Latar Belakang: Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak, dimana tipe adenokarsinoma kolorektal yang paling sering dijumpai. VEGF adalah sitokin proangiogenesis, angiogenesis dibutuhkan dalam pertumbuhan tumor, diferensiasi dan metastasis sel tumor. Kebanyakan kasus adenokarsinoma kolorektal di RSUP Dr Kariadi Semarang terdiagnosis pada stadium III. Tujuan: Membuktikan korelasi kadar VEGF serum dengan derajat diferensiasi pada adenokarsinoma kolorektal stadium III. Metode: Rancangan penelitian menggunakan cross sectional. Sampel total sebanyak 22, dengan variabel bebas kadar VEGF serum dan variabel tergantung derajat diferensiasi. Sebagai variabel perancu adalah jenis kelamin dan usia. Hasil: Hasil uji non parametrik range Spearmean, tidak terbukti adanya korelasi antara kadar VEGF serum dengan derajat diferensiasi adenokarsinoma kolorektal stadium III dengan p = 0,668 (p > 0,05), rho -0,0972. Masih ada perancu yaitu jenis kelamin dengan t test indep : p = 0,028 (p < 0,05). Jumlah Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (14 : 8). Tidak terbukti adanya korelasi antara kadar VEGF serum terhadap derajat diferensiasi dikarenakan masih banyaknya faktor-faktor pertumbuhan dan hormon yang dapat mempengaruhi ekspresi VEGF dan masih belum dapat disingkirkan. Simpulan: Tidak terbukti adanya korelasi kadar VEGF serum dengan Derajat Diferensiasi Kata Kunci: VEGF, Derajat Diferensiasi, Adenokarsinoma kolorektal
Latar belakang: Kejadian trombosis vena dalam (TVD)merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita kanker dan merupakan penyebab kematian kedua. Pada penelitian Kroger, high sensitive protein (hsCRP) pada pasien kanker dihubungkan dengan kejadian TVD dengan kadar cut off di atas 4 mg/L. Ultrasonografi (USG) doppler dengan kompresi memiliki akurasi 97% untuk mendeteksi TVD. Tujuan: Menilai hsCRP pada pasien kanker dengan skor Wells modifikasi ≥ 2 sebagai metode uji saring adanya TVD tungkai. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilaksanakan pada periode April 2016 s/d Maret 2017. Subyek penelitian adalah 35 pasien kanker yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Kriteria inklusi adalah >40 tahun, skor Wells modifikasi ≥ 2, tirah baring> 3 hari.Konfirmasi diagnosis TVD adalah dengan pemeriksaan USG Doppler. Kemampuan diagnosis hsCRP terhadap insiden TVD dinilai dengan uji diagnostik.Hasil: Rerata umur adalah 56±9 tahun. Jenis kelamin sebagian besar pria 51,4%. Kejadian TVD positif berdasarkan USG doppler adalah 10 pasien (28,57%). Hasil uji diagnostik hsCRP terhadap kejadian TVD yaitu pada cut off kadar hsCRP > 51,05 mg/L dan banyaknya subyek TVD positif adalah 8 pasien (44,4%) dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 60%, nilai duga positif 44%, nilai duga negatif 88%, akurasi 66%. Kesimpulan: Pemeriksaan hsCRP pada pasien kanker yang tirah baring > 3 hari dan memiliki skor wells ≥ 2 memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 60 % terhadap diagnosis TVD tungkai. Kata kunci: hsCRP, TVD tungkai, skor Wells modifikasi, Usg Doppler, uji diagnostik
Latar belakang: Visfatin, suatu protein spesifik-adiposa, mempunyai efek pada homeostasis glukosa dan regulasi metabolisme energi, yang menjadikannya sebagai kandidat yang berhubungan dengan resistensi insulin. Kadar visfatin di dalam plasma secara bermakna menurun pada subyek yang mengalami resistensi insulin, dan pengidap diabetes tipe 2. Tujuan penelitian: Mengetahui manfaat DLBS3233 terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 baru melalui kadar Visfatin serum Metode: Penelitian secara Randomized control group Pre and Post Test Design melibatkan 34 orang responden dengan variabel bebas DLBS3233 dan Variabel terikat adalah konsentrasi Visfatin serum pada pasien diabetes tipe 2 baru. Sebagai Variabel perancu jenis kelamin, usia, status diit, sindroma metabolik dan status olahraga Hasil: Uji T-test untuk perbedaan sebelum dan setelah perlakuan pada masing-masing kelompok didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan (p=0.240), dan didapatkan peningkatan bermakna kadar Visfatin pada kelompok kontrol (p=0.004) setelah perlakuan). Tidak ada hubungan bermakna antara kadar visfatin serum dengan variabel perancu pada kelompok perlakuan. Pembahasan: Resistensi insulin mempunyai korelasi positip bermakna dengan kadar visfatin serum. Hal ini karena adiposa viseral akan mensekresi sejumlah sitokin, salah satunya adalah visfatin, mempunyai efek pada homeostasis glukosa dan regulasi metabolisme energi. Simpulan: Didapatkan peningkatan bermakna kadar Visfatin pada kelompok kontrol yang dipengaruhi oleh variabel-variabel perancu yang belum terstandarisasi. Kata kunci: DLBS3233, DM tipe 2 baru, visfatin serum
