Penyusun utama dari densitas massa tulang (Bone Mineral Density – BMD) yaitu mineral tulang dengan komposisi utama kompleks hydroxyapatite yang merupakan kombinasi kalsium dan fosfor. Seiring bertambahnya usia, kandungan mineral dalam tulang akan berkurang, sehingga BMD menjadi lebih rendah dari level normal (osteopenia). Bila hal ini berlanjut, dapat terjadi osteoporosis, yang merupakan gangguan muskuloskeletal yang paling sering dijumpai dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas pada populasi lanjut usia. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara BMD dengan kadar fosfor dalam darah pada wanita lanjut usia. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari beberapa Posyandu Lansia di Semarang yang dimulai sejak Maret - Juni 2019. Terdapat 29 responden wanita berusia ≥ 60 tahun yang berpartisipasi dan bersedia menandatangani informed consent penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan melakukan tes laboratorium untuk menilai kadar fosfor dalam darah dan pemeriksaan BMD dengan Dual Energy X-ray Absorptiometry (DXA). BMD dikategorikan berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) menjadi kategori normal, osteopenia, dan osteoporosis. Terdapat 18 orang (62%) dalam kategori osteoporosis, 10 orang (34.5%) dalam kategori osteopenia, dan 1 orang normal (3.5%). Pada kategori BMD normal, kadar fosfor dalam darah yaitu 3.37 mg/dl, sedangkan pada kategori osteopenia memiliki nilai mean = 4.02 ± 0.69 mg/dl, dan pada kategori osteoporosis mean = 3.73 ± 0.50 mg/dl. Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara BMD dengan kadar fosfor dalam darah (p>0.05), namun terdapat tendensi korelasi negatif antara BMD dengan kadar fosfor dalam darah (r = -0.096). Kata Kunci: Densitas Massa Tulang, Fosfor, Lansia, DXA
Latar Belakang : Pada penderita Rhinosinusitis kronis, terdapat subkelompok pasien yang gejalanya menetap meskipun sudah dilakukan manajemen medis, sering menunjukkan area penebalan tulang dan remodeling dalam sinus paranasal mereka, yang digambarkan sebagai osteitis. Osteitis dapat dievaluasi dengan beberapa metode, salah satunya dengan Global Osteitis Score (GOS). Tujuan : Menganalisis korelasi antara derajat osteitis metode GOS sebelum operasi dengan respon terapi pasca operasi menggunakan skor endoskopi sebagai bahan evaluasi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang dilakukan secara retrospektif dengan metode cross-sectional. GOS pasien sebelum operasi diukur kemudian dibandingkan dengan skor endoskopi metode Lund Mackay endoscopic scoring system pasien 4 minggu pasca Functional Endoscopy Sinus Surgery (FESS). Selanjutnya dilakukan uji korelasi Spearman. Hasil : Subyek penelitian yang memenuhi kriteria berjumlah 30 pasien. GOS sebelum operasi diperoleh nilai terendah 0, tertinggi 12 dan Lund Mackay endoscopic score setelah operasi diperoleh nilai terendah 0, tertinggi 5. Pada uji korelasi anatara GOS sebelum operasi dengan Lund Mackay endoscopic score pasca operasi didapatkan p = 0,296 dengan r = 0,197. Pada penelitian ini turut dianalisis pula faktor risiko penyembuhan luka dengan Lund Mackay endoscopic score pasca operasi yakni rhinitis alergi dengan p = 1,000, polip dengan p = 0,624 dan merokok dengan p = 0,309. Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara derajat osteitis sebelum operasi dengan respon terapi pasca FESS, tetapi terdapat kecenderungan adanya korelasi positif antara GOS sebelum operasi dengan Lund Mackay endoscopic score pasca operasi. Tidak terdapat korelasi signifikan antara rhinitis alergi, polip dan kebiasaan merokok dengan respon terapi 4 minggu pasca FESS. Kata Kunci: Osteitis, Rhinosinusitis kronis, Global Osteitis Score, Lund Mackay endoscopic score
