Latar belakang : Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan obat yang memiliki kemampuan untuk mengatasi nyeri, sehingga dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri pasca bedah. Ketorolak dan desketoprofen merupakan OAINS bekerja dengan cara menghambat aktifitas ezim siklooksigenase (COX) baik enzim siklooksigenase-1 (COX-1) maupun enzim siklooksigenase-2 (COX-2) sehingga sintesis dari prostaglandin (PG) juga terhambat. PG khususnya prostaglandin E2 (PGE2) sebenarnya merupakan zat yang bersifat protektor untuk mukosa saluran cerna atas. HAmbatan sintesis PG akan mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi akut mukosa lambung bentuk ringan sampai berat. Tujuan : Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 14 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus wistar yang diberi luka incisi. Kelompok I mendapatkan deksketoprofen 0,9 mg intramuskular tiap 8 jam selama 5 hari dan kelompok II mendapatkan ketorolak dengan dosis 0,54 mg intramuskuler tiap 8 jam selama 5 hari. Setelah itu dilakukan terminasi serta pengambilan jaringan lambung dan dianalisis gambaran histopatologisnya. Uji statistik normalitas data dengan menggunakan Saphiro wilk uji beda dengan menggunakan Independent t Test. Hasil : Dari hasil uji Independent T Test didapatkan nilai p antara kelompok I terhadap kelompok II P=0,029 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II. Kesimpulan : Terdapat perubahan gambaran histopatologis lambung tikus wsitar setelah pemberian deksketorpofen dan ketorolak, dimana perubahan gambaran histopatologi lambung tikus wsitar pada pemberian desketoprofen lebih sedikit dibandingkan dengan ketorolak. Kata kunci : deksketoprofen, ketorolak, gambaran histopatologi lambung
Latar belakang : Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) berperan dalam mengendalikan inflamasi melalui inhibisi COX 1 dan COX 2. Ketorolak memiliki aktivitas hambatan lebih besar terhadap enzim COX-1. Sementara deksketorpofen bersifat seimbang atau menghambat kedua enzim cyclooxygenase (COX) sama besar. Penurunan fungsi ginjal dipengaruhi oleh penghambatan enzim COX-1, ketorolak dan deksketoprofen sebagai analgetik yang sering dipakai, eleminasi metabolitnya diginjal. Tujuan : Mengetahui perbedaan pengaruh pemberian deksketoprofen dan ketorolak terhadap perubahan histopatologi tubulus proksimal ginjal tikus wistar. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 28 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus wsitar yang diberi luka incisi. Kelompok I mendapatkan deksketoprofen 0,9 mg intramuskular tiap 8 jam selama 3 hari, kelompok II mendapat ketorolak dengan dosis 0,54 mg IM tiap 8 jam selama 3 hari, kelompok II mendapatkan deksketoprofen 0,9 mg intramuskular tiap 8 jam 5 hari, kelompok IV mendapat ketorolak dengan dosis 0,54 mg IM tiap 8 jam selama 3 hari dan dilakukan terminasi serta pengambilan jaringan ginjal. Analisa statistik menggunakan uji Kruskal dan uji Mann-Whitney. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna (p
Latar belakang : Perubahan hemodinamik selama operasi dapat menyebabkan hipoperfusi organ yang berakibat pada kegagalan organ ginjal. Ischemic Reperfusion Injury (IRI) adalah penyebab utama dari kegagalan ginjal akut, dan dapat berakibat pada peningkatan morbiditas dan angka kematian. Dexmedetomidine adalah agonis Alpha2-adrenergik yang selektif, menunjukkan sifat sparing anestesi, analgesia dan sifat simpatolitik, termasuk digunakan sebagai agen pelindung untuk Ischemic Reperfusion Injury (IRI) pada banyak sistem organ. Superoxide Dismutase 1 (SOD1) memainkan peran pentng dalam menyeimbangkan status oksidasi dan antioksidan, memberikan pertahanan penting terhadap toksisitas superoxide radikal, sehingga dapat melindungi sel dari kerusakan. Tujuan : Mengetahui efek dexmedetomidine intravena terhadap kadar Superoxide Dismutase 1 (SOD-1) ginjal kelinci dengan renal ISchemic Reperfusion Injury model. Metode : Penelitian eksperimental RAndomized Post Test Only Control Group Design menggunakan 16 ekor kelinci New Zealand. 8 ekor kelinci diberikan perlakuan dengan pemberian dexmedetomidine 0,5 mcg/kgbb/jam dan dilakukan oklusi pada arteri renalis. 8 ekor kelinci yang tidak mengalami perlakuan juga dilakukan oklusi arteri renalis dan dilakukan Superoxide Dismutase 1 (SOD-1) sebagai kontol. Uji normalitas dengan Saphiro Wilk dilanjutkan uji parametric menggunakan Mann Whitney. Hasil : Kadar rerata SOD-1 pada kelompok kontrol 0,8 dan nilai P 0,389 (normal) dan kadar rerata SOD-1 pada kelompok perlakuan 1,21 dan nilai P 0,014 (tidak normal). Uji beda digunakan uji parametric Mann Whitney-test didapatkan nilai p = 0,016. KArena nilai p
