Latar Belakang : Prevalensi Sindrom nefrotik di Indonesia mencapai 6 tiap 100.000 anak pertahun. Sindrom nefrotik memiliki hubungan dengan komplikasi kardiovaskular pada anak dikemudian hari. Ankle-Brachial Index (ABI) merupakan salah satu metode skrining non invasif yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya aterosklerosis. Tujuan penelitian : Mengetahui hubungan antara profil lipid dan IMT dengan ABI pada pasien anak dengan sindrom nefrotik. Metode : Metode penelitian adalah observasional dengan desain potong lintang. Pemeriksaan dilakukan pada 24 anak sindrom nefrotik yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Profil lipid berupa kolesterol total, LDL, HDL, dan Trigliserida diperiksa melalui darah vena. IMT didapatkan dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan dalam meter kuadrat. ABI didapatkan dengan membandingkan tekanan sistolik kaki dan lengan, kemudian diambil rasio yang paling rendah. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan menggunakan korelasi Pearson. Hasil : Kolesterol total, LDL, HDL, dan IMT mempunyai hubungan yang sangat lemah terhadap ABI (r=
Pendahuluan Produksi Hepatocyte Growth Factor (HGF) meningkat sebagai respon terhadap infeksi dan merupakan salah satu marker beratnya kerusakan jaringan. Tujuan Membuktikan kadar HGF dapat digunakan sebagai prediktor luaran sepsis pada anak. Material dan Metode Penelitian kohort prospektif, dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang dari September 2014 sampai Februari 2015. Sepsis didefinisikan menurut Konsensus Konferensi Sepsis pada Anak tahun 2005. Subyek dikelompokkan sebagai luaran perbaikan dan perburukan. Perbedaan kadar HGF serum antara kedua kelompok diukur dengan metode ELISA dan dianalisis dengan uji Mann-Whitney U. Cut-off point kadar HGF serum untuk prediktor luaran sepsis ditentukan dengan menggunakan ROC. Hasil Penelitian Sejumlah 31 anak sepsis diikutkan dalam penelitian. Terdapat 8 pasien dengan luaran perburukan dan 23 pasien dengan luaran perbaikan. Median kadar HGF pada luaran perburukan 4723,1 (927,5 - 7435,2) ng/mL dan pada luaran perbaikan 1492,8 (765,16 - 6459,2) ng/mL (p
Latar belakang:Asfiksia perinatal pada bayi baru lahir merupakan suatu keadaantantangan metabolik yang dapat mengakibatkan peningkatan pembentukan radikal bebas /spesies oksigen reaktif (SOR), yang berkontribusi terhadap kerusakan jaringan. Superoksida dismutase (SOD) adalah antioksidan endogen utama pada sel-sel tubuh dan berperan dalam pertahanan sistem sel-sel dan organ terhadapstress oksidatif Tujuan penelitian: Menganalisa korelasi antara derajat asfiksia perinatal dengan kadar superoksida dismutase (SOD) serum bayi dengan asfiksia perinatal Metode: Penelitian ini merupakan studicross sectional dengan subyek penelitian bayi asfiksia ringan, sedang, dan berat dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan RSUD Kota Semarang sejak bulan Maret-Juli 2016. Penilaian derajat asfiksia menggunakan APGAR skor, dan pengukuran kadar SOD serum pada hari ke-1 dan ke-3 dengan ELISA. Data dianalisis dengan uji korelasi regresi spearman’s dan uji beda wilcoxon (p
Latar belakang: Anak dengan leukemia akut sering mendapatkan transfusi PRC dan berisiko mengalami reaksi transfusi yang disebabkan oleh kandungan leukosit dalam komponen darah. Leukoreduksi merupakan salah satu metode untuk mengurangi jumlah leukosit. Leukoreduksi bedside merupakan prosedur sederhana yang dapat dilakukan. Tujuan: Untuk menilai kejadian reaksi transfusi dan rerata kenaikan kadar Hb pada anak leukemia akut yang mendapat transfusi PRC dengan leukoreduksi Metode: Penelitian uji acak terkontrol dilakukan dengan membandingkan kejadian reaksi transfusi (demam, ruam, urtika, sesak napas, hemolisis) pada pasien leukemia akut yang mendapat transfusi PRC dengan dan tanpa leukoreduksi pada September 2014 hingga Juni 2015 di Bangsal Hemato Onkologi RSUP Dr. Kariadi. Kenaikan kadar Hb kemudian diukur dan dibandingkan pada dua kelompok. Analisis statistik menggunakan Chi square dan uji t. Hasil: Sejumlah 52 subyek diikutkan, dengan 26 subyek dengan leukoreduksi, dan 26 subyek sebagai kontrol. Hasil signifikan didapatkan pada kejadian demam paska transfusi pada 1 (3,8%) dibanding 5 subyek (19,2%) (p = 0,039), dan kenaikan Hb didapatkan 2.69 ± 0.77 g/dl dibanding 2.11 ± 1.16 g/dl (p = 0.037) pada kelompok perlakuan dan kontrol secara berturut-turut. Kesimpulan: Transfusi PRC dengan leukoreduksi bedside dapat menurunkan kejadian demam paska tranfusi dan meningkatkan selisih kenaikan kadar Hb yang lebih tinggi pada pasien leukemia akut Kata kunci: leukoreduksi, reaksi transfusi, demam, peningkatan Hb, leukemia akut
Latar belakang: Hipotermia pada neonatus disebabkan oleh berbagai keadaan. Keterbatasan alat untuk merawat bayi berat lahir rendah (BBLR) yang dapat meningkatkan angka morbiditas pada BBLR, penggunaan kantong plastik merupakan upaya untuk mencegah hipotermi pada BBLR. Tujuan penelitian: Menganalisa perbedaan suhu aksila dan gula darah sewaktu (GDS) antara BBLR yang menggunakan kantong plastik (kelompok kasus) dan yang tidak menggunakan kantong plastik (kelompok kontrol). Metode: Penelitian ini merupakan studi randomized control trial dengan subyek penelitian BBLR yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang sejak bulan Januari-Juni 2016. Penelitian derajat hipotermi menggunakan termometer, dan pengukuran kadar GDS dengan glukotest. Analisis dengan Chi-square, Mann-whitney, dan t tidak berpasangan. Hasil: Subyek penelitian 106 BBLR, terdiri dari masing-masing 53 BBLR dalam kelompok kasus dan kontrol, preterm 64 (60,2%), dan aterm 36 (38,8%). Didapatkan perbedaan bermakna antara suhu aksila pada kelompok kasus kontrol (p0,005). Terdapat peningkatan bermakna antara suhu aksila 1 jam pertama dan 24 jam pertama setelah lahir pada kelompok kasus (p
Latar belakang. Di Indonesia prevalensi anemia kehamilan relatif tinggi, sebagian besar penyebabnya adalah kekurangan zat besi. Keadaan kekurangan zat besi pada ibu hamil akan menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi baru lahir sampai usia enam bulan adalah 61,3 %. Data mengenai insiden anemia pada bayi baru lahir masih terbatas. Tujuan penelitian. Membuktikan kejadian anemia pada bayi baru lahir berhubungan dengan anemia pada ibu dan berat plasenta. Desain penelitian. Penelitian observasional menggunakan metode belah lintang (cross-sectional) yang dilakukan dengan mengukur kadar hemoglobin pada bayi baru lahir (BBL) cukup bulan beserta ibu sebelum melahirkan di RSUP dr. Kariadi dan sekitarnya, diperoleh sebanyak 101subyek. Kriteria inklusi :BBL cukup bulan, janin tunggal. Kriteria eksklusi :BBL dari ibu dengan perdarahan antepartum, penyakit kronis dan kelainan hematologi, BBL dengan kelainan kongenital mayor, kelainan hematologi. Uji Analisis statistik menggunakan uji ChiSquare, T test, dan Mann Whitney. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil.Tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian anemia BBL dengan anemia ringan-sedang pada ibu. Terdapat hubungan bermakna antara berat plasenta > 529,5 gram (p = 0,019;95%CI 1,3- 22,51 OR 5,4), suplementasi Fe tidak rutin (p = 0,000; 95%CI 3,5 – 31,252 OR 10,5), dan jenis persalinan dengan kejadian anemia pada BBL ((p = 0,013; 95%CI 0,082- 0,749 OR 0,25) Kesimpulan.Tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian anemia BBL dengan anemia ringan-sedang pada ibu.
