Latar belakang : Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit autoimun mempunyai karakteristik variasi autoantibodi yang luas, beberapa adalah patogenik. Tumor Necrosis Faktor (TNF Alpha) merupakan sitokin proinflamator dan imunoregulator. Severitas penyakit dinilai dengan menghitung indeks aktivitas penyakit SLE (SLEDAI). MEX SLEDAI adalah yang termudah untuk menghitung aktivitas penyakt SLE di pusat pelayanan kesehatan primer dimana tidak terdapat fasilitas laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa korelasi antara kadar TNF Alpha dengan aktivitas penyakit SLE (MEX SLEDAI). Metode : Penelitian belah lintang di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai Januari sampai Juni 2015 yang melibatkan 47 orang responden. Variabel bebas adalah kadar TNF Alpa serum, variabel terikat adalah aktivitas penyakit lupus eritemoatosus sistemik (MEX SLEDAI). HAsil : Didapatkan korelasi negatif antara kadar TNF Alpha serum dengan aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (MEX SLEDAI) (r=-0,306, p=0,037). Sedangkan korelasi antara kadar TNF Alpha serum dengan aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (MEX SLEDAI) bermakna secara statistik (p>0,05, r=-0,306). Kesimpulan : Terdapat korelasi negatif antara kadar TNF Alpha serum dengan aktivtas penyakit lupus eritematosus sistemik (MEX SLEDAI). Kata kunci : TNF Alpha, MEX SLEDAI, lupus eritematosus sistemik
Latar belakang : Enterobactericecae spp. utamanya E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL dikethui luas sebagai penyebab utama resistensi antibiotika golongan oxymino-sefalosporin dan aztreonam. Prevalensinya di lima rumah sakit besar Indonesia tahun 2013 sebesar 32-68%, sedangkan di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2009 sebesar 30,1% dan menjadi 78% pada tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko E.coli dan K.pneumoniae ESBL (+) di RSUP Dr. Kariadi. Metode : Desain penelitian adalah belah lintang dari catatan medik pasien rawat inap di RSUP Dr. Kariadi antara 1 januari 2014 - 31 Desember 2016. Penentuan E.coli dan K.pneumoniae ESBL (+) menggunakan vitek 2R. Faktor risiko yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, penyakit dasar, paparan antibiotika sefalosporin generasi tiga, pemakaian peralatan invasif, tempat perawatan, lama perawatan sebelum kultur positif, dan asal rujukan. Hubungan antar variabel dianalisis dengan uji Chi square atau Fisher exact, yang dilanjutkan dengan multivariat. Hasil : Didapatkan 242 isolat yang terdiri dari Escherichia coli sebesar 57,02% dan Klebsiella pneumoniae sebesar 42,98%. Rentang usia dan jenis kelamin tidak berbeda. Penyakit dasar pasien bakteriemia karena E.coli ESBL (+) adalah keganasan, penyakit saluran cerna dan infeksi saluran nafas, sedangkan karena K.pneumoniae ESBL (+) adalah penyakit saluran cerna dan infeksi saluran nafas. Pemakaian sefalosporin generasi 3 merupakan faktor risiko terjadinya E.coli ESBL (+) dengan OR 3,17 (95%CI 1,40-7,16, p=0,008), sedangkan pemakaian ceftriaxone mempunyai OR 3,32 (95% CI 1,41-7,84, p=0,006). Faktor risiko terjadinya K.pneumoniae ESBL (+) adalah pemakaian lebih dari satu jenis alat mempunyai OR 3,07 (95%CI 1,14-8,27, p=0,03). Simpulan : Pemakaian ceftriaxone merupakan faktor risiko terjadinya bakterimia akibat E.coli ESBL (+) sedangkan penggunaan >1 jenis peralatan invasif merupakan faktor risiko trjadinya bakterimia akibat K.pneumoniae ESBL (+). Kata kunci : extended spectrum beta lactamase, E.coli, K.pneumoniae, faktor risiko
