Latar Belakang : Kadar Docosahexanoic acid (DHA) berkaitan dengan keluaran klinis stroke iskemik akut (SIA). Channa Striatus/ ikan gabus mempunyai fungsi neuroprotektif karena kandungan asam lemak salah satunya adalah DHA. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus (Channa Striatus)/EIG yang didalamnya mengandung DHA terhadap kadar DHA serum serta keluaran klinis neurologis pasien stroke iskemik akut. Metoda: Penelitian dengan desain Randomized Pre-Posttest Control Group Design dengan double blind. Pasien SIA dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan EIG 15 gr selama 7 hari. Kadar DHA serum dan skor NIHSS diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada keluaran klinis juga dianalisis secara multivariat. Hasil: Sebanyak 42 subjek dilakukan random alokasi sebagai kelompok perlakuan atau kontrol. Selisih peningkatan kadar DHA serum pada kelompok perlakuan lebih besar secara bermakna dibanding kelompok kontrol (p=0,001), Terdapat korelasi negatif antara perubahan kadar DHA serum dengan perubahan skor NIHSS (p=0,006). Analisis multivariat tampak bahwa EIG berpengaruh pada pada penurunan skor NIHSS (p=0,059, OR= 0,25 dan variabel jenis kelamin (p=0,021, OR 5,64). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ekstrak ikan gabus dengan perubahan skor NIHSS pasien stroke iskemik akut. Pemberian ekstrak ikan gabus dapat memperbaiki keluaran klinis neurologis seperempat kali lebih besar dibanding plasebo pada pasien stroke iskemik akut sehingga dapat dipertimbangkan untuk penunjang pemulihan pasien stroke iskemik akut. Kata kunci : Docosahexaenoic acid (DHA), Channa Striatus, stroke iskemik akut, NIHSS
Latar Belakang : Asupan makanan mempengaruhi fungsi otak, termasuk zinc yang banyak terdapat di otak terutama Hipokampus dan Amigdala. Kelompok usia yang paling rentan terhadap defisiensi zinc adalah orang dewasa berumur >60 tahun. Kekurangan zinc dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif, sehingga diperlukan deteksi dini. Tujuan Penelitian : Menganalisis hubungan antara kadar zinc serum dengan fungsi kognitif pada lanjut usia. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan obervasional analitik dengan desain belah lintang. Subyek penelitian adalah lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Panti Sosial Tresna Wredha Semarang. Penelitian dilakukan mulai 1 September 2017 sampai dengan 31 Januari 2018. Dilakukan perhitungan oleh ahli gizi dengan menggunakan food recall untuk perhitungan gizi, dengan hasil diet Zinc adalah kurang. Data pasien diperoleh dengan wawancara, kadar Zinc serum diperiksa, bersamaan dengan penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assesment Indonesia (MoCA-Ina) secara bersamaan. Analisa data dengan uji korelasi Spearman’s dan uji Multivariat menggunakan regresi linear, dianggap bermakna bila nilai p
Latar Belakang: Obesitas sentral merupakan akumulasi lemak berlebih pada abdomen. Akumulasi lemak tinggi menyebabkan inflamasi kronis dan pelepasan sitokin yang dapat menurunkan kadar vitamin D. Mengukur kadar vitamin D membutuhkan biaya cukup mahal. Pada obesitas sentral, Waist to hip ratio (WHR) dan massa lemak digunakan untuk menilai status vitamin D. Tujuan: Mengetahui peranan WHR dan massa lemak sebagai prediktor status vitamin D pada wanita usia subur (WUS) obesitas. Metode: Penelitian belah lintang dengan 50 responden WUS obesitas di Kota Semarang dengan consecutive sampling dilakukan: (a) pengukuran lingkar pinggang (LP) dan lingkar panggul (LPa) untuk mendapatkan WHR, (b) pemeriksaan bioelectrical impedance analysis (BIA) untuk mengetahui massa lemak, dan (c) pengukuran kadar 25(OH)D3 dengan metode Elisa. Hasil: (a) Nilai rerata: LP (89.5 ± 7.4) cm; LPa (105.1 ± 8.39) cm; WHR (0.85 ± 0.05); massa lemak (40.5 ± 5.3)%, dan kadar 25(OH)D3 (11.5 ± 2.39) ng/ml. (b) WHR >0.8 dengan 25(OH)3 sangat rendah 93.3% dan rendah 65%; sedangkan WHR ≤0.8 dengan 25(OH)D3 sangat rendah 6.7% dan rendah 35%, nilai RP= 7.538 (95% CI: 1.372–41.4), p=0.021. (c) Massa lemak ≥35% dengan 25(OH)D3 sangat rendah 96.7% dan rendah 70%, sedangkan massa lemak