Latar Belakang: Retinopati diabetika (RD) merupakan suatu kelainan mikrovaskular dari penyakit Diabetes Mellitus, yang menyebabkan kebutaan tersering pada usia produktif. Hiperglikemia kronis akan menyebabkan hipoksia dan iskemik jaringan. Iskemik pada jaringan retina akan menstimulus produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). VEGF merupakan faktor pertumbuhan angiogenesis yang akan memicu terbentuknya neovaskularisasi intraokular. Salah satu talaksana retinopati diabetika adalah laser fotokoagulasi. Penelitian Diabetic Retinopathy Study dan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study melaporkan laser fotokoagulasi merupakan teknik standar untuk penatalaksanaan RD serta dapat menghambat progresifitas retinopati diabetika secara efektif. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa laser Panretinal photocoagulation (PRP) dapat menurunkan risiko penurunan tajam penglihatan yang berat. Akan tetapi laser PRP memiliki efek samping yaitu risiko terjadinya penyempitan lapangan pandang perifer, hal ini disebabkan penipisan lapisan serabut saraf peripapil. Tujuan: Menganalisis perbedaan ketebalan serabut saraf retina pasca laser fotokoagulasi parameter modifikasi dibandingkan parameter konvensional pada penderita RD. Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental prospektif randomized control - group pre test - post test design, yang dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan Mata RSUP dr. Kariadi Semarang. Subjek penelitian berjumlah 40 mata penderita RD. Lalu, dilakukan randomisasi dan dialokasikan dalam 2 kelompok. Kelompok pertama mendapat terapi laser fotokoagulasi parameter modifikasi, sedangkan kelompok kedua mendapat terapi laser fotokoagulasi parameter konvensional. Pengukuran ketebalan serabut saraf retina menggunakan Stratus Optical Coherence Tomography (OCT), dilakukan pre laser, 1 minggu pasca laser dan 1 bulan pasca laser. Hasil: Tidak terdapat perbedaan ketebalan serabut saraf retina yang bermakna antara pre laser, 1 minggu dan 1 bulan pasca laser pada kelompok modifikasi dan konvensional (p > 0,05). Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan ketebalan serabut saraf retina yang bermakna antara pasca laser fotokoagulasi parameter modifikasi dibandingkan parameter konvensional Kata kunci: Retinopati diabetika, Laser fotokoagulasi, Ketebalan serabut saraf retina
Pendahuluan Glaukoma merupakan penyebab kebutaan yang permanen. Progresifitas neuropati optik yang terjadi seringkali disebabkan oleh peningkatan tekanan intraocular akibat resistensi aliran humor akuos melalui trabecular meshwork (TM) dan kanalis Schlemm. Perkembangan dan progresifitas glaucoma berhubungan dengan akumulasi kerusakan oksidatif pada TM. Stres oksidatif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraocular dapat memicu perubahan karakteristik TM melalui kerusakan mitokondria, aktivasi Caspase-3 dan Caspase-7, hingga menyebabkan apoptosis. N-acetylcarnosine (NAC) merupakan antioksidan topikal yang diharapkan dapat mencegah apoptosis sel endotel trabecular meshwork. Tujuan Mengetahui pengaruh pemberian NAC terhadap ekspresi Caspase-3 dan Caspase-7 TM tikus Wistar model glaukoma Metoda Penelitian ini merupakan true experimental post-test only controlled group design. Empatbelas ekor tikus Wistar dibuat model glaucoma dengan metode kanulasi, kemudian dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi tetes mata plasebo, kelompok perlakuan (P) diberi tetes mata N-acetylcarnosine, 2x sehari selama 4 minggu. Ekspresi Caspase-3 dan Caspase-7 dinilai dengan imunohistokimia menggunakan Allred score. Analisis statistik menggunakan uji t tidak berpasangan dan Mann Whitney. Hasil Penelitian Rerata ekspresi Caspase-3 pada kelompok K=5,1; kelompok P=3,4. Ekspresi Caspase-3 kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p=
