Latar belakang: Kongesti paru yang disebabkan oleh peningkatan volume cairan intravaskuler dapat menyebabkan kondisi kekurangan oksigen, kegagalan organ, dan peningkatan risiko kematian. Kongesti paru merupakan keadaan di mana terjadi akumulasi cairan yang berlebihan pada extravascular compartement paru, yaitu pada interstitial atau airspace. Kongesti paru didasari oleh dua mekanisme utama, yaitu mekanisme hidrostatik dan mekanisme permeabilitas. Kongesti paru hidrostatik sering disebabkan oleh volume intravaskuler yang berlebihan. Volume intravaskuler dapat dinilai dengan vascular pedicle width, yaitu lebar bayangan vaskuler-vaskler besar pada rongga toraks. Metoda: Desain penelitian analisis observasional dengan rancangan belah lintng dan uji korelasi. Subyek penelitian sebanyak tiga puluh pasien yang menjalani pemeriksaan foto toraks konvensional dengan hasil kongesti paru, kemudian dilakukan penilaian derajat kongesti paru dengan radiological score dan juga pengukuran vascular pedicle width pada foto toraks tersebut. Hasil pengukuran kedua hal tersebut kemudian diolah secara statistic dan dilakuakn analisis bivariate untuk menguji hipotesis. Kedua variabel dalam penelitian ini berskala rasio, maka dilakukan uji normalitas saphiro-wilk. Variabel dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal, maka dilanjutkan uji korelasi rank-spearman. Hasil: Pada uji statistic dari 30 subyek penelitian yang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 12 orang perempuan didapatkan usia rata-rata (mean) dari sampel pada penelitian ini adalah 48.6 ± 13.1, mean dari skor derajat kongesti paru adalah 3.3 ± 1.2 dan mean dari vascular pedicle width adalah 51.4 ± 5.4. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi atau kesesuaian yang bermakan antara skor derajat kongesti paru dengan vascular pedicle width (p value = 0,000; rho = 0,783). Berdasarkan nilai rho tersebut, terdapat hubungan yang kuat dengan asosiasi linier positif antara skor derajat kongesti paru dengan vascular pedicle width, dimana semakin tinggi nilai skor derajat kongesti paru, maka nilai vascular pedicle width akan semakin tinggi. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakan antara skor derajat kongesti paru dengan vascular pedicle width dengan asosiasi linier positif dan korelasi kuat di mana semakin tinggi nilai skor derajat kongesti paru, maka nilai vascular pedicle width akan semakin tinggi pula. Kata kunci: kongesti paru, edema paru, lebar pedikel vaskuler
Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) adalah penyakit inflamasi di mukosa hidung dan sinus paranasal. Pemeriksaan Computerized Tomography Scan (CT Scan) sinus paranasal adalah pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas untuk mendiagnosis RSK. Lund-MacKay CT Score lebih banyak diterima sebagai alat untuk mengukur derajat RSK. Peradangan kronis jangka panjang dari mukosa sinus sering diikuti oleh remodeling tulang sinus, yang disebut osteitis. Salah satu menilai derajat osteitis adalah dengan menggunakan system Global Osteitis Score. Pada hasil histopatologis untuk pasien rinosinusitis kronik akan didapatkan hasil dominasi eosinofil dan non eosinofil. Tujuan : Penelitian ini meneliti hubungan derajat Global Osteitis Score dan Lund-Mackey CT Score terhadap dominasi sel eosinophil pada gambaran histopatologis mukosa pada RSK. Metoda: Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan desain penelitian belah lintang (cross-sectional) pada Departemen Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RSUP dr. Kariadi Semarang. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari 29 pasien yang dikumpulkan dari arsip rekam medis dan pemeriksaan CT scan dari histopatologi dari Januari 2019-Maret 2020. Analisis statistic menggunakan SPSS versi 20.0, uji analisis menggunakan Mann-Whitney dengan nilai p
Latar belakang : Matriks ekstra selular pada trabekular meshwork berperan dalam regulasi aliran humor, remodelling dari matriks ekstra selular mempengaruhi outflow dari humor aquos. Pemberian kortikosteroid jangka panjang menimbulkan efek peningkatan TIO akibat akumulasi material matriks ekstraselular dalam trabekular meshwork, faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain potensi steroid, farmakokinetik, lama pemberian, lama penghentian, rute pemberian, dosis, serta perbedaan dalam respon individu. Penghentian deksametason dalam periode waktu tertentu dapat menurunkan TIO kembali normal. Tujuan : Menganalisis perbedaan ketebalan matriks ekstraselular trabekular meshwork pasca penghentian deksametason topikal 14 dan 28 hari. Metode : Penelitian eksperimental dengan post test only controlled group design. Total sample 28 tikus yang terbagi dalam 4 kelompok, yang terdiri dari kontrol, perlakuan 1 (dihentikan 0 hari), perlakuan 2 (dihentikan 14 hari) dan perlakuan 3 (dihentikan 28 hari). Pemeriksaan Patologi Anatomi matriks ekstra selular trabecular meshwok menggunakan grading skor histopatologis. Penelitian ini menggunakan uji hipotesis komparatif Kruskal Wallis dan Mann Whitney (signifikansi p< 0,05). Hasil : Uji Cronbach Alpha didapatkan nilai kappa (κ) 0,924. Uji komparatif kelompok kontrol dengan perlakuan 1, 2 dan 3 menunjukkan hasil signifikan (p
