Cerebral Venous Sinus Thrombosis (CVST) adalah oklusi atau sumbatan pada saluran vena di intrakranial, termasuk trombosis pada vena dural, trombosis pada vena kortikal dan trombosis pada vena cerebral. Baru-baru ini, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam kombinasi dengan Magnetic Resonance Venography (MRV) telah banyak menggantikan Digital Subtraction Angiography (DSA) sebagai standar emas untuk pencitraan CVST dan saat ini dianggap sebagai teknik pemeriksaan yang paling sensitif. Fibrin adalah komponen utama trombus. Antigen D-dimer adalah penanda spesifik dari pembentukan bekuan fibrin dan fibrinolisis. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan mengumpulkan data CVST dan tidak CVST yang dilakukan Magnetic Resonance Venography (MRV) serta dilakukan pemeriksaan D-dimer periode November 2018 sampai Juli 2020, dan didapatkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 66 subyek (33 subyek dengan CVST dan 33 subyek tidak CVST). Penelitian dilakukan dengan menilai kadar D-Dimer pada pasien CVST dan tidak CVST yang dilakukan pemeriksaan MRV. Terdapat korelasi signifikan yang kuat antara antara kadar D-Dimer dengan kejadian CVST dan tidak CVST (p=0.001). Nilai cut off kadar D-Dimer ≥500 ng /mL untuk memprediksi kejadian CVST, maka didapatkan sensitivitas 57,6% dan spesifisitas 78,8% (OR=5,041; 95% CI=1,7-14,9). Kata kunci : Cerebral Venous Sinus Thrombosis, MRV, D-Dimer.
Lumbar spinal stenosis (LSS) merupakan gangguan spinal yang umummterjadi pada populasi usia tua yang disebabkan kejadian penyakit degeneratif. Klasifikasi LSS dapat berdasarkan lokasi stenosis yang terjadi, yaitu stenosis kanalis spinalis, stenosis foramina neuralis, serta stenosis recessus lateralis. Stenosis foramina neuralis lumbal merupakan penyempitan abnormal foramina lateral pada kanalis spinalis lumbal sehingga terjadi penekanan saraf lumbal. Salah satu cara untuk menilai skor klinis LSS adalah menggunakan kuesioner Swiss Spinal Stenosis Questionnaire (SSS Questionnaire) untuk menilai derajat keparahan dan disabilitas fungsional oleh karena LSS. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah menjadi modalitas pilihan untuk mengevaluasi tulang belakang. Penilaian stenosis foramina neuralis pada pemeriksaan MRI dapat menggunakan sistem penilaian Lee atau Varghese. Penelitian analitik observasional ini dilakukan dengan melakukan pengukuran pada satu saat pada pasien dengan klinis lumbar spinal stenosis yang dilakukan pemeriksaan MRI Lumbal di bagian Radiologi RSUP Dr. Kariadim Semarang bulan Juni 2020 sampai bulan Agustus 2020 dan didapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 45 sampel. Penelitian dilakukan dengan menilai skor klinis berdasarkan SSS Questionnaire dan menilai derajat stenosis foramina neuralis lumbal pada pemeriksaan MRI berdasarkan Lee dan Varghese. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara derajat stenosis foramina neuralis pada MRI berdasarkan Lee dan Varghese dengan skor klinis LSS menggunakan metode SSS Questionnaire (p < 0,001). Selain itu, didapatkan pula bahwa pemeriksaan derajat stenosis foramina neuralis berdasarkan Varghese memiliki presisi yang lebih baik dibandingkan Lee karena rentang nilai 95% CI pada Varghese tidak terlalu lebar dibandingkan pada Lee Kata kunci: stenosis foramina neuralis lumbal, lumbar spinal stenosis, Swiss Spinal Stenosis Questionnaire
Penyusun utama dari densitas massa tulang (Bone Mineral Density – BMD) yaitu mineral tulang dengan komposisi utama kompleks hydroxyapatite yang merupakan kombinasi kalsium dan fosfor. Seiring bertambahnya usia, kandungan mineral dalam tulang akan berkurang, sehingga BMD menjadi lebih rendah dari level normal (osteopenia). Bila hal ini berlanjut, dapat terjadi osteoporosis, yang merupakan gangguan muskuloskeletal yang paling sering dijumpai dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas pada populasi lanjut usia. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara BMD dengan kadar fosfor dalam darah pada wanita lanjut usia. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari beberapa Posyandu Lansia di Semarang yang dimulai sejak Maret - Juni 2019. Terdapat 29 responden wanita berusia ≥ 60 tahun yang berpartisipasi dan bersedia menandatangani informed consent penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan melakukan tes laboratorium untuk menilai kadar fosfor dalam darah dan pemeriksaan BMD dengan Dual Energy X-ray Absorptiometry (DXA). BMD dikategorikan berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) menjadi kategori normal, osteopenia, dan osteoporosis. Terdapat 18 orang (62%) dalam kategori osteoporosis, 10 orang (34.5%) dalam kategori osteopenia, dan 1 orang normal (3.5%). Pada kategori BMD normal, kadar fosfor dalam darah yaitu 3.37 mg/dl, sedangkan pada kategori osteopenia memiliki nilai mean = 4.02 ± 0.69 mg/dl, dan pada kategori osteoporosis mean = 3.73 ± 0.50 mg/dl. Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara BMD dengan kadar fosfor dalam darah (p>0.05), namun terdapat tendensi korelasi negatif antara BMD dengan kadar fosfor dalam darah (r = -0.096). Kata Kunci: Densitas Massa Tulang, Fosfor, Lansia, DXA
Latar Belakang : Pada penderita Rhinosinusitis kronis, terdapat subkelompok pasien yang gejalanya menetap meskipun sudah dilakukan manajemen medis, sering menunjukkan area penebalan tulang dan remodeling dalam sinus paranasal mereka, yang digambarkan sebagai osteitis. Osteitis dapat dievaluasi dengan beberapa metode, salah satunya dengan Global Osteitis Score (GOS). Tujuan : Menganalisis korelasi antara derajat osteitis metode GOS sebelum operasi dengan respon terapi pasca operasi menggunakan skor endoskopi sebagai bahan evaluasi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional yang dilakukan secara retrospektif dengan metode cross-sectional. GOS pasien sebelum operasi diukur kemudian dibandingkan dengan skor endoskopi metode Lund Mackay endoscopic scoring system pasien 4 minggu pasca Functional Endoscopy Sinus Surgery (FESS). Selanjutnya dilakukan uji korelasi Spearman. Hasil : Subyek penelitian yang memenuhi kriteria berjumlah 30 pasien. GOS sebelum operasi diperoleh nilai terendah 0, tertinggi 12 dan Lund Mackay endoscopic score setelah operasi diperoleh nilai terendah 0, tertinggi 5. Pada uji korelasi anatara GOS sebelum operasi dengan Lund Mackay endoscopic score pasca operasi didapatkan p = 0,296 dengan r = 0,197. Pada penelitian ini turut dianalisis pula faktor risiko penyembuhan luka dengan Lund Mackay endoscopic score pasca operasi yakni rhinitis alergi dengan p = 1,000, polip dengan p = 0,624 dan merokok dengan p = 0,309. Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara derajat osteitis sebelum operasi dengan respon terapi pasca FESS, tetapi terdapat kecenderungan adanya korelasi positif antara GOS sebelum operasi dengan Lund Mackay endoscopic score pasca operasi. Tidak terdapat korelasi signifikan antara rhinitis alergi, polip dan kebiasaan merokok dengan respon terapi 4 minggu pasca FESS. Kata Kunci: Osteitis, Rhinosinusitis kronis, Global Osteitis Score, Lund Mackay endoscopic score
Proses penuaan (aging) sering dikaitkan dengan defisit magnesium (Mg). Baik aging dan defisiensi Mg telah dikaitkan dengan produksi berlebih oxygen-derived free radicals dan inflamasi grade rendah yang muncul pada penyakit yang terkait usia termasuk di dalamnya sarcopenia. Sarcopenia merupakan kondisi dimana hilangnya massa otot secara umum dan progresif disertai hilangnya baik kekuatan otot dan performa fisiknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kaitan antara kadar magnesium darah dengan sarcopenia pada wanita lanjut usia. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain cross sectional yang dilakukan pada 28 wanita berusia dari 60 tahun ke atas dengan melakukan test laboratorium untuk kadar magnesium darah, pemeriksaan massa otot dengan Dual energy X-ray absorptiometry (DXA), pemeriksaan kekuatan otot dengan hand grip strength test dan pemeriksaan performa fisik dengan gait speed test. Dari studi ini, 11 sampel diklasifikasikan sebagai sarcopenia (39.2%) dan 17 sampel diklasifikasikan sebagai non sarcopenia (60.8%). Pada wanita lansia dengan sarcopenia nilai rata-rata serum Mg adalah 2.37 ± 0.28 mg/dl dan wanita lansia dengan non sarcopenia nilai rata-rata Mg darah adalah 2.20 ± 0.19 mg/dl. Pada penelitian ini, kadar rata-rata magnesium darah kelompok sarcopenia dengan kelompok non sarcopenia tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara kadar magnesium darah dengan sarcopenia Kata kunci : Lansia, sarcopenia, kadar magnesium darah, DXA