Latar Belakang: Tonsilektomi merupakan prosedur pembedahan paling sering dilakukan di bidang THT-KL dengan komplikasi pembedahan yaitu nyeri. Berbagai tehnik dikembangkan untuk menyempurnakan prosedur ini untuk mendapatkan komplikasi nyeri pasca pembedahan yang minimal.Tujuan: Membuktikan bahwa TTW memiliki tingkat nyeri pasca operasi yang lebih rendah dibanding TDK. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental randomized controlled trial post test design. Dilakukan perbandingan skor nyeri VAS/WBFRS dan kadar PGE2 pasca tonsilektomi antara kelompokTTW dan TDK pada pasien tonsilitis kronik.. Hasil Penelitian: Jumlah sampel sebanyak 34 dengan jumlah wanita lebih banyak dibanding lelaki (52,94 : 47,05) dan usia terendah adalah 5 tahun dan tertinggi adalah 29 tahun. Didapatkan perbedaan skor VAS/ WBFRS yang signifikan lebih rendah pada TTW dibanding TDK pada H4 jam pasca op ( p0,05), namun secara klinis skor VAS/ WBFRS pada TTW lebih rendah dibanding TDK. Hubungan antara skor nyeri VAS/ WBFRS dan PGE2 tidak didapatkan hubungan yang signifikan (p=0,146, koefisien korelasi= 0,255). Simpulan: TTW memiliki efektifitas yang lebih tinggi terhadap nyeri pasca tonsilektomi yang minimal sehingga dapat menjadi pilihan metode tonsilektomi. Kata Kunci: Tonsilitis kronik, tonsilektomi, thermal welding, diseksi, nyeri.
Latar Belakang: Kombinasi terapi ARV telah berhasil secara efektif menghambat tahapan – tahapan kunci dalam replikasi virus, dengan respon dramatis dalam meningkatkan rasio CD4:CD8. Hasil klinis HAART pada individu terinfeksi HIV sangat bervariasi. Studi tentang perbedaan respon terapi dan ketidaksesuaian respon imunologis telah banyak diteliti namun hasilnya tidak konsisten. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana perubahan rasio CD4:CD8 pada awal terapi dan bulan ke-6 setelah ART pada pasien baru terdiagnosis HIV dihubungkan dengan stadium klinis pasien saat memulai pengobatan. Tujuan Penelitian : Menganalisis hubungan rasio CD4:CD8 dengan stadium klinis pasien baru yang terdiagnosis HIV pada awal terapi dan bulan ke-6 setelah terapi ARV. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan observational analitik dalam 2 kali pengamatan. Subjek penelitian adalah pasien terinfeksi HIV dewasa naive dari poliklinik RSUP dr.Kariadi Semarang dan RSUP dr.Sardjito Yogyakarta. Hasil: Sejumlah 48 subjek penelitian dapat menyelesaikan ART selama 6 bulan. Berdasarkan klasifikasi WHO, 23 (47,91%) dan 17 (35,42%) subjek berada dalam stadium klinis 1 dan 2; 8 (16,67%) subjek dalam stadium 3. Median CD4 sebelum ART adalah 278,5 sel/mm3. Median rasio CD4:CD8 sebelum memulai terapi adalah 0,33 dan setelah 6 bulan terapi ART adalah 0,53. Hanya 1 subjek yang mengalami perburukan klinis. Kesimpulan: Semakin rendah rasio CD4:CD8 pada saat penderita terdiagnosis HIV, semakin berat stadium klinis HIV (p=0,001). Terdapat peningkatan rasio CD4:CD8 yang bermakna setelah 6 bulan ART (p=0,001). Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio CD4:CD8 dengan stadium klinis setelah mendapatkan terapi ART selama 6 bulan (p=0,001) Kata Kunci: Rasio CD4:CD8, stadium klinis, ART = terapi anti retroviral (ARV)
Latar Belakang: Pasien-pasien kanker mempunyai resiko tinggi terhadap kejadian trombosis vena dalam (TVD). Parameter klinis dan laboratoris berperan penting menentukan resiko TVD, dimana sebuah studi (CATS) telah menyusun stratifikasi resiko TVD pada pasien kanker yaitu skor khorana. Suatu biomarker baru, P Selectin, mulai banyak diteliti sebagai prediktor TVD. Tujuan : Untuk mencari peranan skor khorana dengan biomarker P selectin sebagai prediktor kejadian TVD pada pasien kanker baik sebelum dan sesudah kemoterapi pertama. Metode : Studi kohort prospektif ini dilakukan selama 3 bulan pada 40 pasien kanker yang baru terdiagnosis, dan akan menjalani kemoterapi pertama. Dilakukan penilaian skor khorana saat awal, dan pengambilan darah sebelum dan sesudah kemoterapi. Hasil : Didapatkan kejadian TVD pada 5 sampel (12.5%) dari keseluruhan sampel.Jenis tumor terbanyak: kanker rekti (25%), kolon (20%), serviks (15%). Dari analisis statistik kadar P selectin signifikan sebagai prediktor TVD dengan Cut Off Point post kemoterapi (111.7 ng/ml) dengan Odds Ratio 8.7. Gabungan skor khorana dan P selectin didapatkan hasil yang bermakna pre (p=0.004) dan post (p=0.021). Kesimpulan : Gabungan skor khorana dan P selectin berperan sebagai prediktor TVD pada pasien kanker. Kata kunci : trombosis vena dalam, kanker, kemoterapi, skor khorana, P Selectin
