Latar Belakang: Pengambilan spesimen dan dignosis laboratorium yang cepat merupakan prioritas untuk pengendalian COVID-19. Swab nasofaring-orofaring merupakan sampel gold standard untuk diagnostik tetapi memiliki keterbatasan saat pengumpulan dan mempunyai risiko mengancam keselamatan petugas kesehatan. Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa saliva dapat digunakan sebagai sampel untuk mendeteksi SARS-CoV-2 Metode: Disain penelitian adalah uji diagnostik dengan sampel diambil dari pasien yang melakukan uji SARS-CoV-2 di RSUP Dr.Kariadi selama Nopember 2020 – Januari 2021 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel swab nasofaring-orofaring sebagai gold standard dan saliva diambil, kemudian dilakukan pemeriksaan rRT-PCR, dimana nilai Ct dicatat. Sensitifitas, spesifisitas, negative predictive value, positive predictive value dihitung menggunakan tabel 2x2. Hasil: Didapatkan 120 pasangan sampel swab nasofaring-orofaring dan sampel saliva. Usia rata-rata pasien adalah 36,11 ± 13,35 tahun, terdiri dari 59,17% perempuan. Hasil rRT-PCR SARS-CoV-2 terdeteksi dari sampel swab nasofaring-orofaring sebanyak 56 (46,67%) pasien dan 25 (20,83%) sampel saliva pasien. Sensitifitas, spesifisitas, negative predictive value, positive predictive value sampel saliva masing masing 44,64%, 100%, 67,37%, dan 100%. Simpulan: Dari saliva pasien dapat dideteksi SARS-CoV-2 sehingga saliva dapat digunakan sebagai spesimen diagnostik COVID-19 Kata kunci: COVID-19, SARS-CoV-2, saliva, swab nasofaring-orofaring
Latar Belakang : Infeksi Dehiscence luka operasi adalah terminologi yang biasanya digunakan untuk menjelaskan pemisahan berbagai lapisan luka perut sebelum penyembuhan total terjadi. Berbagai keadaan dapat menjadi penyebab, adanya infeksi, keadaan metabolik, faktor teknis operasi dan faktor mekanis. Tujuan Penelitian : guna mengetahui profil mikroorganisme penyebab infeksi dehiscence luka operasi pada pasien pasca laparotomi di RSUP dokter Kariadi Semarang Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, menggunakan data catatan medis pasien rawat inap intensif maupun bangsal di RSUP Dokter Kariadi Semarang yang mengalami Dehiscence luka operasi, setelah dilakukan operasi laparatomi pada rentang waktu Januari hingga Desember 2019. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 23. Analisis bivariate dari variable kategori dilakukan menggunakan uji Person Chi-Square dan Fisher exact test. Nilai p < 0,05 akan dianggap sangat bermakna. Hasil : Jumlah total sampel penelitian ini 45 sampel. Sampel pasien terbanyak dewasa 39 orang (86,7%), pasien dengan faktor komorbid yang menyertai 37 orang (82,2%). Jenis mikroorganisme didominasi Eschericia coli 22 sampel (48,9%), sampel pasien Hipoalbuminemia 38 sampel (84%). Kadar hemoglobin rendah 38 sampel (84%). Untuk kadar gula darah rendah, 31 sampel (69%). Sampel pasien DLO luka lambat 28 sampel (62,2%), DLO luka dini 17 sampel (37,8%). Kesimpulan : faktor komorbid, hipoalbuminemia dan kadar gula darah berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian DLO. Perlu penelitian lebih lajut untuk mengetahui nilai kemungkinan kejadian DLO pada berbagai macam variabelnya. Kata Kunci : wound dehiscence, hipoalbuminemia, laparotomi.
