Latar belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan 40-50% penderita anak-anak. C-Reactive Protein (CRP) merupakan protein yang disekresi dalam respon terhadap inflamasi. Peningkatan kadar CRP menunjukkan proses aktif penyakit TB. High sensitivity CRP (hs-CRP) merupakan CRP dengan akurasi lebih tinggi dan sensitif sehingga dapat mendeteksi kadar yang lebih rendah. Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar hs-CRP pada anak dengan infeksi TB, TB paru, dan TB ekstraparu. Metode: Penelitian belah lintang pada pasien TB anak di RSUP Dr. Kariadi dan Balai Kesehatan Masyarakat periode Januari 2020 – Februari 2021. Kriteria inklusi meliputi pasien usia 1-18 tahun yang diduga TB (kontak dengan pasien TB dewasa atau secara klinis dicurigai TB). Data meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, z-score, gejala klinis, foto thoraks, bukti bakteriologi, status tuberkulosis dan kadar hs-CRP. Data diolah menggunakan SPSS 16, dianalisis secara deskriptif dan dilakukan uji komparasi. Hasil: Dari 95 subyek penelitian, didapatkan 19 pasien infeksi TB, 51 pasien TB paru, dan 25 pasien TB ekstraparu. Terdapat perbedaan kadar hs-CRP signifikan berdasarkan WHZ atau BMI for age (p=0,048), klinis demam lama (p
Latar belakang : Kualitas hidup anak Lupus Nefritis (LN) masih menjadi salah satu permasalahan yang sering terjadi di dunia. Di Indonesia, masih belum ada data yang pasti mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi kualitas hidup anak LN. Tujuan : Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup anak dengan Lupus Nefritis. Metode : Penelitian deskriptif analitik cross sectional dilakukan pada anak LN yang berobat di poliklinik dan ruang rawat inap anak RSUP. Dr. Kariadi Semarang. Variabel yang diteliti antara lain: jenis kelamin, usia, status gizi, lama sakit, lama pengobatan, pendidikan anak, pendidikan orang tua, pendapatan orangtua. Data dianalisis secara deskriptif, hubungan faktor yang memengaruhi kualitas hidup anak LN dianalisis menggunakan Chi-square, Fisher exact dan analisis multivariat regresi logistic dilakukan untuk menilai faktor yang paling berpengaruh. Hasil: Selama tiga bulan penelitian didapatkan 35 subjek, perempuan lebih dominan dibanding laki-laki (5:1). Sebesar 80% anak pada rentang usia 13-18 tahun. Dari hasil uji bivariat didapatkan lama sakit (p= 0,007), status nutrisi (p= 0,003), pendidikan (p= 0,002; CI 2,26–80,79) dan pendapatan orang tua (p=0,020) memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan kualitas hidup anak dengan LN. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia (p= 0,660), jenis kelamin (p= 0,519), pendidikan anak (p= 0,279), pendidikan (p= 0,020) dengan kualitas hidup anak LN. Lama sakit merupakan faktor paling berpengaruh (OR= 20,80; p=0,005). Kesimpulan: Faktor yang memengaruhi kualitas hidup anak LN adalah lama sakit, status nutrisi, pendidikan dan pendapatan orang tua. Lama sakit merupakan faktor yang paling berpengaruh. Kata Kunci: Lupus nefritis, faktor risiko, kualitas hidup
Latar belakang : Disleksia merupakan kesulitan belajar spesifik yang mempengaruhi prestasi akademik anak. Orang tua dan guru sering salah mengartikan anak disleksia sebagai anak dengan keterbelakangan. Penelitian mengenai disleksia di Indonesia masih sangat terbatas. Tujuan : Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi disleksia dan faktor risiko yang menyertainya. Metode : Studi potong lintang dilakukan di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Total subyek penelitian berjumlah 241 siswa yang tersebar di 16 Sekolah Dasar dan 16 Kecamatan Kota Semarang. Kuesioner Colorado Learning Disabilities Questionnaire-Reading / CLDQ-R digunakan untuk mengidentifikasi anak-anak disleksia. Uji chi-square dan regresi logistik multivariat digunakan untuk mengungkap faktor risiko disleksia. Faktor risiko disleksia yang diteliti adalah jenis kelamin, riwayat disleksia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, lingkungan literasi d rumah dan kebiasaan belajar anak di rumah. Hasil : Prevalensi disleksia pada anak Sekolah Dasar di Kota Semarang adalah 1.23- 17% dan berdasarkan uji logistik multivariate riwayat disleksia pada orang tua mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya disleksia (p
Latar belakang : Asma merupakan penyakit inflamasi kronis respirasi yang cukup sering dijumpai pada anak. Tidak ada kesembuhan pada penyakit asma namun dapat dikontrol. Penilaian derajat kendali asma menurut kriteria GINA kurang praktis karena dinilai oleh dokter dan menggunakan alat pengukur fungsi paru. Asthma Control Test (ACT) dan Childhood Asthma Control Test (c-ACT) merupakan alat sederhana berupa kuesioner penilaian klinis penderita asma yang mudah dilakukan oleh pasien ataupun orangtua. Tujuan : Untuk menilai sensitifitas dan spesifisitas ACT/c-ACT dalam evaluasi derajat kendali asma pada anak. Metode : Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan metode cross sectional, pada 33 pasien anak dengan asma yang diambil secara consecutive sampling. Dilakukan pengumpulan data dari catatan medis, anamnesis, pemeriksaan fisik, Peak Expiratory Flow, penilaian menurut kriteria GINA serta pengisian kuisioner ACT/c-ACT versi indonesia. Analisa data menggunakan program SPSS versi 25. Hasil : Dari 33 subjek penelitian, 22 subyek menggunakan penilaian c-ACT, sementara 11 subyek menggunakan penilaian ACT. Mayoritas subyek masuk kedalam kategori terkontrol berdasarkan GINA. Hasil uji diagnostik dan analisa kurva ROC menunjukan nilai c-ACT/ACT dengan cut off ≥19 paling baik dalam mendiagnosis asma terkontrol dengan nilai AUC c-ACT dan ACT masing masing89,5% dan 91,7%; sensitifitas 95,0%; spesifitas 84,6%; PPV 90,5%; NPV 91,7%; serta akurasi 90,9%. Kesimpulan : ACT/c-ACT memiliki nilai diagnostik yang baik dibandingkan dengan kriteria GINA sehingga dapat digunakan untuk mengevaluasi anak dengan asma. Kata kunci: asthma control test, childhood-Asthma control test, Peak Expiratory Flow, kriteria GINA.
