Latar Belakang: Pada penyakit infeksi HIV, trombositopenia merupakan gangguan hematologi yang sering terjadi dan bahkan dapat muncul sebagai tanda awal pada pasien yang terinfeksi HIV. Trombositopenia sendiri merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan pengobatan pasien HIV. Patofisiologi yang mendasari terjadinya trombositopenia pada penderita HIV antara lain terjadinya percepatan penghancuran trombosit di perifer dan penurunan produksi trombosit. Penyebab sekunder umumnya merupakan akibat infeksi oportunistik, hipersplenisme, infiltrasi sumsum tulang akibat infeksi atau keganasan, kondisi komorbiditas (misalnya, sirosis pada penyakit hati), dan mielosupresi akibat obat-obatan. Tujuan: Membuktikan pengaruh beberapa faktor dengan kejadian trombositopenia pada pasien HIV/AIDS Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif/kasus-kontrol. Dilakukan pengambilan data yang termasuk dalam kriteria inklusi yang berasal dari catatan medik pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUP dr. Kariadi Semarang. Data sampel pasien HIV/AIDS dengan trombositopenia selanjutnya dilakukan analisis menggunakan chi-square terhadap variabel bebas yaitu nilai CD4, status terapi ARV, faktor resiko tertular HIV, Stadium klinis HIV, status infeksi hepatitis B, status hepatitis C, status koinfeksi tuberkulosis, dan status komorbid keganasan. Hasil: Pada penelitian ini selama periode tahun 2015-2017 dari 1.147 pasien HIV/AIDS didapatkan 77 (6,7%) pasien mengalami trombositopenia dengan median usia pasien 36,5 tahun dan frekuensi terbanyak terdiri dari jenis kelamin laki-laki 71,4%, faktor risiko terinfeksi HIV adalah heteroseksual 79%, jumlah nilai CD4 < 200 sebesar 79,2%, dan status dalam terapi HAART 76,6%. Pada analisis antara beberapa variabel yang diteliti didapatkan hasil bermakna pada variabel jumlah status nilai CD4 < 200 dengan p = 0,003 dan stadium klinis HIV-WHO 2 dan 3 dengan p = 0,001 dan p = 0,001. Kesimpulan: Di era penggunaan HAART kejadian trombositpenia meskipun jarang masih merupakan salah satu komplikasi dari infeksi HIV/AIDS yang perlu diperhatikan. Pada penelitian ini, beberapa faktor seperti nilai jumlah CD 4 rendah dan stadium klinis HIV tahap awal didapatkan hubungan bermakna terhadap kejadian trombositopenia. Perlunya tetap dilakukan pemantauan pemeriksaan hematologi pada pasien HIV/AIDS guna memberikan terapi lebih baik. Kata kunci: HIV, AIDS, trombositopenia, HAART, hepatitis B, hepatitis C, tuberkulosis, keganasan
Latar Belakang : Rivaroxaban, inhibitor direk Faktor Xa (FXa), telah disetujui di banyak negara untuk pengelolaan kasus tromboemboli. Rivaroxaban tidak memerlukan pemantauan atau penyesuaian dosis yang sering karena profil farmakokinetik dan farmakodinamik yang dapat diprediksi. Namun, penilaian jumlah rivaroxaban yang ada pada pasien mungkin diperlukan pada situasi klinis tertentu seperti saat terjadi perdarahan mayor atau pada saat akan dilakukan prosedur invasif yang mendesak. Meskipun tes anti-FXa kuantitatif dapat digunakan untuk mengukur kadar rivaroxaban dalam plasma, banyak laboratorium tidak menyediakan uji tersebut. Tujuan : Meneliti efek rivaroxaban pada dua tes laboratorium yang tersedia, partial prothrombin time (PPT) dan partial thromboplastin time with kaolin (PTTK) pada pasien trombosis vena dalam (TVD). Metode : Penelitian dengan kohort yang mengikutsertakan 40 pasien TVD dalam terapi rivaroxaban sebagai variabel bebas dan variabel dependen adalah uji PPT dan PTTK. Sebagai variabel perancu antara lain jenis kelamin, usia, dan diagnosis. Rivaroxaban 20 mg diberikan pada pasien TVD. Kemudian, sampel darah pada 2 jam, 12 jam, dan 24 jam setelah rivaroxaban diuji dengan PT dan PTTK. Hasil : Berdasarkan uji Friedman diperoleh bahwa ada efek yang signifikan pada pemanjangan PPT (p =