Pendahuluan Intoksikasi metanol dapat menyebabkan penurunan visus permanen. Asam format merupakan metabolit toksik metanol yang menyebabkan toksisitas hipoksia sehingga terjadi kerusakan mitokondria, mengaktivasi caspase-3 dan caspase-7 hingga akhirnya terjadi apoptosis. Deksametason dan asam folat telah digunakan sebagai terapi tambahan pada kasus intoksikasi metanol. Tujuan Untuk mengetahui perbedaan ekspresi caspase-3 dan caspase-7 pada apoptosis sel ganglion retina pasca pemberian asam folat dan deksametason pada tikus coba yang diinduksi metanol. Metode. Penelitian eksperimental ini dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Lima belas tikus wistar yang terintoksikasi metanol dibagi dalam tiga kelompok secara acak : kelompok kontrol (K), deksametason intraperitoneal 1 gram sebanyak 16,5cc/kgBB/hari selama 3 hari (P1), dan asam folat 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari (P2). Intoksikasi metanol dilakukan dengan pemberian metanol 4 gram/kgBB pada hari pertama dan 2 gram/kgBB pada hari kedua dan ketiga. Ekspresi caspase-3 dan caspase-7 dinilai dengan pewarnaan imunohistokimia. Analisis statistik menggunakan uji Kruskal Wallis. Hasil penelitian Rerata ekspresi caspase-3 kelompok K=6,6 , kelompok P1=6,2 dan P2=6,4. Ekspresi caspase-3 pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p=0,459). Rerata ekspresi caspase-7 kelompok K=6,2 , kelompok P1= 6,4 dan P2= 6,4. Ekspresi caspase-7 pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (p=0,459). Rerata caspase-3 dan caspase-7 pada kelompok P1 dan P2 masing-masing yaitu p=0,513 dan p=1,00. Kesimpulan Terdapat kecenderungan penurunan ekspresi caspase-3 pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol. Ekspresi caspase-7 pada kelompok perlakuan cenderung meningkat dibandingkan kontrol. Kata kunci intoksikasi metanol, caspase-3, caspase-7, deksametason, asam folat.
Latar Belakang: Inflamasi kornea dapat menyebabkan kekeruhan kornea derajat ringan sampai berat. Siklooksigenase – 2 (COX-2) merupakan mediator inflamasi dan penanda pada inflamasi kornea yang akut. Obat anti inflamasi steroid dapat menghambat phospholipase, sehingga memiliki efek anti inflamasi yang poten, namun memiliki banyak efek samping. Phaleria macrocarpa merupakan tanaman obat asli Indonesia yang memiliki efek anti inflamasi. DLBS1425 merupakan sediaan farmasi ekstrak Phaleria macrocarpa yang memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat ekspresi mRNA COX-2 dan cPLA2 pada sel kanker payudara. Peneliti ingin mengetahui efektifitas anti inflamasi DLBS1425 di bidang mata, dinilai dari ekspresi COX-2 kornea tikus Wistar pasca trauma. Tujuan: Membuktikan efektifitas DLBS1425 topikal terhadap ekspresi COX-2 kornea tikus Wistar pasca trauma basa. Metoda: Merupakan penelitian true experimental post-test only design. 24 mata tikus Wistar mendapat paparan NaOH, dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok K1 diberi tetes Hyalub, sedangkan P diberi tetes DLBS1425 konsentrasi 1x101mg/ml. Setelah 7 hari, dinilai ekspresi COX-2 kornea secara imunohistokimia. Analisis statistik menggunakan uji One Way Annova dan Post Hoct Study Hasil: Rerata ekspresi cPLA2 kelompok K1= 2,577, P1= 1,9 dan K2 = 2,15. Ekspresi COX-2 kelompok perlakuan memiliki ekspresi COX-2 yang lebih rendah dan perbedaan yang signifikan secara statistik dibanding kelompok kontrol 1(p=0,048), dibandingkan K2 ekspresi COX-2 kelompok perlakuan lebih rendah akan tetapi tidak berbeda bermakna secara stastistik (p=0,306) Kesimpulan: DLBS1425 topikal efektif menekan ekspresi COX-2 kornea tikus Wistar pasca trauma basa. Kata kunci: Phaleria macrocarpa, DLBS1425, COX-2, inflamasi kornea