Latar Belakang : IGF-1 berperan dalam karsinogenesis yang berhubungan dalam menjembatani ambilan energi yang tinggi, peningkatan proliferasi sel, dan supresi apoptosis hingga risiko kanker, dimana telah menjadi kunci mekanisme yang menjembatani antara resistensi insulin dan kanker. Kadar IGF-1 terkait dengan kanker payudara dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti obesitas (BMI dan waist circumference) dan aktivitas fisik yang rendah. Obesitas dan kurangnya aktivitas fisik merupakan penentu dari hiperinsulinema dan resistensi insulin. Hiperinsulinemia dapat menjadi faktor suatu kondisi kronis seperti diabetes melitus tipe 2, obesitas, dan bentuk tertentu dari kanker, termasuk kanker payudara.Kanker payudara merupakan kanker yang sering terjadi pada wanita.Hubungan resistensi insulin dalam mempengaruhi kadar IGF-1 plasma kanker payudara belum sepenuhnya jelas. Tujuan : Mengetahui hubungan resistensi insulin dengan kadar IGF-1 plasma pada kanker payudara. Metode : Penelitian secara belah lintang melibatkan 34 orang yang menderita kanker payudara. Diagnosis kanker payudara berdasarkan gambaran histopatologi. Semua responden belum menjalani kemoterapi. Variabel terikat adalah kadar IGF-1 plasma dan variabel bebas resistensi insulin yang diukur dengan IMT, lingkar pinggang dan HOMA-IR. Pemeriksaan IGF-1 plasma dilakukan dengan metode ELISA. Hubungan antar variabel dilakukan dengan analisa bivariat dan multivariat. Hasil : Pada analisis bivariat, tidak terdapat hubungan antar IMT dengan dengan kadar IGF-1 plasma (p=0,355). Pada analisis bivariat, tidak terdapat hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar IGF-1 plasma (p = 0,125). Pada analisis bivariat, tidak terdapat hubungan antara HOMA-IR dengan kadar IGF-1 plasma (p=0,458). Simpulan : Pada penelitian ini menunjukkan bahwa resistensi insulin tidak memiliki hubungan terhadap IGF-1 pada penderita kanker payudara. Kata Kunci : IGF-1, Resistensi Insulin, Kanker payudara, Semarang
Latar belakang : NAFLD Fibrosis Score (NFS) adalah salah satu metode klinis yang tidak invasif dan tervalidasi, untuk mengidentifikasi perkembangan fibrosis hati pada penderita NAFLD. Mortalitas terkait kardiovaskuler merupakan penyebab utama pada pasien NAFLD. Peningkatan indeks massa ventrikel kiri (IMVK) merupakan petanda awal (subklinis) terjadinya komplikasi kardiovaskuler pada penderita NAFLD. Tujuan : Menganalisis korelasi antara NAFLD fibrosis score dengan indek massa ventrikel kiri pada penderita NAFLD. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional pada pasien NAFLD yang datang ke Poliklinik Gastroenterohepatologi bagian penyakit dalam RSUP Dr. AKriadi Semarang. Pemeriksaan NFS menggunakan perhitungan rumus yang telah ditetapkan berdasarkan parameter klinis dan biokimia darah, sedangkan pengukuran IMVK menggunakan ekokardiografi. Evaluasi variabel perancu meliputi jenis kelamin dan hipertensi. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji korelasi Person's, Mann-Whitney dan regresi logistik. Hasil : Terdapat 64 responden dengan NAFLD primer, 58.1% pria, 41.9% wanita. Usia rerata responden 52.8+10.5 tahun (rentang: 30-77 tahun). Berdasarkan kriteria NFS, distribusi terbesar terdapat pada kelompok high probability of advanced fibrosis (50%), diikuti intermediate probability of advanced fibrosis (34.4%) dan low probability of advanced fibrosis (15.6%). Peningkatan IVMK didapatkan terbanyak bertutur-turut pada kelompok dengan NFS high probability of advanced fibrosis (93.8%), intermediate probability of advanced fibrosis (59.1%) dan low probability of advanced fibrosis (10%). Didapatkan korelasi positif antara NFS dengan IVMK (P 0,002). Dilakukan uji regresi logistik (metode enter) antara NFS dan variebl perancu (jenis kelamin) terhadap IVMK, didapatkan hubungan yang lebih bermakna antara NFS terhadap IVMK pada NAFLD (P=0,002). Kesimpulan : Terdapat korelasi positif antara NAFLD fibrosis score dengan indek massa ventrikel kiri pada penderita NAFLD. Kata kunci : NAFLD, NAFLD fibrosis score (NFS), indek massa ventrikel kiri (IVMK).
