Latar belakang : Tidur merupakan suatu keadaan yang bermanifestasi berupa penurunan kesadaran juga reaksi terhadap stimulus eksternal. Pada pasien OSA terdapat penurunan fase tidur dalam. Cobalamin berfungsi dalam berbagai fungsi metabolisme, seperti pembentukan hormon melatonin. Kurangnya data penelitian ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Tujuan : Mengetahui korelasi kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada penderita Obstructive Sleep Apnea. Metode : Studi deskriptif analitik dengan desain cross sectional melibatkan 24 subyek OSA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan polisomnografi dilakukan pada jam 22.00 malam hingga jam 06.00 pagi. Pengambilan sampel darah untuk mengukur kadar B12 serum diambil pada malam hari sebelum pemeriksaan polisomnografi. Sampel dilakukan pemeriksaan kadar B12 serum dengan AAS (Atomic Absorbtion Spectrophtometry) di laboratorium. Hasil : Dari 24 subyek penelitian didapatkan kadar B12 serum memiliki nilai median 182 pg/ml dengan nilai minimal 71 pg/ml. Pada uji korelasi Spearman didapatkan korelasi positif sedang antara kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea (p=0,04) (r=0,416). Terdapat korelasi negatif sedang sampai sangat kuat antara AHI (p=0,000), skor mallampati (0,007), BMI (p=0,03) terdapat durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea. Dari uji multivariat didapatkan persamaan regresi liniernya adalah durasi fase tidur dalam =301,401 -0,793* BMI. Koefisien korelasi AHI adalah -0,527, koefisien korelasi BMI adalah -0,466 dengan AHI nilai p=0,000 dan BMI nilai p=0,001. Keimpulan : Terdapat korelasi positif sedang antara kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea yang bermakna secara statistik. Kata kunci : kadar B12 serum, durasi fase tidur dalam, Obstructive Sleep Apnea
Latar belakang : Media kontras pada CT digunakan untuk melihat gambaran anatomi maupun kelainan patologis yang lebih jelas. Penggunaan konsentrasi, volume dan kecepatan injeksi dari media kontras yang optimal dapat meningkatkan atenuasi gambar. Media kontras yang digunakan pada CT adalah media kontras intravena yang berupa iodium. Berbagai faktor terkait pasien dan injeksi kontras dapat mepengaruhi besar dan waktu untuk penyangatan kontras. Jenis dan konsentrasi media kontras iodium diasumsikan bisa mengoptimalkan hasil diagnostik CT karena penyangatan yang diterima pembuluh darah mempengaruhi kualitas gambar. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Pasien dilakukan CT scan liver menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (omnipaque), Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras), dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro) dengan dosis 0,5 gr I/kg BB yang diinjeksikan dengan menggunakan inejctor otomatis, yang kemudian diikuti flush salin sebanyak 40 ml. Gambar diambil pada fase late artery (35 detik setelah injeksi kontras) dan fase venous (60-80 detik setelah injeksi kontras) dengan sebelumnya dilakukan CT scan tanpa kontras sebagai dasar gambar. Hasil : Tingkat penyangatan tertinggi parenkim hepar terdapat pada sampel yang menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras), Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque), dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro). Tingkat penyangatan tertinggi vena porta terdapat pada sampel yang menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras), Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque) dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro). Tingkat penyangatan tertinggi arteri hepatica terdapat pada sampel yang menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque), Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro) dan Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras). Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna pada penilaian parenkim hepar, arteri hepatica dan vena porta dengan pemberian media kontras Iohexol 350 mg/ I/ml (Xolmetras), Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque) dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro). Kata kunci : CT abdomen, media kontras, liver
Latar belakang : Leptospirosis menjadi masalah kesehatan di dunia oleh karena kesulitan didalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis dimana gold standar laboratorium adalah dengan Microscopic Aglutation Test (MAT). Di Indonesia, hanya Laboratorium Mikrobiologi RSUP dr. Kariadi Semarang yang dapat melakukan pemeriksaan ini. Kasus pneumonitis pada pasien leptospirosis seringkali terlewatkan dikarenakan gambaran radiologi yang mirirp dengan penyakit seringkalai terlewatkan dikarenakan gambaran radiologi yang mirip dengan penyakit inflamasi paru lainnya. Pada penelitian ini akan dianalisis adakah korelasi gambaran abnormalitas X-foto toraks dengan gangguan pernafasan pasien leptospirosis di RSUP dr. Kariadi Semarang. Tujuan : Untuk menilai korelasi gambaran abnormalitas X-foto toraks dengan gangguan pernafasan pasien leptospirosis di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian analitik observasional dengan cross sectional dan consecutive sampling. Chi square test dan uji koreksi kontinuitas digunakan untuk mengetahui apakah ada korelasi variabel bebas yaitu gejala pernafasan terhadap variabel terikat yaitu foto toraks. Hali ini dianggap signifikan jika nilai p
