Pendahuluan : Metanol merupakan produk denaturasi alkohol (etanol) sangat berbahaya bila diminum dan dapat menyebabkan kematian .Ranitidine memiliki kemampuan untuk menginhibisi enzim alkohol dehydrogenase yang sehingga secara tidak langsung mempunyai efek antidotum pada toksisitas metanol. Tujuan : untuk mengetahui pengaruh pemberian ranitidin terhadap histopatologi hati tikus Wistar dengan pemberian metanol dosis bertingkat. Material dan Metode : Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Semarang dan Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP dr. Kariadi Semarang sebagai tempat pemeliharaan dan tempat perlakuan penelitian terhadap hewan coba, Laboratorium Patologi Anatomi RSUD dr. Soeratno Gemolong Sragen sebagai tempat pembuatan preparat dan pemeriksaan mikroskopis dengan 35 sampel Tikus Wistar. Tikus Wistar 7 kelompok, yaitu 6 kelompok perlakuan, 1 kelompok kontrol. Organ hati diperiksa tingkat kerusakan selnya dan diklasifikasikan berdasarkan system skor Manja Roenigk. Untuk mencari perbedaan tiap kelompok, klasifikasi tersebut dianalisa dengan uji Chi-Square untuk melihat perbedaan antar kelompok. Hasil Penelitian : kelompok kontrol signifikan terhadap kelompok ¼ LD 100 Metanol, kelompok ½ LD 100 Metanol, kelompok LD 100 Metanol, kelompok ½ LD 100 Metanol + Ranitidin dan kelompok LD 100 Metanol + Ranitidin dengan nilai p 0,005. Pada kelompok ¼ LD 100 Metanol dengan ranitidin terdapat perbaikan signifkan dibandingan dengan kelompok ¼ LD 100 Metanol tanpa pemberian Ranitidin. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ranitidin memberikan efek antidotum pada metanol dengan dosis tertentu. Kesimpulan : ranitidin dapat mengurangi tingkat kerusakan jaringan ogan hati karena mempunyai efek antidotum pada keracunan metanol, tapi tidak sebagai antidotum. Kata Kunci : Ranitidin, Keracunan Metanol, Organ Hati, Histopatologi
Pendahuluan : Keracunan minuman keras oplosan sering terjadi akhir- akhir ini, dimana bahan dasar pembuatan minuman keras yang seharusnya memakai etanol diganti dengan metanol yang mempunyai efek buruk sampai dengan menyebabkan kematian. Penggunaan Ranitidin sebagai antagonis Reseptor H2 dapat menghambat metabolisme metanol yang secara tidak langsung mempunyai efek antidotum pada keracunan metanol. Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh pemberian ranitidin terhadap histopatologi usus halus tikus wistar dengan pemberian metanol dosis bertingkat. Material dan Metode : Penelitian ini merupakan penelitian true experimental dengan desain yang dipakai adalah post test only with kontrol group design. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Semarang, RSUP Dr. Kariadi Semarang dan Laboratorium Patologi Anatomi RSUD dr. Soeratno Gemolong Sragen sebagai tempat pembuatan preparat dan pemeriksaan mikroskopis dengan 35 sampel. Tikus Wistar dibagi menjadi 7 kelompok yaitu 6 kelompok perlakuan, dan 1 kelompok kontrol. Organ usus halus diperiksa tingkat kerusakan selnya dan diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan sistem skor Barthel Manja. Untuk mencari perbedaan dari tiap kelompok, klasifikasi tersebut dianalisis dengan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar kelompok. Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan P1 dengan nilai p 0,005; kelompok kontrol dengan P2 dengan nilai p 0,004; kelompok kontrol dengan P3 dengan nilai p 0,005; kelompok P1 dengan P4 dengan nilai p 0,005, kelompok P2 dengan P5 dengan nilai p 0,015 dan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok P3 dengan dengan nilai p 0,134. Dari Hasil ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ranitidin mempunyai efek antidotum pada metanol dengan dosis tertentu. Kesimpulan : Ranitidin dapat mengurangi tingkat kerusakan jaringan karena mempunyai efek antidotum, namun tidak sebagai antidotum melainkan etanol dan fomepizol yang direkomendasikan. Kata Kunci : Ranitidin, Histopatologi, Usus Halus, Metanol