Latar belakang: Obesitas diketahui sebagai kondisi dengan asupan energi dan zat gizi yang berlebihan. Mekanisme penyebab anemia pada obesitas masih belum jelas. Pada obesitas terjadi inflamasi sistemik derajat ringan yang dapat menyebabkan peningkatan hepcidin sehingga pelepasan besi dari sel terhambat. Tujuan: Menganalisis hubungan status besi (rasio sTfR/log Ft) dan hepcidin dengan kadar Hb pada WUS dengan berat badan lebih. Metoda: Jenis penelitian cross sectional dengan responden wanita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah responden 66 orang, dilakukan informed consent, pengambilan data identitas, kuisioner, pemeriksaan antropometri dan pemeriksaan laboratorium. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan status besi (rasio sTfR/log ferritin) dan hepcidin dengan hemoglobin. Hasil: Kadar ferritin 10,2 ± 8,12 ng/ml, sTfR 22,2 ± 7,96 ng/ml dan rasio sTfR/log ferritin 29,3 ± 17,65 nmol/L sedangkan hepcidin 9,0 ± 3,05 ng/ml. Sebanyak 50 (75,8%) subyek memiliki kadar ferritin rendah, sTfR yang tinggi 34 (51,5%) dan rasio sTfR/log ferritin yang tinggi 58 (87,9%). Rasio sTfR/log ferritin berkorelasi negatif dengan Hb (r: -0,375; p: 0,002). Tidak terdapat korelasi antara kadar hepcidin dengan Hb (r: -0,140; p: 0,264). Didapatkan korelasi positif antara ferritin dengan Hb (r: 0,350; p: 0,004) dan korelasi negatif sTfr dengan Hb (r: -0,359; p: 0,003). Simpulan: Terdapat hubungan status besi (ferritin, sTfR dan rasio sTfR/log ferritin) dengan haemoglobin pada wanita usia subur (WUS) dengan berat badan lebih. Hasil penelitian menunjukan subyek mengalami ADB tahap II. Tidak didapatkan hubungan hepcidin dengan kadar haemoglobin (Hb) pada wanita usia subur (WUS) dengan berat badan lebih. Penggunaan 3 parameter (ferritin, sTfR, dan rasio sTfR/log ferritin) dapat meningkatkan deteksi subyek yang mengalami ADB. Kata kunci: obesitas, status besi, hepcidin, inflamasi
Latar belakang : Berat lahir merupakan indikator penting terhadap kesehatan dan keberlangsungan hidup bayi. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram memiliki risiko kematian hingga 20 kali lipat dibandingkan bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram. Usia ibu kurang 18 tahun atau lebih 35 tahun, asupan gizi tidak mencukupi kebutuhan, tinggi badan (TB) kurang dari 145 cm, Lingkar lengan atas (LLA) kurang dari 23,5 cm, adanya penyakit penyerta pada ibu seperti diabetes melitus dan anemia, serta kelahiran sebelum masa gestasi 37 minggu dapat meningkatkan risiko berat badan lahir rendah (BBLR). Tujuan : penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko TB terhadap kejadian BBLR pada ibu hamil. Metode penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol. Kriteria kasus merupakan kelahiran dengan BBLR, sedangkan kriteria kontrol merupakan kelahiran dengan berat badan normal. Variabel yang diperiksa adalah jarak kehamilan, TB, LLA, dan latar belakang pendidikan. Hasil : Subyek penelitian sebanyak 70 ibu yang melahirkan BBLR sebagai kasus dan 68 subjek ibu yang tidak BBLR sebagai kontrol. Didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara TB ibu pada kelompok kasus dan kontrol (p >0,05). Variabel usia, LLA dan jarak kehamilan tidak mempengaruhi hasil analisis TB ibu terhadap kejadian BBLR, sehingga ketiga variabel tersebut bukan sebagai faktor perancu. Variabel pendidikan didapatkan nilai p >0,05 sehingga tidak ada perbedaan bermakna dan tidak dimasukkan dalam analisis faktor risiko tinggi badan ibu terhadap kejadian BBLR. Simpulan : TB ibu hamil bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR, hal ini tidak dipengaruhi oleh usia, LLA dan jarak kehamilan. Kata kunci : Berat badan lahir rendah, tinggi badan, lingkar lengan atas, jarak kehamilan.