Latar belakang: Leukemia mieloid akut merupakan jenis leukemia yang paling sering didapatkan pada dewasa. Demam neutropeni merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi dan dapat mengakibatkan kematian pasien apabila tidak tertatalaksana dengan baik. Metode: Penelitian deskriptif berdasarkan datasekunder darirekam medis penderita LMA dengan demam neutropenia yang meninggal dunia di Instalasi Rawat Inap RSDK selama periode 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Oktober 2016. Hasil: Proporsi penderita LMA dengan demam neutropenia yang meninggal dunia di RSDK terbanyak umur rata-rata 43 tahun, laki-laki, dan berasal dari Kota Semarang. Sub tipe LMA ( FAB) yang terbanyak adalah LMA M1 (25%) dengan status performa ECOG 1 (40,9%), dan lama ketahanan hidup terbanyak adalah
Latar Belakang : Salah satu strategi untuk menurunkan angka kematian ibu yaitu melalui pelayanan kontrasepsi, yang tertuang pada salah satu pilah safe motherhood. Metode kontrasepsi yang direkomendasikan oleh pemerintah adalah metode kontrasepsi jangka panjang seperti IUD, terutama IUD pasca plasenta. IUD pasca plasenta memiliki keuntungan dibandingkan insersi interval, diantaranya dapat menjaring akseptor KB sesegera mungkin, pasien lebih nyaman karena mulut rahim masih terbuka sehingga nyeri minimal, dan pasien keluar dari fasilitas kesehatan dengan sudah dalam perlindungan alat kontrasepsi. Berdasarkan pantauan BKKBN terhadap pelayanan Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan dan pasca keguguran di 22 rumah sakit (14 provinsi) tahun 2008-2009, rata-rata yang ber-KB setelah bersalin dan keguguran hanya 5-10%. Data tersebut menunjukkan gambaran kurangnya perhatian terhadap pelayanan kontrasepsi pasca persalinan. Oleh karena itu, dengan pelayanan konseling dan penyampaian informasi yang tepat tentang kontrasepsi pasca persalinan terutama sejak pelayanan antenatal, dan diperkuat dengan adanya motivasi yang tinggi pada pasangan untuk menunda kehamilan, maka periode pasca persalinan merupakan periode yang sangat tepat untuk memulai penggunaan kontrasepsi. Pada penelitian akan dilakukan penelitian tentang pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap pemilihan IUD pasca plasenta sebelum dan sesudah konseling oleh bidan di Puskesmas Ngesrep dan Halmahera Semarang dengan menggunakan kuesioner. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian Quasi experimental (pre and post study design) pada ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di poli hamil Puskesmas Ngesrep dan Puskesmas Halmahera, Semarang. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh konseling bidan terhadap pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang IUD pasca plasenta Hasil : Data yang berhasil dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian adalah sebanyak 103 responden. Dari responden yang terkumpul kami dapatkan bahwa rerata skor pengetahuan ibu tentang IUD setelah konseling (19,7±11,12) lebih besar dibanding sebelum dilakukan konseling (8,0±8,43), dengan p=0,0001. Tidak terdapat perbedaan bermakna sikap ibu antara sebelum dan sesudah konseling (p=0,832). Analisis bivariat menunjukkan usia, paritas, tingkat pendidikan dan pendapatan tidak berhubungan dengan sikap dan pengetahuan ibu sebelum konseling (p> 0,05). Simpulan : Penelitian ini menunjukkan skor rerata pengetahuan ibu hamil sesudah konseling secara bermakna lebih tinggi dibandingkan sebelum konseling, namun tidak ada perbedaan yang bermakna antara sikap ibu sebelum dan sesudah konseling terhadap pemilihan IUD pasca plasenta. Kata kunci : Ibu hamil, pengetahuan, sikap, IUD pasca plasenta.