Pendahuluan : Identifikasi adalah penentuan identitas orang hidup maupun mati berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut, dengan meningkatnya kejadian bencana massal baik yang disebabkan oleh alam maupun oleh manusia ataupun meningkatnya kasus tindak pidana menjadikan identifikasi menjadi penting. Identifikasi dibagi menjadi dua, yaitu identifikasi primer dan sekunder, dimana pemeriksaan sidik bibir merupakan identifikasi sekunder. Cheiloscopy adalah teknik investigasi forensik yang melakukan identifikasi berdasarkan pola sidik bibir yang unik untuk setiap individu. Tujuan : Untuk membuktikan hubungan pola sidik bibir berdasarkan klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi terhadap suku Jawa, Batak dan Melayu. Material dan Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Dilakukan di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan 509 sampel dokter muda yang merupakan keturunan asli 3 generasi dari Suku Jawa, Batak dan Melayu. Lipstik diaplikasikan pada bibir responden. Sidik bibir dicetak pada kertas putih. Area studi adalah 5 mm di kanan dan kiri bibir atas dan bawah dari garis tengah tubuh, yang terbagi dalam 4 kuadran. Cetakan bibir yang diperoleh, dievaluasi berdasarkan klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi, dimana pola sidik bibir dibagi menjadi 6 tipe, yaitu tipe I, tipe I’, tipe II, tipe III, tipe IV, tipe V. Hasil : Pada Suku Jawa di kuadran I masing-masing tipe sidik bibir diuji dengan Fisher’s Exact Test didapatkan nilai P yang tidak signifikan, kuadran II didapatkan nilai pada tipe I (P< 0,010) dan tipe IV (P< 0,038), kuadran III didapatkan tipe I’ (P
Latar Belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi hidung dan sinus paranasal ≥ 12 minggu dengan keluhan hidung tersumbat. Sumbatan hidung dapat menyebabkan disfungsi tuba eustachius. Tujuan: Mengetahui hubungan antara sumbatan hidung dengan disfungsi tuba eustachius pada penderita RSK. Metode: Penelitian observasional analitik dengan belah lintang di RSUD Dr. Soeselo Slawi Tegal pada bulan September sampai Oktober 2016. Subyek adalah penderita RSK. Penilaian sumbatan hidung dengan Nose scale dan PNIF. Penilaian disfungsi tuba eustachius menggunakan kurva timpanogram dan/ ETF. Analisis statistik dengan menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil: Didapatkan 63 penderita RSK, usia terbanyak 41-55 tahun (30,2%), perempuan (66,7%), laki-laki (33,3%). Keluhan utama terbanyak hidung tersumbat (44,4%). Lama keluhan terbanyak ≤ 12 bulan (84,1%). Terdapat hubungan antara sumbatan hidung dengan disfungsi tuba eustachius (p=0,004). Konka hipertrofi (p=0,014) dan Rinitis alergi (p=0,001) berpengaruh terhadap kejadian disfungsi tuba eustachius. Uji regresi logistik didapatkan rinitis alergi lebih berpengaruh terhadap kejadian disfungsi tuba eustachius (p= 0,037 RP 7,626) Simpulan: Terdapat hubungan antara sumbatan hidung dengan disfungsi tuba eustachius pada penderita RSK. Konka hipertrofi dan rinitis alergi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian disfungsi tuba eustachius pada penderita RSK. Rinitis alergi lebih berpengaruh terhadap kejadian disfungsi tuba eustachius. Kata kunci: Rinosinusitis kronik, Sumbatan hidung, Disfungsi tuba eustachius