latar belakang: Kanker kolorektal merupakan salah satu penyebab kematian akibat kanker terbesar di dunia. Beberapa penelitian telah melaporkan adanya variasi geografik dari kejadian kanker kolorektal tersebut, dimana pola penyakit gastrointestinal pada masyarakat Asia nampaknya mengikuti pola yang muncul pada masyarakat di negara-negara Barat beberapa dekade yang lalu. Penelitian mengenai hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian kanker kolorektal diharapkan dapat menambah data epidemiologis. Tujuan: Membuktikan bahwa faktor individual (usia dan jenis kelamin) merupakan faktor risiko kejadian kanker kolorektal. Metode: Penelitian kasus kontrol terhadap data rekam medis pasien-pasienyang dicurigai kanker kolorektal di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Januari 2013-Juni 2016. Analisis bivariat menggunakan uji mann-whitney untuk data numerik dan chi-square untuk data kategorikal.Penentuan faktor risiko independen dilakukan denganuji regresi logistik. Hasil: Subyek penelitian sebanyak 525 pasien dibagi menjadi kelompok pasien kanker kolorektal (56,1%) dan non-kanker kolorektal (43,9%). Terdapat perbedaan usia dari kedua kelompok (p < 0,0001); dimana risiko kejadian kanker kolorektal ditemukan lebih besar pada kelompok usia melebihi 50 tahun (OR 8,69; IK95% 5,22-14,45; p < 0,0001) dan jenis kelamin pria (OR 1,77; IK95% 1,19-2,62; p = 0,004). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa kelompok usia dan jenis kelamin menunjukkan kemaknaan terhadap kejadian kanker kolorektal (p < 0,0001; p = 0,047; berurutan). Simpulan: Kelompok usia di atas 50 tahun dan jenis kelamin pria merupakan faktor risiko kejadian kanker kolorektal. Kata kunci: Kanker kolorektal, usia, jenis kelamin.
Pendahuluan Morbiditas dan mortalitas appendisitis akut masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh keterlambatan diagnosa dan penanganan pembedahan. Sebagian besar penderita dengan resiko appendicitis perforasi mempunyai skor Alvarado yang tinggi. Tujuan Mengetahui hubungan antara temuan klinis (skor Alvarado ) dengan derajat klinikohistopatologi. Material dan Metode Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Waktu penelitian ini adalah selama 6 bulan , periode Januari 2015 s/d Juni 2015. Penelitian ini merupakan prospektif cross sectional study dan bersifat analitik, dengan melakukan pemeriksaan klinis, serta pemeriksaan histopatologi jaringan appendik pasca bedah sebagai pemeriksaan baku. Uji korelasi dengan Pearson corelation akan dilakukan untuk mencari hubungan antara skor Alvarado dengan derajat klinikohistopatologi. Hasil Penelitian Adanya hubungan yang bermakna antara kenaikan temperatur dengan klinikohistopatologi, dimana p = 0,04, adanya hubungan yang bermakna antara jumlah leukosit dengan klinikohistopatologi, dimana p = 0,009. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah netrofil dan klinikohistopatologi dimana p = 0,104. Tidak ada hubungan yang bermakna antara rata-rata umur dengan hasil klinikohistopatologi dimana p = 0,242. Kesimpulan Dengan analisa korelasi Pearson, didapati tidak adanya hubungan yang bermakna antara skor Alvarado dengan klinikohistopatologi (r=0,170). Kata Kunci Appendisitis akut, skor Alvarado, derajat klinikohistopatologi.