Proses penuaan (aging) sering dikaitkan dengan defisit magnesium (Mg). Baik aging dan defisiensi Mg telah dikaitkan dengan produksi berlebih oxygen-derived free radicals dan inflamasi grade rendah yang muncul pada penyakit yang terkait usia termasuk di dalamnya sarcopenia. Sarcopenia merupakan kondisi dimana hilangnya massa otot secara umum dan progresif disertai hilangnya baik kekuatan otot dan performa fisiknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kaitan antara kadar magnesium darah dengan sarcopenia pada wanita lanjut usia. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain cross sectional yang dilakukan pada 28 wanita berusia dari 60 tahun ke atas dengan melakukan test laboratorium untuk kadar magnesium darah, pemeriksaan massa otot dengan Dual energy X-ray absorptiometry (DXA), pemeriksaan kekuatan otot dengan hand grip strength test dan pemeriksaan performa fisik dengan gait speed test. Dari studi ini, 11 sampel diklasifikasikan sebagai sarcopenia (39.2%) dan 17 sampel diklasifikasikan sebagai non sarcopenia (60.8%). Pada wanita lansia dengan sarcopenia nilai rata-rata serum Mg adalah 2.37 ± 0.28 mg/dl dan wanita lansia dengan non sarcopenia nilai rata-rata Mg darah adalah 2.20 ± 0.19 mg/dl. Pada penelitian ini, kadar rata-rata magnesium darah kelompok sarcopenia dengan kelompok non sarcopenia tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara kadar magnesium darah dengan sarcopenia Kata kunci : Lansia, sarcopenia, kadar magnesium darah, DXA
Insidensi sarcopenia cukup tinggi pada orang lanjut usia, dengan beberapa dampak negatif yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Patogenesis sarcopenia sendiri sangat kompleks dan melibatkan beberapa faktor dalam perkembangannya. Sarcopenia dapat dihubungkan dengan serum besi darah karena beberapa hal, seperti (1) penumpukan zat besi yang berhubungan dengan usia ditemukan pada jaringan otot, (2) akumulasi besi dapat menyebabkan kerusakan ataupun atrofi otot skeletal, dan (3) pasien-pasien dengan sarcopenia menunjukkan kadar serum ferritin yang tinggi. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari beberapa Posyandu Lansia di Semarang yang dimulai sejak November 2018 hingga Juni 2019. Terdapat 27 responden wanita berusia 60 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Responden yang mengkonsumsi suplemen zat besi secara rutin dieksklusikan dari penelitian ini. Seluruh responden secara sukarela mengikuti penelitian ini dan telah menandatangani informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar serum besi dengan sarcopenia. Status sarcopenia diperoleh dari pemeriksaan sceletal muscle index (SMI) yang diperoleh dari pemeriksaan Dual energy X-ray absorptiometry (DXA), handgrip strength, dan gait speed test. Kadar serum besi diperoleh dari uji laboratorium darah. Penelitian ini semakin membuktikan bahwa DXA terbukti sebagai pemeriksaan yang cukup bisa diandalkan untuk mengevaluasi massa otot. Memahami patogenesis dan etiologi sarcopenia bersamaan dengan analisis akurat menggunakan DXA dapat membantu mengembangkan penatalaksanaan dan metode-metode preventif yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien-pasien lanjut usia. Pada penelitian ini responden dengan sarcopenia memiliki kadar serum besi yang normal seperti halnya responden non sarcopenia (p>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar serum besi tidak memiliki hubungan bermakna dengan sarcopenia. Kata Kunci: Sarcopenia ; kadar serum besi ; massa otot ; DXA
Latar Belakang : Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal lebih dari 3 bulan, dengan implikasi terhadap kesehatan. PGK menyebabkan gangguan regulasi metabolisme mineral dan selanjutnya terjadi perubahan dalam bone modeling, remodeling, dan pertumbuhan. Perubahan ini disebut chronic kidney diseasae – mineral and bone disorders (CKD-MBD) yaitu kondisi sistemik yang bermanifestasi pada abnormalitas hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor dan vitamin D. Abnormalitas PTH akan mengakibatkan gangguan kematangan tulang pada anak PGK. Pengukuran kematangan tulang dilakukan dengan pemeriksaan foto Bone Age pada manus kiri. Tujuan : Sebagai studi awal dalam mendeskripsikan usia tulang dengan pemeriksaan bone age dan mengukur kadar PTH pada PGK stadium 3-5. Metode : Penelitian merupakan deskriptif analitik yang dilakukan prospektif dengan desain cross sectional, didapatkan 18 pasien anak yang dipemeriksaan kadar PTH dan X-Ray Bone Age pada manus kiri dalam 1 waktu. Penilaian Bone Age dilakukan oleh 2 dokter ahli subradiologi anak. Hasil : 18 pasien anak dengan PGK didapatkan 16 anak (88,89 %) hiperparatiorid dengan 11 anak (68,8 %) mengalami gangguan usia tulang (kategori terlambat). Dilakukan uji T tak berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna rerata kadar PTH antara kelompok anak dengan usia tulang terlambat dan sesuai (p>0,05), namun rerata PTH pada kelompok usia tulang terlambat lebih besar (317,65 ± 181,17) dibanding kelompok usia tulang sesuai (288,9 ± 173,43). Kata Kunci: Bone Age, Penyakit ginjal kronik, Gangguan usia tulang, Hiperparatiorid
Latar Belakang : Meningioma merupakan tumor otak tersering mencapai 20-32% dari seluruh tumor intrakranial pada orang dewasa. MRI dengan diffusion weighted imaging (DWI) dan apparent diffusion coefficient (ADC) dapat dilakukan guna evaluasi pra operasi dalam perencanaan tindakan terhadap tumor-tumor otak. DWI telah dinilai berguna untuk mengeksplorasi tumor otak primer dan nilai ADC telah terbukti bermanfaat untuk membedakan antara lesi jinak dan ganas. Tujuan : Mengetahui kemungkinan nilai ADC sebagai prediktor keganasan dari meningioma. Metode : Nilai ADC yang telah dikumpulkan di olah, sehingga didapatkan nilai Cut off Point yang selanjutnya menggunakan uji diagnostik dinilai sensitifitas dan spesifisitasnya sebagai prediktor keganasan dari meningioma. Hasil : Didapatkan nilai ADC dengan nilai diagnostik AUC > 0,5 dengan sensitivitas sekitar 60 - 66,6% dan spesifisitas 60 – 65,7%. Kesimpulan : Nilai ADC dapat digunakan sebagai prediktor keganasan dari meningioma Kata Kunci : ADC, Meningioma, Keganasan
Latar Belakang : Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) merupakan kelainan thromboemboli yang langka, multifactorial, memiliki gejala klinis yang luas, serta sulit untuk didiagnosis. Gold standard penegakkan diagnosa CVST adalah modalitas invasif menggunakan digital substraction angiography (DSA). Modalitas lain yang sifatnya non-invasif, cepat dan lebih murah dalam menegakkan diagnosa CVST adalah non enhance computed tomography (NECT). Temuan NECT yang dapat digunakan sebagai prediktor kejadian CVST adalah peningkatan nilai Hounsfield unit(HU) padasinus sagitalis superior (SSS),tetapi temuan ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada pasien non-thrombus dengan peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin (hemokonsentrasi). Oleh karena itu dibuat rasio antara Hounsfield unit dengan hematokrit (rasio HU:HT) dan hemoglobin (rasio HU:HB)dan dianalisis kemampuannya sebagai prediktor kejadian CVST. Tujuan : Mengetahui nilai rasio HU:HT dan rasio HU:HBsebagai prediktor kejadian CVST. Metode :Nilai rasio HU:HT dan HU:HB dari 35 pasien CVST dan 35 pasien non-CVSTdikumpulkan kemudian dianalisis untuk menentukan cut off point, serta dinilaisensitivitas dan spesifisitas-nya. Hasil : Perbedaan signifikan didapatkan pada nilai rasio HU:HT(1.73 ± 0.12 vs 1.43 ± 0.17) dan rasio HU:HB (5.10 ± 0.53 vs 4.26 ± 0.55) pada pasien CVST dan non-CVST. Nilai cut offpoint rasio HU:HT ± 1.57 memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 78% sedangkan nilai cut off point rasio HU:HB ± 4.70 memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 80%. Kesimpulan : Nilai rasio HU:HT danrasio HU:HBdapat digunakan sebagai prediktor kejadian CVST Kata Kunci :cerebral venous sinus thrombosis, HU:HT ratio, HU:HB ratio
Latar belakang: Pada penyakit ginjal kronis (PGK), keparahan penyakit didasarkan pada kerusakan ginjal, yang dihitung melalui penurunan estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR) yaitu