Latar belakang: Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) akibat ischemic heart disease (IHD) menunjukkan penurunan fungsi kontraktil ventrikel kiri yang progresif. Manfaat penambahan trimetazidine pada terapi gagal jantung standar terhadap fungsi kontraktil ventrikel kiri pada kelompok pasien ini telah ditunjukkan oleh banyak studi namun belum ada yang menggunakan parameter nilai global longitudinal strain (GLS) ventrikel kiri yang lebih menggambarkan fungsi kontraktil ventrikel kiri. Tujuan: Membuktikan pengaruh trimetazidine terhadap nilai global longitudinal strain (GLS) ventrikel kiri pada pasien HFrEF akibat IHD. Metode: Penelitian double-blind, randomized placebo-controlled trial yang melibatkan 26 pasien HFrEF akibat IHD stabil yang diberikan trimetazidine modified release 35 mg, 2 kali/hari (n= 13) atau placebo (n= 13) selama 3 bulan selain medikamentosa standar. Nilai GLS ventrikel kiri diperiksa pada saat awal dan sesudah 3 bulan dengan ekokardiografi. Hasil: Total 25 subjek partisipan (13 kelompok kontrol dan 12 kelompok trimetazidine) dengan rerata usia 57,1±10 tahun, nilai left ventricular ejection fraction (LVEF) 34,6 ± 4,4% dan nilai GLS 7,4±2,1%. Tidak terdapat perbedaan karakteristik dasar klinis dan ekokardiogram antara kedua kelompok. Terdapat perbaikan GLS yang signifikan pada kelompok trimetazidine (-6,9 ± 2,4 menjadi -8,4 ± 2,6%, p=0,000) dan tidak terdapat perubahan nilai GLS pada kelompok kontrol (-7,8 ± 1,7 vs -7,1 ± 1,8%, p=0,162 ). Perbaikan nilai GLS lebih tinggi secara signifikan pada kelompok trimetazidine dibandingkan kelompok kontrol (1,5 + 0,9 % vs -0,7 + 1,7%, p=0,001). Tidak didapatkan efek samping akibat pemberian trimetazidine pada studi ini. Kesimpulan: Trimetazidine dapat memperbaiki nilai GLS ventrikel kiri pada penderita HFrEF akibat IHD. Kata kunci: trimetazidine, global longitudinal strain, heart failure with reduced ejection fraction, ischemic heart disease
Latar belakang: Keterlambatan reperfusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berkontribusi terhadap tingginya kejadian kardiovaskular mayor selama rawat inap pasca intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Remote ischemic preconditioning (RIPC) dapat memberikan kardioproteksi tambahan dan menurunkan luas infark miokard, sehingga diharapkan mampu memperbaiki luaran klinis pasca IKPP pada pasien IMA-EST dengan keterlambatan reperfusi yang signifikan. Tujuan: Mengetahui pengaruh RIPC terhadap kejadian kardiovaskular mayor selama rawat inap pasca IKPP pada pasien IMA-EST dengan keterlambatan reperfusi yang signifikan. Metode: Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan onset ≤ 12 jam atau > 12 jam disertai nyeri dada yang terus berlangsung dan mengalami keterlambatan reperfusi (waktu door to wire crossing > 90 menit dan waktu total iskemik > 180 menit) dirandomisasi ke dalam kelompok RIPC (IKPP standar ditambah prosedur RIPC) atau kontrol (IKPP standar). Kejadian kardiovaskular mayor selama rawat inap merupakan kombinasi kejadian mortalitas, stroke, aritmia, edema paru akut atau syok kardiogenik. Hasil: Dalam analisis terhadap 35 pasien kelompok RIPC dan 35 pasien kelompok kontrol, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok dalam komponen-komponen kejadian kardiovaskular mayor: mortalitas (p = 0,356), aritmia (p= 0,114), edema paru akut (p = 0,356) dan syok kardiogenik (p= 1,00), namun kombinasi komponen kejadian kardiovaskular mayor secara bermakna lebih rendah pada kelompok RIPC (5,7%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (25,7%), (RR = 0,222, 95% CI 0,052 – 0,956, p = 0,022). ΔCK-MB kelompok RIPC = 292 (200 – 426) U/L lebih rendah daripada ΔCK-MB kelompok kontrol = 437 (373 – 567) U/L, (p=0,024). Kesimpulan: RIPC secara statistik menurunkan kejadian kardiovaskular mayor selama rawat inap pasca IKPP pada pasien IMA-EST dengan keterlambatan reperfusi yang signifikan. Kata kunci: remote ischemic preconditioning, intervensi koroner perkutan primer, kejadian kardiovaskular mayor, infark miokard akut dengan elevasi segmen ST, keterlambatan reperfusi.