Latar Belakang : Terjadinya stroke iskemik diawali dengan proses aterosklerosis. Proses aterosklerosis dapat dinilai secara non-invasif dengan mengukur ketebalan intima-media karotis (cIMT). Angiotensinogen berhubungan dengan hipertensi dan diabetes mellitus yang merupakan faktor resiko dari stroke. Tujuan : Mengetahui hubungan varian gen angiotensinogen M235T dengan perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada penderita pasca stroke iskemik Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cohort porspektif. Subyek penelitian adalah 72 penderita stroke iskemik yang berobat di klinik rawat jalan Bagian Neurologi RSUP Dr. Kariadi Semarang pada Bulan Januari - Desember 2013. Pengukuran cIMT dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada waktu 1 bulan (base line), 6, dan 12 bulan setelah onset. Analisis varian gen angiotensinogen M235Tdilakukan di Laboratorium CEBIOR pada Januari – Maret 2020. Data diolah menggunakan SPSS for Windows versi 23. Uji hipotesis data) menggunakan uji chi square. Bila ditemukan variabel bebas dan variabel perancu yang bermakna, maka dilanjutkan dengan uji multivariat yaitu analisis regresi linier berganda. Hasil analisis bermakna bila didapatkan p0,05) Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara varian gen angiotensinogen M235T dengan perubahan cIMT penderita pasca stroke iskemik (p>0,05). Subyek laki-laki, etnis jawa, dengan faktor resiko dislipidemi memiliki progresifitas paling tinggi walaupun tidak bermakna secara statistik Kata Kunci: AGT, aterosklerosis, stroke iskemik, cIMT
Latar belakang Stroke iskemik akut diikuti cedera sekunder akibat kaskade inflamasi dari migrasi sel imun perifer. Apoptosis penumbra menyebabkan perburukan keluaran klinis. Sel T regulator (Treg) dapat menekan inflamasi, namun jumlahnya sangat sedikit akibat dysbiosis usus pada pasien stroke. Pemberian probiotik dapat memperbaiki dysbiosis, dapat meningkatkan kadar sel Treg, dapat menekan inflamasi sekunder sehingga mencegah perburukan klinis. Metode : Experiment two group pre-post design terhadap subyek pasien stroke iskemik akut. Selama 7 hari, kelompok perlakuan dan kontrol diberi terapi standar stroke iskemik akut. Per 12 jam diberikan tambahan placebo atau probiotik (Lactobacillus plantarum, Streptococcus thermophiles, Bifidobacterium bifidum, Fructooligosaccharid). Diperiksa NIHSS, dan kadar sel Treg serum pre-post perlakuan. Hasil : 51 subyek memenuhi kriteria inklusi, 26 menjadi kelompok perlakuan. Jenis kelamin, usia, tindakan rTPA, tekanan dan kadar gula darah saat admisi, kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p > 0.05). Post perlakuan, kadar sel Treg serum kelompok perlakuan meningkat bermakna (p 0.003). Perubahan pre-post perlakuan berbeda signifikan (p 0.000), menunjukkan adanya pengaruh pemberian probiotik. NIHSS awal berbeda bermakna (p 0.004), kelompok perlakuan lebih tinggi. Post perlakuan, NIHSS kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p 0.924), disebabkan terjadi penurunan NIHSS setelah pemberian probiotik, dan tidak ada perubahan NIHSS setelah pemberian placebo. Perubahan NIHSS pada kedua kelompok berbeda bermakna (p 0.000), menunjukkan peran probiotik. Perubahan kadar sel Treg serum berkorelasi negative dengan perubahan NIHSS (p 0.000). Analisis multivariate menunjukkan hanya pemberian probiotik (p 0.002) dan perubahan kadar sel Treg serum (0.000) yang secara bermakna berpengaruh pada perubahan NIHSS. Simpulan : Probiotik meningkatkan kadar sel Treg serum, dan menurunkan NIHSS (memperbaiki keluaran klinis neurologis stroke iskemik akut) Kata kunci : Probiotik, sel Treg, NIHSS
Latar Belakang : Terjadinya stroke iskemik diawali dengan proses aterosklerosis. Proses aterosklerosis dapat dinilai secara non-invasif dengan mengukur ketebalan dinding intimamedia karotis (CIMT). Angiotensin I Converting Enzyme ( ACE ) berhubungan dengan hipertensi yang merupakan faktor risiko dari stroke. Tujuan : Mengetahui hubungan varian genetik ACE dengan perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada penderita pasca stroke iskemik Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cohort retrospektif. Subyek penelitian adalah 72 penderita stroke iskemik yang berobat di klinik rawat jalan Bagian Neurologi RSUP Dr. Kariadi Semarang pada Bulan Januari - Desember 2013. Pengukuran CIMT dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada 1 bulan (base line), 6, dan 12 bulan setelah onset. Analisis varian gen ACE dilakukan di Laboratorium Center for Biomedical Research ( CEBIOR ) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro pada Januari – Maret 2020. Data diolah menggunakan SPSS for Windows versi 25. Variabel dengan jenis data kategorik (nominal dan ordinal) dilakukan analisis univariat untuk mendapatkan proporsi dan persentase. Kemudian dilanjutkan dengan uji bivariat untuk mengetahui pengaruhnya. Data numerik dilakukan uji ANOVA dilanjutkan dengan independent t-test. Apabila syarat parametrik tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji Mann Whitney Hasil analisis dinyatakan bermakna bila didapatkan p0,05). Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara varian genetik ACE dengan perubahan CIMT penderita pasca stroke iskemik (p>0,05). Subyek laki-laki, etnis jawa, dengan faktor resiko merokok, riwayat kolesterol, diabetes melitus, hipertensi memiliki progresifitas paling tinggi walaupun tidak bermakna secara statistik. Kata Kunci: ACE, aterosklerosis, stroke iskemik, CIMT
Latar Belakang: Periodontitis adalah proses inflamasi kronis bersifat ireversibel dari jaringan peridonteum. Pada keadaan lebih berat dapat dapat menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman yang mengganggu aktifitas.1-6 Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang berperan penting dalam patogenesis inflamasi, rasa nyeri dan memiliki fungsi neuroprotektif. Tujuan: Membuktikan hubungan antara kadar vitamin D dan intensitas nyeri pada tikus wistar dengan periodontitis kronis. Menganalisa pengaruh asupan tambahan vitamin D terhadap kenaikan kadar vitamin D, derajat inflamasi periodontium dan jumlah sel pyramidal hipokampus. Metoda : Eksperimental, meneliti 20 ekor tikus dengan periodontitis kronis yang diinduksi pemasangan ligature selama 2 minggu, pada minggu kedua seluruh sampel dilakukan pengukuran intensitas nyeri dengan Rat Grimace Scale dan kadar vitamin D. tikus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu P1 (kontrol), kelompok P2 dengan ligature tanpa asupan tambahan vitamin D, kelompok P3 dengan ligature dengan tambahan vitamin D 4000 IU/Kg pakan selama 4 minggu, kelompok P4 dengan ligature dan tambahan vitamin D 2000 IU/Kg pakan selama 4 minggu. Pada minggu ke-6 dilakukan pengukuran ulang intensitas nyeri dan kadar vitamin D. seluruh sampel dilakukan dekapitasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan periodontium dan sel pyramidal hipokampus. Dilakukan analisa komparatif masing-masing variable dan analisa bivariat dengan variable bebas kadar vitamin D. Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan kadar vitamin D pada tikus dengan periodontitis kronis dibanding tanpa periodontitis kronis (p:0,008; p:0,014, p:0,0018) dan tidak terdapat perbedaan kenaikan kadar vitamin D dari masing-masing kelompok dengan uji post hoc (p: 0,236; p:0,280). Terdapat perbedaan penurunan RGS antara kelompok P2 dibanding kelompok P3 dan P4 (p:0,009; p:0,011; p: 0,049) dengan uji mann whitney. Tidak terdapat hubungan antara kadar vitamin D dan intensitas nyeri (p:0,528; r:0,150) dengan uji pearson. Terdapat perbedaan derajat inflamasi dari ke-4 kelompok (p: 0,001) dengan uji Kruskal wallis. Terdapat perbedaam jumlah sel pyramidal hipokamus dari seluruh kelompok (p
Latar Belakang : Insomnia adalah keluhan gangguan tidur yang umum pada pasien stroke, mempengaruhi antara 20% - 56% dari total pasien stroke. Insomnia salah satu indikator terpenting yang memprediksi prognosis buruk pemulihan fungsional. Semakin banyak bukti tentang pentingnya tidur dalam neuroplastisitas dan pembelajaran dalam pemulihan stroke, tetapi pengelolaan tidur pada umumnya belum dipertimbangkan dalam manajemen stroke dan protokol rehabilitasi, menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian tentang salah satu gangguan tidur yaitu insomnia yang dihubungkan dengan keluaran klinis motorik pada pasien stroke iskemik Tujuan : Mengetahui hubungan derajat keparahan insomnia dan kadar BDNF serum dengan keluaran klinis motorik pada pasien stroke iskemik, serta faktor-faktor lain yaitu lokasi stroke, tingkat keparahan stroke, jenis kelamin, umur dan depresi dengan keluaran klinis motorik pada pasien stroke iskemik. Metoda : Cross Sectional, meneliti 30 pasien stroke iskemik sesuai kriteria inklusi. Insomnia dan derajat keparahan insomnia dievalusi dengan skor Insomnia Severity Index (ISI), keluaran klinis motorik dievaluasi dengan skor Barthel Index (BI) dan skor Short-Fugl Mayer Assesment (S-FMA). Depresi dievaluasi dengan skor Beck Depression Inventory. Kadar BDNF serum diukur dengan serum darah pasien stroke iskemik yang diambil pada hari ke 5-7 onset. Tingkat keparahan stroke dinilai dengan skor NIHSS dan lokasi lesi stroke dinilai dari hasil CT Scan kepala non kontras. Analisis