Latar belakang : Malnutrisi rumah sakit disebabkan multifaktorial dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pasien dengan operasi reseksi gastrointestinal lebih berisiko malnutrisi Tujuan: Mengetahui prevalensi malnutrisi rumah sakit dan faktor-faktor yang berhubungan pada pasien bedah digestif Metoda : Penelitian cross sectional, dilakukan di RSUP Dr. Kariadi, mengambil data pasien rawat inap bedah digestif yang memenuhi kriteria inklusi secara consecutive sampling selama bulan Agustus-Oktober 2017. Data usia, jenis penyakit, status gizi awal, penggunaan ERAS dan terapi gizi. Berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas diukur saat masuk dan keluar RS, kemudian dihitung perubahannya. Independen t-test menguji hubungan antar variabel. Hasil: Subyek 41 responden, rerata usia 47 tahun, berat badan 53 kg, dan IMT 21,1 kg/m2. Semua responden malnutrisi menurut kriteria ASPEN. Penurunan berat badan, IMT, dan LLA responden yang mendapat terapi gizi selama perawatan tidak bermakna (p 0,41; 0,41; 0,56) dan lama rawat inap pasien yang mendapat terapi gizi lebih panjang (p 0,001). Penurunan berat badan, IMT dan LLA yang menjalani prosedur ERAS lebih rendah secara bermakna (p 0,013; 0,010; 0,005). Penurunan berat badan, IMT, dan LLA pada pasien kanker tidak bermakna (p 0,208; 0,224; 0,515). Penurunan berat badan, IMT, dan LLA pasien geriatri tidak bermakna (p 0,264; 0,262; 0,205). Lama rawat inap pasien dengan malnutrisi berat lebih panjang secara bermakna dibandingkan pasien dengan malnutisi ringan-sedang (p 0,036). Simpulan: Pasien yang menjalani ERAS, terapi gizi, pasien non kanker dan yang masuk dengan malnutrisi ringan-sedang mengalami penurunan berat badan, IMT dan LLA yang lebih rendah. Pasien malnutrisi berat lebih panjang masa rawat inapnya. Kata kunci: malnutrisi rumah sakit, bedah digestif, ERAS, lama rawat inap
Latar belakang : Malnutrisi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita HIV/AIDS yang mempercepat timbulnya infeksi sekunder. Intervensi gizi akan mencegah penurunan massa otot, memperbaiki kualitas hidup pasien dan memperbaiki respon pasien terhadap terapi. Tujuan : Mengetahui perubahan berat badan, kapasitas fungsional pasien saat awal masuk hingga pasien pulang terkait dengan intervensi gizi yang telah diberikan. Metoda : Penelitian ini merupakan studi kasus pada pasien rawat inap di RSUP dr.Kariadi. Subjek penelitian dipilih tiga orang pasien HIV/AIDS berusia muda dan malnutrisi dengan infeksi oportunistik yang berbeda yaitu kasus 1 adalah toksoplasmosis yang berkembang dan menyebabkan hemiparesis dan afasia. Kasus 2 dengan infeksi oportunistik yang diderita adalah TB dan diare. Kasus 3 infeksi oportunistik yang menyertai adalah diare kronik dan Sindrom Steven Johnson. Ketiga pasien tersebut diikuti dari awal masuk hingga pulang, dan diberikan intervensi gizi berupa diet dengan proporsi 45%-65% karbohidrat, 10% - 35% protein dan 20% - 30% lemak, kemudian diamati perubahan asupan, berat badan, kapasitas fungsional, klinis maupun laboratorium. Hasil : Pada kasus 1, wanita, usia 33 th, berat badan pasien meningkat 2 kg, hand grips strength meningkat dari 18 menjadi 22 kg/s, lama rawat 13 hari. Kasus 2 adalah laki-laki, 20 th, berat badan pasien meningkat 1 kg, hand grips strength meningkat dari 20 menjadi 29 kg/s, lama rawat 9 hari. Kasus 3 adalah laki-laki, 31 th, berat badan meningkat 2 kg, hand grips strength meningkat dari 20 menjadi 24kg/s, lama rawat 6 hari. Simpulan : Pemberian zat gizi dengan proporsi 45%-65% karbohidrat, 10% - 35% protein dan 20% - 30% lemak mampu mencegah penurunan berat badan dan perbaikan activity daily life pada pasien saat pulang dari rumah sakit. Kata kunci : pasien hiv/aids, malnutrisi, infeksi oportunistik