Pendahuluan : Sindroma down merupakan kelainan genetik yang ditandai dengan bentuk phenotype yang khas, retardasi mental dan gangguan perkembangan, termasuk perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Tujuan : Mengetahui faktor risiko gangguan perkembangan bahasa pada anak sindroma down. Metode : Penelitian dengan desain cross sectional yang dilakukan dari bulan Januari 2017 sampai Juni 2017. Subyek sebanyak 39 anak dengan sindroma down umur 3-36 bulan yang ada di poliklinik anak RSUP dr. KAriadi. Subyek dilakukan pemeriksaan antropometri dengan menggunakan alat yang dikalibrasi, pemeriksaan perkembangan dengan skala perkembangan anak sindroma down, pemeriksaan BERA, hasil pemeriksaan tiroid didapatkan dari catatan medis. Stimulasi dinilai dengan HOME inventory. Hasil : Dari 61 anak dengan sindroma down, 39 anak (20 laki-laki dan 19 perempuan) masuk kriteria inklusi dan eksklusi. Umur rata-rata adalah 22 bulan. Sebagian besar gizi baik 48,7% mengalami mikrosefal, 51,3% hipotiroid dan 66,7% mengalami retardasi mental, 48,7% mengalami gangguan pendengaran dan 43,6% tidak ada stimulasi dan kognitif merupakan faktor risiko gangguan perkembangan bahasa. Mikrosefal merupakan faktor risiko tertinggi (OR 18,235). Kesimpulan : Faktor risiko gangguan perkembangan bahasa pada anak adalah mikrosefal, stimulasi dan kognitif.
Buku petunjuk praktikum ini mempelajari beberapa aspek biokimiawi yang penting dalam tuuh manusia diantaranya terkait dengan, fragilitas membran eritrosit, cara kerja enzim serta pengukuran kadar glukosa di dalam darah. Memuat pula dasar teori serta langkah-langkah pemeriksaan yang dilengkapi dengan lembar untuk membuat rencana kerja praktikum dan lembar laporan praktikum.
Buku petunjuk praktikum ini mempelajari beberapa aspek biokimiawi yang penting dalam tuuh manusia diantaranya terkait dengan, fragilitas membran eritrosit, cara kerja enzim serta pengukuran kadar glukosa di dalam darah. Memuat pula dasar teori serta langkah-langkah pemeriksaan yang dilengkapi dengan lembar untuk membuat rencana kerja praktikum dan lembar laporan praktikum.
Latar belakang : Meningioma merupakan tumor intra kranial yang paling sering terjadi, berasa dari neuroektodermal yang didapat dari sel meningiotelial (arachnoid). Sekitar 10% meningioma memiliki perilaku agresif dan masuk ke dalam derajat I dan derajat II, dengan implikasi prognostik dan terapetik yang penting. Parameter histologi rutin yang digunakan tidak konsisten dalam menentukan perilaku agresif meningioma. Ekspresi KI-67 dan p53 sebagai marker aktivitas proliferasi dapat digunakan sebagai faktor prognostik meningioma. Bahan dan Cara : Subyek penelitian merupakan 30 sampel blok parafin kasus meningioma tahun 2011-2014 di laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu derajat I, II, III kemudian dilakukan pengecatan imunohistokimia antibodi monoklonal KI-67 dan p53, kemudian dianalisis dengan uji Krusskal Walis. Hasil : Berdasarkan uji Krusskal Walis, terdapat peningkatan ekspresi KI-67 berdasarkan peningkatan derajat meningioma, tetapi tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,437). Terdapat peningkatan p53 berdasarkan peningkatan derajat meningioma, tetapi tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,531). Kesimpulan : Peningkatan ekspresi KI-67 dan p53 pada meningioma derajat I, II, III tidak bermakna. Kata kunci : meningioma, KI-67, p53