Latar belakang : Gangguan hemostasis PGTA diduga akibat Sindroma uremia menyebabkan disfungsi platelet. Kondisi ini diperberat oleh hemodialisis kronis yang memicu degranulasi senyawa biologis trombogenik β-thromboglobulin, menyebabkan perubahan morfologi platelet yang dapat dievaluasi menggunakan indeks platelet Platelet Large Cell Ratio (P-LCR) serta memicu hiperaktivasi fibrinolisis yang meningkatkan kadar Fibrin Degradation Products. Serangkaian mekanisme ini terjadi secara berulang-ulang. Evaluasi indeks platelet dapat menentukan prognosis pasca hemodialisis. Tujuan penelitian : membuktikan adanya perbedaan Nilai P-LCR, kadar β-thromboglobulin, kadar Fibrin Degradation Products dan kadar Kreatinin pada pre dan post Hemodialisis Metode penelitian : Desain penelitian eksperimental pre test- post test design. Empat puluh lima subjek penelitian dilakukan pemeriksaan CBC menggunakan metoda flowcitometri, pemeriksaan kadar β-TG menggunakan metoda ELISA, pemeriksaan kadar FDP menggunakan metoda immunoturbidimetri, dan pemeriksaan kadar kreatinin menggunakan metoda enzimatik. Analisis statistik menggunakan uji Wilcoxon. Hasil penelitian : didapatkan nilai P-LCR pada PGTA pre hemodialisis lebih tinggi dari pada post hemodialisis dengan median 26,8 dan 25,4 (fl), kadar β- thromboglobulin meningkat pada post hemodialisis dibandingkan pada pre hemodialisis (median 200,88 dan 313,48 pg/ml), kadar FDP lebih tinggi pada post hemodialisis dibandingkan pre hemodialisis,( median 1,15 dan 1,7μg/ml), kadar Kreatinin lebih rendah pada post hemodialisis dibandingkan pada pre hemodialisis,( median 13.04 dan 4,56 mg/dL), seluruhnya menghasilkan nilai statistik p
Latar belakang: Petanda inflamasi berhubungan dengan outcome komplikasi sindrom koroner akut (SKA). C-reactive protein (CRP) merupakan petanda inflamasi sistemik dan vaskular. Interaksi antara rasio mean platelet volume (MPV)/trombosit, eosinofil dengan sel endotel berkontribusi terjadinya trombosis pada penderita SKA tersebut. Ketiga parameter tersebut dapat menjadi prediktor komplikasi pada pasien SKA. Tujuan: membuktikan kadar CRP, jumlah eosinofil (terdiri dari absolute count/EAC dan relatif) dan rasio MPV/trombosit sebagai prediktor komplikasi pada SKA. Metode: Desain penelitian kohort prospektif, pada 68 pasien SKA di RSUP dr. Kariadi dan diamati komplikasi selama 30 hari. CRP diperiksa dengan hs-CRP ELISA, jumlah eosinofil dan rasio MPV/trombosit menggunakan haematology analyzer. Data kategorikal dibandingkan dengan uji Chi-square, dilanjutkan dengan analisis regresi logistik. Hasil: Komplikasi terjadi pada 32 pasien yaitu Atrioventrikel block 8 (11,3%), sinus bradikardia 7 (9,9%), kematian 5 (7%), edem paru 4 (5,6%), sinus takikardia 3 (4,2%), atrium fibrilasi 2 (2,8%), ventrikular takikardia 2 (2,8%), dan ventrikel fibrilasi 1 (1,4%). Kategorikal kadar CRP dan EAC dikedua grup didapatkan hasil statistik bermakna (p=0,007; p=0,017). Kategorikal eosinofil relatif dan rasio MPV trombosit tidak bermakna dengan nilai p=0,092 dan 0,954. Analisis regresi logistik didapatkan hasil kadar CRP relative risk (RR)=4,787 (95%CI 1,331-17,218; p=0,017, EAC RR=3,196 (95%CI 1,104-9,254; p=0,032), dan eosinofil relatif ≤ 1,05%, RR=2,305 (95%CI 0,367-14,486, p=0,373). Simpulan: Peningkatan kadar CRP > 6,96 mg/L berisiko terjadi komplikasi SKA 4,787 kali dan penurunan EAC ≤ 190/μl berisiko terjadi komplikasi SKA 3,196 kali. Kata kunci: SKA, CRP, jumlah eosinofil, rasio MPV/trombosit, komplikasi
Pendahuluan: Stroke merupakan penyebab terbesar ketidakmampuan fisik, emosi, dan kehidupan sosial pada orang dewasa. Serangan stroke berulang menyebabkan peningkatan resiko penurunan kualitas hidup. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien stroke penting untuk evaluasi perawatan pasien stroke baik secara kualitas maupun kuantitas. Tujuan: Mengetahui ada tidaknya perbedaan kualitas hidup berdasarkan Short Form-36 (SF-36) antara pasien stroke iskemik serangan pertama dan kedua. Metode: Penelitian ini adalah observational analitik dengan pendekatan cross sectional di Poliklinik Neurologi RSUP dr.Kariadi Semarang sealama 3 bulan dengan 50 subyek pasien paska stroke iskemik serangan pertama dan kedua. Dilakuakan anamnesa, pemeriksaan fisik dan kuesioner SF-36. Data demografik dan faktor – faktor yang berbengaruh terhadap skor kualitas hidup terkait kesehatan di data. Analisa data dilakukan dengan program SPSS 23.00. Perbedaan kualitas hidup berdasarkan Short Form-36 (SF – 36) antara pasien stroke iskemik serangan pertama dengan kedua dianalisa dengan uji beda. Hasil: Umur yang semakin meningkat menunjukkan skor kualitas kesehatan yang semakin menurun. Skor kualitas hidup terkait kesehatan lebih rendah pada subyek yang lama menderita strokenya lebih dari 1 tahun. Skor kualitas hidup terkait kesehatan pada kelompok subyek serangan stroke pertama didapatkan lebih tinggi pada subyek laki-laki.dan serangan stroke kedua lebih tinggi pada subyek perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi skor kualitas hidup terkait kesehatan. Didapatkan perbedaan yang bermakna antara rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan pasien stroke serangan pertama dan kedua pada dimensi fungsi fisik, peranan fisik, energi, serta pada total skor. Diskusi: Terdapat perbedaan bermakna kualitas hidup berdasarkan Short Form-36 (SF-36) antara pasien stroke iskemik serangan pertama dengan kedua Kata kunci: Skor kualitas hidup berdasarkan Short Form-36 (SF-3), stroke iskemik serangan pertama dengan kedua
Latar belakang : Kebisingan di tempat kerja seringkali merupakan problem bagi tenaga kerja. Dampak paparan kebisingan dapat berupa auditori yaitu Noise Induce Hearing Loss (NIHL), dampak non auditori berupa gangguan kejiwaan berupa depresi, kecemasan dan stress. Tujuan : Mengetahui pengaruh bising terhadap pendengaran dan kejiwaan pada pekerja terpapar bising. Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain belah lintang. Tingkat kebisingan diukur dengan menggunakan alat sound-level-meter, gangguan pendengaran dinilai dari hasil audiometry NIHL, gangguan kejiwaan dinilai dari jawaban kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) dari WHO. Analisis data dengan uji chi square. Hasil : Sebanya 326 sampel bekerja lebih dari 10 tahun sebanyak 179 (54,9%) dan kurang dari 10 tahun sebanyak 147 (45,1%). NIHL 51 sampel (15,6%), gangguan kejiwaan sampel (47,2%). Terdapat pengaruh lama paparan bising (p=0,007). Simpulan : Lama paparan dan intensitas bising berpengaruh terhadap pendengaran. Intensitas kebisingan berpengaruh terhadap derajat keparahan depresi. Lama paparan bising berpengaruh lebih kuat pada kejadian NIHL di banding dengan intensitas bising. Kata kunci : kebisingan, NIHL, depresi, ansietas, stres
Latar belakang : Meningioma adalah tumor jinak ekstraaksial dari sel meningothelial (Arachnoid). Status reseptor progesteron, derajat histopatologi dan aktifitas proliferasi tumor dapat digunakan sebagai faktor prognosis meningioma. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan ekspresi reseptor progesteron (PR) dan Ki67 pada pasien meningioma derajat I, II, II di RSUP dr. Kariadi Semarang. Bahan dan cara : Subyek penelitian merupakan kasus meningoma tahun 2011-2014 di laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu derajat I, II, III kemudian dilakukan pengecatan imunohistokimia antibodi monoklonal Ki-67 dan reseptor progesteron, dianalisis dengan uji Krussal Wallis dilanjutkan uji Mann Whitney. HAsil : Meningoma sebagian besar mengekspresikan reseptor progesteron, tetapi tidak berhubungan secara bermakna dengan derajat meningioma (p=0,132). Terdapat peningkatan ekspresi Ki-67, namun tidak berhubungan secara bermakna dengan derajat meningioma (p=0,437). Berdasarkan uji Mann Whitney. tidak terdapat hubungan yang bermakna antara PR dengan derajat I dan II (p=0,796) dan antara Ki-67 dengan derajat I dan II (p=0,403). Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara PR dengan meningioma derajat I dan II (p=0,091) dan Ki-67 dengan derajat I dan II secara statistik tidak bermakna (p=0,353). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara PR dengan derajat II dan III (p=0,181) dan antara Ki-67 dengan derajat I dan II (p=0,713). Kesimpulan : Terdapat peningkatan ekspresi PR dan Ki-67 pada tiap derajat, namun tidak terdapat hubungan yang bermakna pada ekspresi PR dan Ki-67 pada tiap derajat meningioma. Kata kunci : meningioma, PR, Ki67