Latar belakang: Kapasitas yang tidak mencukupi untuk operasi jantung mengakibatkan lamanya waktu tunggu pasien yang membutuhkan operasi elektif bedah pintas arteri koroner (BPAK). Penelitian sebelumnya melaporkan adanya konsekuensi peningkatan risiko mortalitas selama menunggu BPAK. Identifikasi faktor risiko mortalitas sangat penting pada pasien yang menunggu pelaksanaan operasi BPAK. Tujuan: Mengetahui angka mortalitas dan mengidentifikasi faktor risiko kejadian mortalitas pada pasien yang menunggu operasi elektif BPAK. Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien yang menunggu pelaksanaan operasi elektif BPAK di RSUP dr. Kariadi Semarang dari Januari 2018 sampai Desember 2020. Identifikasi faktor risiko yang berpengaruh terhadap mortalitas dilakukan pada pasien yang menunggu pelaksanaan operasi BPAK dengan metode logistik regresi. Hasil: Terdapat 175 pasien yang memenuhi kriteria dengan rata-rata waktu tunggu operasi 9,3 bulan. Saat menunggu operasi BPAK, terdapat 32 (18,3%) pasien meninggal karena sebab apapun. Faktor risiko independen mortalitas selama menunggu BPAK meliputi: penyakit pembuluh darah utama arteri koroner kiri (OR 3,89; 95% IK 1,36-11,14; p=0,011), kreatinin serum > 1,5 mg / dl (OR 3,57; 95% IK 1,31-9,72; p=0,013), faktor risiko penyakit jantung koroner > 3 (OR 3,40; 95% IK 1,25-9,26; p=0,016), dan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45% (OR 2,92; 95% IK 1,035-8,277; p=0,043). Kesimpulan: Waktu tunggu yang panjang untuk BPAK dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas yang dipengaruhi oleh penyakit pembuluh darah utama arteri koroner kiri, kreatinin serum > 1,5 mg / dl, faktor risiko penyakit jantung koroner > 3 dan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45%. Kata kunci: Waktu tunggu, Bedah pintas arteri koroner, Faktor risiko, Mortalitas
Wanita lanjut usia, kepadatan massa tulang (BMD) menjadi lebih rendah dan dapat berkembang menjadi osteoporosis, yang dapat meningkatkan risiko patah tulang dan morbiditas pada populasi ini. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi BMD adalah magnesium (Mg). Tidak ada penelitian di Indonesia yang secara khusus menghubungkan BMD dengan kadar magnesium darah pada wanita lanjut usia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan massa tulang dan kadar magnesium serum pada wanita lanjut usia. Penelitian ini adalah penelitian observasional-analitik dengan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan secara prospektif berdasarkan hasil pemeriksaan BMD mulai November 2018 hingga April 2019. Penelitian ini dilakukan pada 29 wanita berusia ≥ 60 tahun. Pemeriksaan DXA dilakukan untuk menilai BMD, tes laboratorium Mg dilakukan untuk menilai kadar magnesium darah. BMD dihitung berdasarkan skor-T vertebra lumbal atau tulang paha, sedangkan kadar Mg diukur dari serum darah. Osteoporosis diidentifikasi pada 55,2% sampel (n = 16), osteopenia pada 34,5% sampel (n = 10), dan BMD normal pada 10,3% sampel (n = 3). Wanita lanjut usia dengan osteoporosis pada penelitian ini, rata-rata kadar Mg = 2,24 ± 0,20 mg / dl. Pada sampel yang menderita osteopenia, kadar Mg = 2,17 ± 0,21 mg / dl. Pada BMD normal, kadar Mg = 2,36 ± 0,12 mg / dl. Tidak ada korelasi yang signifikan antara BMD dengan kadar Mg (P = 0,252, kecenderungan untuk korelasi posotif r = 0,220). Kata kunci : BMD, DXA, magnesium
Insidensi sarcopenia cukup tinggi pada orang lanjut usia, dengan beberapa dampak negatif yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Patogenesis sarcopenia sendiri sangat kompleks dan melibatkan beberapa faktor dalam perkembangannya. Kekurangan kadar serum kalsium dalam darah dapat menyebabkan terjadinya sarkopenia, tetapi kejadian sarkopenia bisa disebabkan faktor lainnya, seperti faktor hormonal, indeks massa tubuh yang tidak normal, dan gaya hidup. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari beberapa Posyandu Lansia di Semarang yang dimulai sejak Oktober 2018 hingga Juli 2019. Terdapat 28 responden wanita yang berusia lebih dari 60 tahun yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Responden yang mengkonsumsi suplemen kalsium secara rutin dieksklusikan dari penelitian ini. Seluruh responden secara sukarela mengikuti penelitian ini dan telah menandatangani informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar serum kalsium dengan kejadian sarkopenia. Status sarkopenia diperoleh dari pemeriksaan sceletal muscle index (SMI) yang diperoleh dari pemeriksaan Dual energy X-ray absorptiometry (DXA), handgrip strength, dan gait speed test. Kadar serum kalsium diperoleh dari uji laboratorium darah. Penelitian ini semakin membuktikan bahwa DXA terbukti sebagai pemeriksaan yang cukup bisa diandalkan untuk mengevaluasi massa otot. Memahami patogenesis dan etiologi sarkopenia bersamaan dengan analisis akurat menggunakan DXA dapat membantu mengembangkan penatalaksanaan dan metode-metode preventif yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien-pasien lanjut usia. Pada penelitian ini responden dengan sarkopenia memiliki kadar serum kalsium yang normal seperti halnya responden non sarcopenia dengan (p>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar serum kalsium tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian sarkopenia. Kata Kunci : Sarkopenia; kadar serum kalsium ; massa otot, DXA