Pendahuluan : Vitamin D adalah vitamin larut dalam lemak, terdiri dari 2 bentuk yaitu vitamin D2 dalam makanan dan vitamin D3 disintesis di kulit oleh sinar matahari. Bentuk vitamin D dalam tubuh manusia adalah D 25 (OH) yang dimetabolisme di hepar, merupakan bentuk tidak aktif dan D 1,25 (OH)2 yang dimetabolisme di ginjal, merupakan bentuk aktif. Pengukuran kadar vitamin D adalah dengan mengukur kadar D 25 (OH). Defisiensi vitamin D disebabkan banyak faktor, antara lain ibu hamil, anak – anak, kurangnya paparan sinar matahari, kurangnya intake vitamin D, penggunaan tabir surya, jenis kelamin perempuan, mengenakan jilbab dan abaya, dan lain lain. Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan terjadinya peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, penurunan kognitif, depresi, komplikasi kehamilan, penyakit autoimun, alergi, dan bahkan frailty. Masyarakat yang tinggal di negara tropis seperti di Indonesia sering dianggap memiliki kadar vitamin D yang cukup, namun masih sedikit data mengenai hal itu. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara paparan sinar matahari dengan kadar vitamin D25(OH) serum. Material dan Metode : Penelitian ini dilakukan secara Cross-sectional. Responden adalah pegawai di lingkungan instansi kesehatan di Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data diambil pada bulan April 2017 dengan metode consecutive sampling dengan pengisian kuisioner dan pengukuran kadar vitamin D 25 (OH). Subyek dikategorikan memiliki vitamin D normal jika vitamin D 25 (OH) serum lebih dari 30 ng/ml, insufisiensi jika kadar 21-29 ng/ml dan defisiensi jika kadar kurang dari 20 ng/dl. Analisis statistik dengan metode chi-square untuk bivariat, regresi linier berganda untuk multivariat. Hasil Penelitian : Didapatkan 81 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, kadar vitamin D defisiensi didapatkan sebesar 60 responden (74,1%), insufisiensi 16 responden (19,7%) dan normal 5 responden (6,2 %). Berdasarkan uji Chi-square didapatkan hubungan bermakna antara kadar vitamin D25(OH) dengan lama terpapar sinar matahari (p=0,004), jenis kelamin (p=0,000), pemakaian jilbab (p=0,005). Sedangkan umur, makanan mengandung vitamin D, sunblock, pakaian pelindung matahari, bagian tubuh yang terpapar matahari dan frekuensi terpapar matahari tidak didapatkan hubungan bermakna. Kesimpulan : Defisiensi vitamin D25(OH) didapatkan cukup tinggi, meskipun responden bekerja di lingkungan kesehatan, dan sinar matahari di negara Indonesia yang cukup. Terdapat hubungan antara paparan sinar matahari dengan kadar vitamin D25(OH). Kata Kunci : Sinar matahari, vitamin D
Latar Belakang : Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan mediator terjadinya angiogenesis yang memiliki peranan penting dalam mitosis sel, perubahan bentuk sel dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. VEGF dianggap sebagai faktor angiogen penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kanker kolorektal. Sel kanker tumbuh dan berkembang membutuhkan vaskularisasi untuk memenuhi suplai makanan. Tumor memerlukan angiogenesis untuk melampaui ukuran 1-2 mm. Kadar VEGF serum yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Tujuan : untuk menilai bagaimana hubungan kadar VEGF serum dengan besar tumor kanker kolorektal. Metode : Penelitian ini secara belah lintang melibatkan 17 orang yang menderita kanker kolorektal stadium I,II,III. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan. Diagnosis kanker kolorektal berdasarkan gambaran histopatologi. Semua responden menderita kanker kolorektal yang sudah menjalani operasi dan belum menjalani kemoterapi. Variabel bebas adalah kadar VEGF serum dan variabel terikat adalah besar tumor kanker kolorektal. Penelitian ini menggunakan analisis uji korelasi kadar VEGF serum terhadap besar tumor kanker kolorektal Hasil : Pada analisis uji korelasi didapatkan hubungan yang signifikan antara kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) serum dengan besar tumor kanker kolorektal secara bermakna (p = 0,001) dengan keeratan kuat (rho >0,7) Simpulan : Pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan kadar VEGF serum dengan besar tumor kanker kolorektal Kata Kunci : VEGF, Besar tumor, Kanker kolorektal