Latar belakang : Asidosis metabolik berkaitan dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Sebagian besar penelitian observasional pada pasien PGK yang belum dilakukan dianalisa, maupun pasien PGK stage V menunjukan bahwa asidosis metabolik secara signifikan berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Mortalitas yang paling rendah pada pasien PGK stadium V predialisasi berhubungan dengan kadar HCO3 17-23 mEq/L, sedangkan kadar bikarbonat serum > 23 mEq/L berhubungan dengan progresifitas yang lebih tinggi semua penyebab kematian. Pada penelitian ini dicoba untuk menggunakan pendekatan melihat pH arteri untuk pengaruh asidosis metabolik (pH7,2, 19.8% (n=16) mati dan 80.2% (n=65) hidup. Didapatkan secara statistik terdapat hubungan bermakna antara pH
Latar belakang : Pendekatan komprehensif sangat penting dilakukan dalam mengelola orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Terapi nutrisi sebagai tambahan terapi ARV sangat diperlukan. Defisiensi kadar selenium (Se) didapatkan pada ODHA, bahkan yang sudah mendapatkan terapi ARV. Infeksi HIV-AIDS menyebabkan inflamasi kronik terutama pada Gut Associated Lymphoid Tissued (GALT) yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif (peningkatan radikal bebas (ROS) dan penurunan antioksidan), memicu apoptosis sel limfosit T (CD4) dan menurunkan sistem imun. Gluthation Peroxidase (GPx) adalah enzim esensial yang berperan sebagai antioksidan (mengeliminir ROS), antiapoptosis dan menjaga kestabilan integritas epitel mukosa intestinal. Efektivitas kerja GPx dipengaruhi oleh adequasi kadar Se dalam tubuh. Metode : Penelitian eksperimental dengan desain randomized placebo controlled trial, yaitu memberikan perlakuan suplementasi Se selama 6 bulan dengan kontrol placebo pada ODHA yang berobat di klinik Voluntary Counseling and testing (VCT) RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Oktober 2012 sampai dengan MAret 2013. HAsil : Pada akhir penelitian, terdapat 58 ODHA yang dapat dianalisis, 29 responden mendapat suplementasi Se dan 29 kontrol yang mendapat placebo. Karakteristik subjek penelitian ini adalah terdiri dari 34 laki-laki dan 24 perempuan, terbanyak pada usia 35-44 tahun, lulusan SMA/SMK, pekerjaan wiraswasta/pedagang, dengan IMT terbanyak normoweight, konsumsi ARV kurang dari 2 tahun dan tidak mengkonsumsi alkohol maupun rokok, serta penularan terbanyak terjadi melalui hubungan heteroseksual. Koinfeksi TB lebih banyak terdapat pada kelompok perlakuan dan stadium klinis terbanyak adalah stadium satu. Terdapat peningkatan bermakna kadar Se setelah mendapat suplementasi Se selama 6 bulan (p=0,001), namun masih dibawah nilai normal (
OSCE dapat digunakan untuk memeriksa berbagai keterampilan klinis. OSCE (Objective Structured Clinical Examinination) dibagi menjadi klinis, praktik dan Interpretasi data: 1. Staser Klinis, terdiri dari berbagai aspek komunikasi atau pemeriksaan: Mendapatkan dan mempresentasikan riwayat medis Melakukan pemeriksaan fisik Keterampilan komunikasi Stase ini biasanya melibatkan interaksi dengan pasien sesungguhnya atau pasien simulasi. 2. Stase praktik Keterampilan klinis Keterampilan prosedural Boneka peraga biasanya digunakan untuk menggantikan pasien. 3. Stase interpretasi data, terdiri dari diskusi tertulis atau verbal mengenai berbagai hasil pemeriksaan. Pertanyaan lisan terstruktur yang diberikan penguji Stase tertulis Topik pembahasan dalam buku ini disajikan secara ringkas dan sederhana serta dilengkapi dengan ilustrasi.