Latar Belakang: Hipertensi pulmonal adalah suatu kondisi terjadinya peningkatan rerata tekanan arteri pulmonalis ≥ 25 mmHg. Standar emas dalam mendiagnosis kondisi ini adalah kateterisasi jantung kanan. Pembesaran arteri pulmonalis desendens kanan pada foto toraks merupakan tanda yang menunjukan suatu hipertensi pulmonal. Namun, nilai pengukuran radiografi yang dilaporkan beragam. Tujuan: Penelitian ini menganalisis hubungan antara diameter right descending pulmonary artery (RDPA) pada foto toraks dengan mean pulmonary artery pressure (mPAP) pada kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui apakah diameter RDPA pada foto toraks dapat menjadi prediktor dalam menentukan beratnya hipertensi pulmonal. Metode: 35 subjek dinilai untuk membandingkan diameter RDPA dari foto toraks pada proyeksi posteroanterior dan nilai mPAP dari kateterisasi jantung kanan. Korelasi antara keduanya dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson. Cut-off diameter RDPA ditentukan dengan menggunakan kurva ROC. Hasil: Diameter RDPA dan mPAP menunjukkan korelasi positif yang tinggi (p
Cerebral Venous Sinus Thrombosis (CVST) adalah oklusi atau sumbatan pada saluran vena di intrakranial, termasuk trombosis pada vena dural, trombosis pada vena kortikal dan trombosis pada vena cerebral. Baru-baru ini, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam kombinasi dengan Magnetic Resonance Venography (MRV) telah banyak menggantikan Digital Subtraction Angiography (DSA) sebagai standar emas untuk pencitraan CVST dan saat ini dianggap sebagai teknik pemeriksaan yang paling sensitif. Fibrin adalah komponen utama trombus. Antigen D-dimer adalah penanda spesifik dari pembentukan bekuan fibrin dan fibrinolisis. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan mengumpulkan data CVST dan tidak CVST yang dilakukan Magnetic Resonance Venography (MRV) serta dilakukan pemeriksaan D-dimer periode November 2018 sampai Juli 2020, dan didapatkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 66 subyek (33 subyek dengan CVST dan 33 subyek tidak CVST). Penelitian dilakukan dengan menilai kadar D-Dimer pada pasien CVST dan tidak CVST yang dilakukan pemeriksaan MRV. Terdapat korelasi signifikan yang kuat antara antara kadar D-Dimer dengan kejadian CVST dan tidak CVST (p=0.001). Nilai cut off kadar D-Dimer ≥500 ng /mL untuk memprediksi kejadian CVST, maka didapatkan sensitivitas 57,6% dan spesifisitas 78,8% (OR=5,041; 95% CI=1,7-14,9). Kata kunci : Cerebral Venous Sinus Thrombosis, MRV, D-Dimer.
Lumbar spinal stenosis (LSS) merupakan gangguan spinal yang umummterjadi pada populasi usia tua yang disebabkan kejadian penyakit degeneratif. Klasifikasi LSS dapat berdasarkan lokasi stenosis yang terjadi, yaitu stenosis kanalis spinalis, stenosis foramina neuralis, serta stenosis recessus lateralis. Stenosis foramina neuralis lumbal merupakan penyempitan abnormal foramina lateral pada kanalis spinalis lumbal sehingga terjadi penekanan saraf lumbal. Salah satu cara untuk menilai skor klinis LSS adalah menggunakan kuesioner Swiss Spinal Stenosis Questionnaire (SSS Questionnaire) untuk menilai derajat keparahan dan disabilitas fungsional oleh karena LSS. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah menjadi modalitas pilihan untuk mengevaluasi tulang belakang. Penilaian stenosis foramina neuralis pada pemeriksaan MRI dapat menggunakan sistem penilaian Lee atau Varghese. Penelitian analitik observasional ini dilakukan dengan melakukan pengukuran pada satu saat pada pasien dengan klinis lumbar spinal stenosis yang dilakukan pemeriksaan MRI Lumbal di bagian Radiologi RSUP Dr. Kariadim Semarang bulan Juni 2020 sampai bulan Agustus 2020 dan didapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 45 sampel. Penelitian dilakukan dengan menilai skor klinis berdasarkan SSS Questionnaire dan menilai derajat stenosis foramina neuralis lumbal pada pemeriksaan MRI berdasarkan Lee dan Varghese. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara derajat stenosis foramina neuralis pada MRI berdasarkan Lee dan Varghese dengan skor klinis LSS menggunakan metode SSS Questionnaire (p < 0,001). Selain itu, didapatkan pula bahwa pemeriksaan derajat stenosis foramina neuralis berdasarkan Varghese memiliki presisi yang lebih baik dibandingkan Lee karena rentang nilai 95% CI pada Varghese tidak terlalu lebar dibandingkan pada Lee Kata kunci: stenosis foramina neuralis lumbal, lumbar spinal stenosis, Swiss Spinal Stenosis Questionnaire