Pendahuluan : Malnutrisi rumah sakit masih merupakan persoalan yang belum tertangani dengan baik. Angka prevalensi malnutrisi rumah sakit berkisar pada angka 20%-60%. Malnutrisi dapat terjadi sebelum pasien mendapat perawatan di rumah sakit dan dapat pula timbul saat pasien mendapat perawatan di rumah sakit yang disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah rujukan kepada tim gizi klinis. Tujuan : Untuk Mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi peningkatan risiko malnutrisi pasien rawat inap dewasa pada hari ke-7 rawat inap beradasarkan skrining Malnutrition Universal Screening Tool (MUST). Material dan Metode : Kami menggunakan metode nested case control pada 65 pasien. Alat skrining MUST digunakan untuk menentukan risiko malnutrisi saat admisi dan hari ke-7 rawat inap. Kriteria kasus merupakan pasien dengan peningkatan risiko malnutrisi. Analisa rasio odds dilakukan untuk melihat faktor-faktor risiko yang mempengaruhi peningkatan risiko malnutrisi. Hasil Penelitian : Responden total adalah sebanyak 65 orang. Sebesar 67% pasien berada dalam risiko tinggi malnutrisi saat admisi dan 52% saat hari rawatan ke 7. Persentasi pasien yang dirujuk kepada dokter gizi klinis yakni hanya 28%. Adapun factor risiko yang mempengaruhi peningkatan risiko malnutrisi pasien rawat inap dewasa adalah tidak adanya rujukan kepada dokter gizi klinis (OR=10,67; IK 2,68-42,52), usia pasien > 40 tahun saat admisi (OR=3,5; IK 1,19-10,47), dan waktu rujukan >48 jam (OR=11; IK 0,81-147,86). Kesimpulan : Risiko malnutrisi pasien saat admisi dan saat rawatan hari ke-7 memiliki persentase yang tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan risiko malnutrisi pasien rawat inap dewasa adalah tidak adanya rujukan kepada dokter gizi klinis, dan usia pasien > 40 tahun saat admisi. Kata kunci : malnutrisi; skrining gizi; rujukan gizi klinis; rawat inap; Malnutrition Universal Screening Tool
Pendahuluan : Human Immunodeficiency Virus (HIV) meningkatkan stress oksidatif dan mengakibatkan kerusakan oksidatif sehingga terjadi peningkatan jumlah viral load. Glutathion peroksidase (GPx) merupakan salah satu antioksidan yang melindungi sel terhadap stress oksidatif dan sebagai patokan imunitas penderita HIV. Belum ada penelitian mengenai kadar GPx pada penderita HIV dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan di Indonesia. Tujuan : Mengetahui hubungan antara kadar glutathion peroksidase (GPx) dengan Viral load (VL) pasien HIV. Material dan Metode : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional di Poliklinik Infeksi dengan 51 sampel. Pemeriksaan darah dilakukan dengan metode Elisa untuk mengetahui kadar Glutathion peroksidase. Jumlah viral load terdeteksi ( > 40 copies/mL ) ditemukan pada 17 penderita dan viral load tidak terdeteksi (< 40 copies/mL) ditemukan pada 34 penderita. Hubungan antara kadar glutathion peroksidase (GPx) dengan jumlah Viral load dianalisis dengan uji Chi Square. Hasil : Rerata umur 51 subyek penelitian 36 tahun, wanita (58,8 %), BMI overweight (23,5 %), 28 subyek (54,9%) mempunyai kadar GPx rendah (1029 U/L). Viral load terdeteksi pada 17 subyek (33,3%). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan antara kadar GPx yang rendah dengan OR 29,33 kali viral load terdeteksi (p
Latar belakang: Ketidaksesuaian antara diet yang dipreskripsikan dengan diet yang diterima pasien dapat terjadi pada pasien-pasien yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU), namun belum ada penelitian yang mengamati ketidaksesuaian tersebut. Tujuan: Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidaksesuaian antara diet yang dipreskripsikan dengan diet yang diterima pasien di ruang ICU, serta menentukan faktor yang mempunyai hubungan paling kuat dengan ketidaksesuaian tersebut. Metode: Penelitian menggunakan metode cross sectional dengan mengamati ketidaksesuaian antara diet yang dipreskripsikan di rekam medis dengan diet yang diterima pasien berdasarkan catatan pemberian diet dari bagian pantry ruang ICU. Analisis terhadap faktor-faktor yang yang diamati menggunakan uji chi-square dilanjutkan dengan uji regresi logistik. Hasil: Ketidaksesuaian antara diet yang dipreskripsikan dengan diet yang diterima pasien dalam penelitian ini adalah 70 dari 249 (28,1%) preskrispi. Hasil uji chi-square (nilai p dan OR) adalah: waktu penulisan preskripsi (p=0,239, OR=1,54); hari penulisan preskripsi (p=0,476, OR=1,29); perubahan diet dalam hari yang sama (p