Latar belakang : Kemoterapi dapat menyelamatkan banyak penyintas kanker payudara. Namun efek samping kemoterapi Cyclophosphamide, Adriamycin dan 5-Fluorouracil (CAF) diduga menyebabkan penurunan Global Longitudinal Strain (GLS). Tujuan : Melihat apakah terdapat penurunan GLS pada pasien karsinoma payudara yang diberikan kemoterapi CAF pada Siklus 1,2 dan 3 dibandingkan sebelum diberikan kemoterapi. Metode : Studi Prospektif Observasional Analitik dari pasien rawat jalan dengan diagnosis karsinoma payudara, yang tidak terdapat disfungsi ventrikel dan diberikan kemoterapi CAF. Setiap pasien dilakukan pemeriksaan GLS setiap siklus. Hasil : Terdapat 37 subyek dengan rerata usia 52,76+11,39 tahun. Terdapat penurunan GLS disetiap siklus kemoterapi dibandingkan baseline yang signifikan secara statistik (p
Latar Belakang: Hipertensi arteri paru dapat menyebabkan kegagalan ventrikel kanan akibat hipertrofi dan dilatasi pada ventrikel kanan. Penelitian sebelumnya menyebutkan iskemia miokardium yang terjadi pada hipertrofi ventrikel kanan dapat mengakibatkan peningkatan kadar asam urat. Korelasi antara fungsi ventrikel kanan dan kadar asam urat belum banyak diteliti. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi antara fungsi ventrikel kanan yang dinilai menggunakan right ventricular strain dengan kadar asam urat pada pasien hipertensi arteri paru. Metode: Penelitian ini adalah penelitian belah lintang pada pasien hipertensi arteri paru yang terkonfirmasi dengan kateterisasi jantung kanan. Didapatkan 25 pasien yang dilakukan penilaian right ventricular strain dengan ekokardiografi dan kadar asam urat. Hasil: Dari 25 subjek didapatkan rerata usia adalah 34,12±11,9 tahun dengan mayoritas perempuan. Rerata indeks massa tubuh pada sampel penelitian yaitu sebesar 19,69±2,6 kg/m2. Rerata diameter basal ventrikel kanan yaitu sebesar 4,15±1,2 cm, rarata luas area atrium kanan yaitu sebesar 22,842±10,7 cm2. Etiologi hipertensi paru tebanyak adalah defek septum atrium (60%). Rerata right ventricular strain sebesar 18,41±4,0, rerata kadar asam urat yaitu sebesar 5,57±1,0 mg/dl. Semua subjek mendapatkan obat monoterapi vasodilator pembuluh darah paru, tidak mendapatkan diuretik dan obat penghambat xanthine oxidase. Didapatkan korelasi negatif antara nilai right ventricular strain dengan kadar asam urat (p = 0,024 ; r = - 0,449). Kesimpulan : Terdapat korelasi antara nilai right ventricular strain dengan kadar asam urat pada pasien hipertensi arteri paru. Kata Kunci: right ventricular strain, asam urat, hipertensi arteri paru.
Latar Belakang: Latihan fisik yang dilakukan atlet latih ketahanan dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi, serta periode waktu yang lama dapat meningkatkan risiko morbiditas kardiovaskular yaitu artimia, penyakit jantung koroner dan fibrosis mikardium. Procollagen of Type-I carboxy terminal propeptide (PICP) merupakan suatu biomarker penanda sintesis kolagen-I yang akan meningkat pada kondisi profibrosis. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk membedakan antara kadar PICP sebagai penanda sintesis kolagen-I pada atlet latih ketahanan dan non-atlet. Metode: Penenelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancang bedah lintang pada 18 atlet latih lari jarak jauh dan 18 non-atlet. Kadar serum PICP diperiksa dengan metode ELISA. Hasil: Dari 18 atlet dan 18 non-atlet didapatkan rerata usia (22,1±2,76) dan (22±1,18) dengan seluruhnya laki-laki. Pada kelompok atlet telah menjalani periode latihan rerata selama 6 tahun (5-8 tahun) dan jarak lari/minggu 25km (25- 50km). Pada pemeriksaan kadar serum PICP didapatkan kadar PICP serum pada atlet lebih tinggi (3944,72±211,43) dibandingkan dengan non-atlet (1761,22±369,86) P