Latar belakang: Syok septik merupakan salah satu penyebab utama kematian anak di seluruh dunia. Pada sepsis terjadi ketidakseimbangan dimana kadar antioksidan dalam tubuh tidak dapat menghambat terbentuknya produksi radikal bebas yang berlebihan sebagai respon terhadap inflamasi dan infeksi. Nitric oxide (NO) merupakan salah satu oksidan yang diproduksi berlebihan pada kondisi sepsis dan berperan dalam terjadinya hipotensi pada syok septik. Vitamin C merupakan zat antioksidan yang berfungsi membersihkan radikal bebas, menurunkan permeabilitas endotel dan apoptosis seluler, serta kofaktor sintesis vasopressor endogen. Diketahui bahwa pada kondisi sepsis kadar vitamin C dalam darah menurun dan kadar NO meningkat. Tujuan: Mengetahui korelasi kadar vitamin C dengan kadar NO serum pada anak dengan syok septik. Metode: Ini merupakan penelitian potong lintang dengan metode pengumpulan subyek secara konsekutif yang dilakukan pada anak syok septik usia 1 bulan - 18 tahun di RSUP Dr. Kariadi pada bulan November 2020-Januari 2021. Kadar vitamin C dan kadar NO serum diukur dengan metode kolorimetrik. Hasil: Dari 40 anak syok septik, didapatkan median usia 20 bulan (2-214 bulan), 21 anak (52.5%) berjenis kelamin laki-laki, 21 (52.5%) anak dengan status gizi kurang, 25 (62.5%) anak menggunakan ventilator mekanik, 10 (25%) anak menggunakan lebih dari satu obat vasoaktif, dan 31 (77.5%) anak mengalami kondisi asidosis. Rerata kadar vitamin C serum 7.35 ± 2.723 μg/ml, kadar NO serum 47.25 ± 19.278 μmol/l. Tidak didapatkan korelasi antara kadar serum vitamin C dengan serum NO pada anak syok septik (p = 0.732, r = 0.056). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin C dengan kadar NO serum pada anak syok septik. Kata Kunci: syok septik, vitamin c, nitric oxide
Latar belakang: Penderita talasemia dengan tranfusi berulang (multitransfusi) berisiko mengalami osteoporosis dini, pada osteoporosis terjadi peningkatan matriks tulang yang ditandai dengan penurunan kadar insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan ion kalsium serum, serta peningkatan kadar β-Crosslaps (β-CTx) serum. Penelitian tentang hubungan antara kadar IGF-1 dan ion kalsium dengan β-CTx serum saat ini masih sedikit. Tujuan: Membuktikan hubungan antara kadar IGF-1 dan ion kalsium dengan β-CTx serum pada pasien talasemia β mayor multitransfusi. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada 29 pasien talasemia dengan transfusi berulang, usia 2 – 18 tahun. Pemeriksaan kadar ion kalsium dilakukan menggunakan alat nova phox plus metode O-cresolphthalein complexon (CPC). Kadar IGF-1 dan β-CTx serum diperiksa dengan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Data dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil: Rerata kadar IGF-1 serum, ion kalsium dan β-CTx serum berturut-turut adalah 20,11 ± 20,763 ng/ml, 1,26 ± 0,07 mmol/l, dan 9330,40 ± 1696,76 ng/ml. Analisis statistik menunjukkan hubungan yang signifikan antara kadar IGF-1 (r= -0,573; p= 0,001) dan ion kalsium (r= -0,373; p= 0,046) dengan β-CTx serum. Simpulan: Terdapat hubungan negatif sedang antara kadar IGF-1 dengan β-CTx serum. Terdapat hubungan negatif lemah antara kadar ion kalsium dengan β-CTx serum. Kata Kunci: talasemia β mayor mutitranfusi, IGF-1, ion kalsium, β-crosslaps