bivariat dari masing-masing faktor terhadap keluaran klinis motorik dan analisis multivariat multipel regresi/regresi liner berganda semua faktor yang berhubungan dengan keluaran klinis motorik, untuk menilai besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap keluaran klinis motorik pasien stroke. Hasil Penelitian : Tidak didapatkan hubungan antara derajat keparahan insomnia dengan keluaran klinis motorik (p=0,936 dan p=0,116). Tidak didapatkan hubungan antara kadar BDNF serum dengan keluaran klinis motorik (p=0,183 dan p=0,819). Didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik umur, lokasi stroke dan NIHSS dengan keluaran klinis motorik (Barthel Index) dimana umur dan NIHSS lebih berpengaruh (p=0,030 dan p=0,035) dan memberikan pengaruh sebesar 48,5%. Didapatkan hubungan bermakna jenis kelamin, lokasi stroke dan NIHSS dengan keluaran klinis motorik (Short Fugl Mayer Assesment/S-FMA) dimana NIHSS lebih berpengaruh (p=0,002) dan memberikan pengaruh sebesar 62,2%. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan derajat keparahan insomnia dengan keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik. Tidak terdapat hubungan kadar BDNF serum dengan keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik. Didapatkan hubungan faktor-faktor lain yaitu umur, jenis kelamin, lokasi lesi stroke dan NIHSS dengan keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik, dimana umur dan NIHSS merupakan faktor yang paling berpengaruh pada keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik Kata kunci : Insomnia, umur, NIHSS, keluaran klinis motorik, stroke iskemik
Latar belakang : Keterlambatan bicara dan bahasa menyertai berbagai gangguan seperti retardasi mental, kurang pendengaran, psikososial, autisme, afasia reseptif dan cerebral palsy dan kelainan organ bicara. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor risiko dengan keterlambatan bicara dan bahasa pada anak. Metode: Penelitian belah lintang pada anak umur 6 bulan -36 bulan curiga terlambat bicara yang dilakukan pemeriksaan Brain evoked respon audiometry di RSUP Dr Kariadi Semarang. Keterlambatan dinilai dengan kuisioner Languange evaluation Scale Trivandum (LEST). Sampel ditentukan sebanyak 80. Kriteria inklusi anak dengan usia 6 bulan – 36 bulan dan kriteria ekslusi adalah anak dengan gangguan sentral sepertu retardasi mental, cerebral palsy, afasia, mikrosefal, hidrosefalus dan kelainan organ bicara dan bahasa. Analisis data menggunakan uji Fisher’s exact dan chi-square, p
Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) adalah suatu penyakit inflamasi kronik pada unit folikel pilosebasea yang sering terjadi. Penatalaksanaan akne vulgaris pada pasien wanita memiliki tantangan tersendiri dimana terdapat banyak riwayat terjadinya gagal terapi dengan menggunakan terapi konvensional seperti dengan antibiotik maupun isotretinoin, serta pasien wanita memiliki predisposisi adanya kondisi kelebihan androgen. Disamping itu, semakin meningkatnya kesadaran mengenai pembatasan pemakaian antibiotik untuk mencegah terjadinya resistensi pada kasus dermatologi, termasuk akne vulgaris, mendorong penggunaan pilihan terapi lain, pada populasi pasien wanita, salah satunya dengan terapi berbasis hormon. Tujuan: Membuktikan efektifitas terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) untuk menurunkan jumlah total lesi akne vulgaris pada wanita. Metode: Hasil pencarian database elektronik Medline Pubmed, , Scopus, Cochrane library, dan pencarian mandiri, didapatkan 10 artikel yang disertakan dalam tinjauan kualitatif (n=1906 subjek) dan 8 artikel (n=1842 subjek) yang disertakan dalam meta-analisis. Hasil: Hasil meta-analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata perbedaan mean jumlah lesi setelah perlakuan kelompok yang mendapat terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) dengan yang mendapat terapi kontrol (p=0,005). Nilai perbedaan rerata overall adalah – 0,890±0,316, nilai negatif menunjukkan jumlah lesi setelah terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) adalah lebih rendah secara bermakna dibanding dengan yang mendapat terapi kontrol (p=0,005). Kesimpulan: Dari hasil tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada kelompok yang diberikan terapi berbasis hormon (spironolakton dan Kontrasepsi Oral Kombinasi) terdapat penurunan jumlah total lesi akne vulgaris dibandingkan sebelum perlakuan, dan hasil rerata perbedaaan jumlah lesi lebih rendah secara bermakna setelah mendapatkan terapi terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci: spironolakton, kontrasepsi oral kombinasi, akne vulgaris