Latar belakang : Peningkatan kadar sitokin IL-6 yang berhubungan dengan kematian mengangkat hipotesis menarik bahwa signaling IL-6 memainkan peran mekanistik pada sepsis. Paparan endotoksin akan menyebabkan peningkatan aktivasi sitokin proinflamasi, dan salah satunya adalah Interleukin 6 (IL-6). Ketamin suatu antagonis dari reseptor N-methyl-D-aspartat merupakan anestesi karena mempunyai efek sedasi dan analgesi kuat. Ketamin merupakan obat anestesi yang digunakan untuk penderita sepsis, diduga ketamin menghambat aktivasi NF-kB melalui penekanan degradasi IkB-Alpha dan translokasi NF-kB sehingga akan menghambat produksi sitokin proinflamasi (TNF-Alpha, IL-1, IL-6 dan IL-8) akibat paparan lipopolisakarida (LPS). Supresi ketamin pada produksi LPS induced IL-1, IL-6 dan IL-8 disebabkan efek inhibisi ketamin pada produksi LPS-induced TNF-Alpha. Tujuan : Membuktikan efek pemberian ketamin 0,6, 1,2 dan 2,5 mg intravena pada tikus wistar yang disuntik LPS intravena terhadap penurunan interleukin 6 intravena. Metode : Penelitian ini menggunakan desain Randomized Non Controlled Trial (RCT). Kelompok dibagi menjadi 4 (kontrol (K), Perlakuan 1 (P1), Perlakuan 2 (P2), Perlakuan 3 (P3). Injeksi lipopolisakarida 5 mg/kgBB diberikan kepada semua kelompok, 5 menit kemudian injeksi Nacl 0,9% untuk kelompok satu (K) dan ketamine untuk kelompok 2 (P1), kelompok 3 (P2) dan kelompok 4 (P3) secara intravena dengan dosis 0,6 mg/kgBB (P1), 1,2 mg/kgBB (P2) dan 2,5 mg/kgBB (P3) di vena lateralis ekor, 6 jam pasca injeksi dilakukan pengambilan sampel darah pada keempat kelompok guna membandingkan kadar interleukin tiap kelompok. Uji statistik menggunakan metode Shapiro Wilk, Pre, One way Annova dan Post hoc. Hasil : Pada uji one way annova didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K terhadap kelompok P1. P2 dan P3. Pada uji Post Hoc terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar interleukin 6 pada kelompok P1 dibandingkan kelompok P2 (p=0,022) dan kelompok P2 dibandingkan kelompok P3 (p=0,008). Kesimpulan : Pemberian ketamin dosis 0,6 mg, 1,2 mg dan 2,5 mg menunjukkan perbedaan bermakna pada kadar Interleukin 6 dibanding kontrol pada tikus wsitar yang diberi LPS. Pemberian ketamin dosis 1,2 mg intravena dosis yang efektif untuk menurunkan kadar interleukin 6pada wistar yang diberi LPS. Kata kunci : ketamine, lipopolisakarida, interleukin
Latar belakang : Penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam pelayanan ICU mendorong pelayanan ICU untuk lebih efektif dan efisien. Skor APACHE (Acute Physiologi And Chronic Health Evaluation) merupakan skor prediktor outcome, lama rawat, mortalitas dan keparahan penyakit yang digunakan secara luas di dunia. Saat ini, skor APACHE yang digunakan di RSUP dr. KAriadi adalah skor APACHE II yang berdasarkan penelitian sebelumnya memiliki kelemahan dalam memprediksi lama rawat pasien di ICU. Prediksi kematian pasien kritis yang baru masuk Intensive Care Unit (ICU) perlu diterapkan agar dapat mengetahui besar kecilnya peluang pasien memperoleh keuntungan dari perawatan yang dilakukan. Tujuan : Membandingkan validitas skoring masuk perawatan intensif pasien pasca bedah menggunakan skor APACHE II, SAPS 3, dan MSOFA, terhadap mortalitas pasien di perawatan intensif RSUP Dr. Kariadi Semarang sehingga didapatkan sistem skoring yang baik, mudah dan efisien untuk diterapkan dengan melakukan penilaian missing value, dan diskriminasi dari masing-masing sistem skoring. Metode : Penelitian ini melibatkan 137 pasien pasca bedah yang dirawat di ICU RSUP dr. Kariadi yang diambil secara retrospektif dari data tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015. Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II, SAPS 3, dan MSOFA. Uji analisis regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing-masing sub variabel terhadap mortalitas, dan selanjutnya mencari cut off point dari analisis kurva ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing-masing. Skor validasi ditentukan menggunakan Hosmer-Lameshow goodness-of-fit tes yang ditampilkan menggunakan kurva (ROC) dimana analisis kurva digunakan untuk menentukan area di bawah kurva (AUC). Hasil : Didapatkan rentang usia rata-rata non survivor (47,89 + 14,19) secara signifikan lebih tua dari survivor (42,49 + 12,68), 41 kasus operasi darurat dan 96 operasi elektif dengan operasi bedah saraf merupakan kasus terbanyak (36 kasus) diikuti operasi digestive 30 kasus. HAsil rata-rata lama rawat di ICU adalah 6,04 hari (4,65) dimana kelompok non survivor memiliki lama rawat di ICU 6,81 hari (5,75) yang lebih panjang dibanding dengan kelompok survivor 5,55 hari (3,75). Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II, SAPS 3, dan MSOFA berturut-turut didapatkan 0,754, 0,633 dan 0,740. Missing value terbanyak didapatkan berturut-turut pada SAPS 3 sebesar 79,6% dengan dominan sub variabel bilirubin. Kesimpulan : Skor MSOFA memiliki kekuatan diskriminatif yang sama baiknya dengan APACHE II dalam memprediksi kematian pasien pasca bedah di ICU RSUP dr. Kariadi dengan missing value yang lebih sedikit dibandingkan dengan sistem skoring SAPS3. Kata kunci : sistem skoring, APACHE II, SAPS 3, MSOFA, AuROC, missing value
Latar belakang : Analgesik preemptif merupakan intervensi analgesik yang dimulai sebelum stimulasi noksius muncul dalam hubungannya dengan blok perifer maupun nosisepsi sentral. Tujuannya untuk menurunkan nyeri akut pasca trauma jaringan, mencegah modulasi nyeri pada SSP dan mencegah terjadinya nyeri kronis. Elemen penting dalam proses persepsi nyeri adalah substansi P dimana fungsi sensoris substansi Pdiperkirakan berkaitan dengan transmisi informasi nyeri ke sistem saraf pusat. Parasetamol dan ketorolak sebagai obat anti inflamasi non steroid dengan efek antipiretik dan analgetik. Berperan dalam neghambat enzim sikloogsigenase. Hal ini diharapkan dapat mengetahui perbedaan kadar substansi P tikus wistar pada keduanya sebagai pilihan analgesik preemptif. Tujuan : Mengetahui perbedaan efektivitas antara parasetamol dan ketorolak yang dinilai dari kadar substansi P pada tikus wistar sebagai pilihan analgesik preemptif. Metode : Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik dengan desain Randomized Pre and Post test control group design. Sejumlah 21 ekor tikus, dibagi menjadi tiga kelompok yang dilakukan secara acak masing-masing terdiri dari 7 ekor tikus untuk kelompok kontrol (K), 7 ekor tikus untuk kelompok perlakuan parasetamol atau K(1), 7 ekor tikus untuk perlakuan ketorolak K(2). setelah adaptasi selama 7 hari, tikus-tikus dari kelompok perlakuan maupun kontrol dilakukan pembiusan dengan menggunakan ketamin. Satu jam sebelum pembiusan, kelompok K(1) diberi injeksi parasetamol 18 mg intravena dan kelompok K(2) diberi injeksi ketorlak 0,54 mg intravena. Sesudah terbius, bulu disekiat punggung dicukur bersih dan didesinfeksi menggunakan betadine. Selanjutnya dibuatkan irisan sepanjang 2 cm dan kedalaman sampai subkutan. Luka irisan dibersihkan dan dioles larutan betadine, kemudian luka ditutup dengan 5 jahitan tunggal sederhana menggunakan benang side. Selanjutnya jahitan dibersihkan, diolesi betadine dan dirawat. Pasca pembedahan juga diberikan penisilin oil 15 mg. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar substansi P dilakukan pada kelompok K, K(1) dan K(2) 1 jam sebelum pemberian parasetamol dan ketorolak, dan pada jam ke-4 setelah insisi pada tikus wistar. Hasil : Dilakukan perlakuan pada tikus wistar, terdapat 2 ekor yang drop out, sehingga jumlah sampel yang dianalisa sebanyak 30 sampel. Pada uji Mann Whitney didapatkan kadar substansi P pada kelompok parasetamol dibandingkan dengan kelompok ketorolak berbeda bermakna (p=0,016; p