Pendahuluan : Tinitus merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan, hingga mengganggu kualitas hidup penderitanya. Etiologinya belum dikethui secara pasti, namun salah satunya berkaitan dengan proses infeksi, seperti Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Faktor resiko terjadinya OMSK antara lain karena tipe pneumatisasi mastoid yang abnormal. Tipe pneumatisasi mastoid ini dapat dievaluasi dengan pemeriksaan CT Scan Mastoid. Penelitian ini bertujuan menganalisa korelasi antara tipe pneumatisasi mastoid pada pasien OMSK dengan derajat tinitus secara CT scan. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Secara prospektif dilakukan evaluasi derajat tinitus melalui anamnesis dan derajat penumatisasi mastoid pada MSCT mastoid 29 pasien OMSK. Analisis statistik menggunakan uji Rank Spearman dan dinilai rasio prevalennya. Hasil : Terdapat 16 subyek dengan tipe pneumatisasi kurang, 5 subyek dengan pneumatisasi sedang dan 8 subyek dengan pneumatisasi baik. Derajat tinitus terbanyak adalah derajat III (berat) sebesar 22 subyek, tinitus sedang 6 subyek dan tinitus ringan 1 subyek. Setelah dilakukan uji statistik, terdapat korelasi negatif yang bermakna, dimana semakin rendah tipe pneumatisasi semakin tinggi kemungkinan terjadi tinitus pada pasien OMSK. Kesimpulan : Pneumatisasi mastoid yang kurang merupakan faktor risiko terhadap peningkatan angka kejadian tinitus pada pasien OMSK. Kata kunci : pneumatisasi mastoid, OMSK, tinitus
Latar belakang : Penyakit Ginjal Kronik adalah salah satu penyebab umum dari gagal ginjal. Laju filtrasi glomerulus (LFG) telah terbukti menjadi salah satu penilaian yang paling bermanfaat dari fungsi ginjal yang didasarkan pada konsep klirens dari fungsi ginjal. Renogram adalah suatu teknik radionuklida yang secara luas digunakan untuk perhitungan LFG. Ultrasonografi pada banyak kasus menjadi pemeriksaan yang pertama dan merupakan satu-satunya investigasi pencitraan yang diperlukan pada gagal ginjal kronik. Ukuran ginjal dan ekogenisitas korteks berhubungan dengan kronisitas dan histopatologi ginjal, selain itu peningkatan ekogenisitas sebanding dengan peningkatan gagal ginjal. Pada penelitian ini akan dibahas adalah korelasi antara derajat ekogenisitas korteks ginjal dengan laju filtrasi glomerulus renografi pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUP dr. Kariadi Semarang. Tujuan : Untuk menilai korelasi derajat ekogenisitas korteks ginjal dengan LFG renografi pada pasien penyakit ginjal kronis di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian analitik observasional dengan cross sectional dan konsekutif sampling. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui apakah ada korelasi ekogenisitas korteks ginjal dengan LFG renografi. Hal ini dianggap signifikan jika nilai p
Latar belakang : Penyakit kardiovaskular terutama hipertensi merupakan penyebab utama kematian di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Hipertensi dapat memicu timbulnya ateroskerotik. Aterisklerotik merupakan penyebab tersering yang mendasari terjadinya penyakit jantung iskemia dan penyakit jantung koroner. Beberapa negara telah menggunakan Computed Tomograph Coronary Angiography (CTCA) yang merupakan metode non infasif untuk melihat anatomi arteri koroner meskipun angiografi infasif tetap merupakan gold standard untuk visualisasi arteri koroner. Left Main Coronary Artery Disease adalah adanya plak aterosklerosis yang menyebabkan stenosis left main coronary artery. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi antara tekanan darah dengan left main coronary artery disease pada pemeriksaan Computed Tomography Coronary Angiography (CTCA) di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Desain penelitian adalah observasional analitik dengan rancangan belah lintang yang diambil dari catatan medik. Jumlah sampel 29 pasien diduga penyakit jantung koroner yang dilakukan pemeriksaan CT Coronary angiography yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di RS dr. Kariadi Semarang. Hasil : Korelasi antara tekanan darah sistolik dengan left main coronary arterystenosis didapatkan nilai spearman's rho r sebesar 0,04929 dengan Sig. (2-tailed) sebesar 0,020 (
Pendahuluan : Multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap isoniazid (INH) dan rifampisin (RMP), dengan atau tanpa resistensi ke obat anti-tuberculosis yang lain. Dalam penelitian ini kami meneliti tentang lesi kavitas yang dievaluasi dengan foto toraks pada pasien MDR-TB pulomar sebelum dan selama 6 dan 12 bulan pengobatan. Metode : Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien MDR-TB pulmonar. Kami memilih subyek penelitian yang telah terdiagnosis dengan MDR-TB dan menerima terapi MDR-TB, selama setidaknya 12 bulan di klinik MDR-TB RS Kariadi Semarang dari Januari 2013 sampai Desember 2016. Karakteristik subyek penelitian dan informasi gambaran kavitas yaitu jumlah, diameter dan ketebalan dinding kavitas yang didapatkan dari foto thoraks awal dan selama follow up pada bulan ke-6 dan 12 terapi dikumpulkan dalam penelitian ini. Uji non-parametrik pengukuran berulang dan pos-hoc dilakukan untuk melihat asosiasi antara terapi MDR-TB dan lesi kavitas pada pasien MDR-TB pulmonar. Hasil : Sebanyak 43 pasien MDR-TB didapatkan sebagai subyek penelitian. Terdapat lebih banyak laki-laki dibandingkan wanita (n=22 vs 21), dengan sebagian besar subyek berusia antara 31-50 tahun dan memiliki lesi kavitas tunggal. Lesi kavitas mengalami penurunan yang signifikan selama 6 dan 12 bulan follow up dengan foto thoraks (p