Latar belakang : Menurut WHO, lansia memiliki tantangan fisik dan mental, termasuk depresi. Angka kejadian depresi dengan bunuh diri sebanyak 12,7%. Pada Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah telah terjadi peningkatan angka kejaidan bunuh diri dalam 5 tahun terakhir. Kecamatan Purwodadi berada pada urutan ketiga dengan jumlah kasus bunuh diri dan terbanyak pada usia lanjut. Tujuan: Mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan risiko bunuh diri. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional yaitu responden dilakukan observasi dan pengukuran variable pada satu waktu. Sampel adalah pengunjung Puskesmas dan Posyandu Lansia di Puskesmas Purwodadi yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode non probability sampling melalui purposive sampling. Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner GDS (Geriatric Depression Scale) dan CSSRS (Columbia-Suicide Severity Rating Scale) versi Indonesia. Hasil : Prevalensi lansia depresi sebesar 63,3% dan didapatkan hubungan yang signifikan antara depresi berat dengan risiko bunuh diri (p
Latar belakang : Berdasarkan data WHO tahun 2017, remaja Indonesia usia 13-17 tahun sebanyak 3,9% telah mencoba bunuh diri minimal satu kali dalam satu tahun terakhir. Bunuh diri merupakan sebab kematian terbanyak ke dua pada rentang umur 15-29 tahun. Penyebab utama kasus bunuh diri adalah depresi, sehingga depresi menjadi target rencana aksi kesehatan mental WHO tahun 2013-2020. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah telah terjadi peningkatan angka kejadian bunuh diri dalam 5 tahun terakhir. Kecamatan Purwodadi berada pada urutan ketiga dengan jumlah kasus bunuh diri terbanyak pada usia lanjut. Berbeda dengan data WHO bahwa jumlah kejaidan bunuh diri terbanyak saat ini adalah pada usia muda. Tujuan: Mengetahui hubungan antara depresi dengan risiko bunuh diri. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional yaitu semua responden dilakukan observasi dan pengukuran variable pada satu waktu. Sampel adalah siswa SMA N 1 Purwodadi Kabupaten Grobogan yang memnuhi criteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode simple random sampling. Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner CDI (Child Depression Inventory) dan CSSRS (Columbia-Suicide Severity Rating Scale) versi Indonesia. Hasil : Tidak terdapat hubungan langsung antara depresi dengan risiko bunuh diri pada remaja. Terdapat hubungan antara Negative Mood pada remaja yang mengalami depresi dengan resiko bunuh diri (p
Latar belakang : Laryngopharyngeal Reflux (LPR) digambarkan sebagai refluks retograd dari gaster di daerah laringofaring akibat relaksasi premature sfineter esophagus bagian atas. Tata laksananya meliputi pengaturan gaya hidup dan pola makan, terapi medikamentosa dan tata laksana bedah. Nigella sativa / jinten hitam (NS) memiliki efek sebagai anti inflamasi, anti oksidan dan gastroprotektif yang diharapkan dapat memberikan perbaikan klinis pada pasien LPR. Tujuan: Mengetahui efektivitas NS terhadap perbaikan klinis pasien LPR. Metode: Penelitian intervensi dengan metode pre dan post test design pada 34 pasien LPR di RSUP dr. Kariadi dan 2 RS satelit dari bulan November 2019-Maret 2020. Hasil : 24 pasien dengan data lengkap sedangkan 10 pasien tidak dapat dilakukan pemeriksaan RFS evaluasi karena pandemic. Kelompok perlakuan sebanyak 15 pasien diberikan omeprazol 20 mg/12 jam per oral ditambah NS 1000 mg/12 jam per oral dan kelompok control sebanyak 9 pasien diberikan omeprazol 20 mg/12 jam per oral ditambah placebo. Data diuji dengan Shapiro Wolk, diikuti uji parametric yang sesuai, dan Fisher’s exact test. Tidak didapatkan perbedaan perbaikan klinis LPR berdasarkan nilai RSI dan RFS antara kelompok yang diberikan tambahan NS dan kelompok tanpa NS, p 0,105. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan perbaikan klinis LPR antara kelompok yang diberikan tambahan NS dan kelompok tanpa NS. Kata kunci : Laryngopharyngeal Reflux, Reflux Symptoms Index, Reflux Finding Score, Omeprazol, Nigella sativa
Latar belakang : Sepuluh persen sampai 25% dari pasien diabetes mellitus (DM) tipe II memiliki kemungkinan besar mengalami kaki diabetic. Trombosis dapat menghambat proses penyembuhan luka dan menyebabkan terjadinya gangrene dan membutuhkan amputasi. Hingga kini masih sedikit tulisan yang berhubungan dengan karakteristik penderita kaki diabetic. Tujuan: Mengetahui karakteristik penderita kaki diabetic di RSUP dr. Kariadi. Metode : Penelitian ini berjenis deskriptif rektrospektif dengan studi belah lintang menggunakan data rekam medis pasien kaki diabetic di RSUP dr. Kariadi tahun 2015-2019. Hasil : Terdapat 607 pasien dalam penelitian ini. Berdasarkan data pasien tahun 2015 hingga 2019, pasien dengan rentang usia 51-60 tahun paling sering mengalami kaki diabetic, jenis kelamin perempuan (52%) mengalami kaki diabetic lebih sering dibandingkan dengan laki-laki (48%), tingkat mortalitas pasien yang mengalami kaki diabetic yaitu sebesar 20% dan tingkat survival rate pasien dengan kaki diabetic sebsar 80%, sebagian besar pasien (63%) dilakukan penanganan secara konservatif (non-bedah) dan untuk tatalaksana bedah (37%), pasien dengan berat badan overweight dan normal memiliki persentase yang sama, sebagian besar ditatalaksana dengan metode konservatif dengan dokter penyakit dalam, serta 28% pasien ditatalaksana dengan amputasi dan 8% dilakukan debridement. Kesimpulan : Pada penelitian ini didapatkan karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat mortalitas dan survival rate, manajemen serta dokter penanggung jawab dan BMI pasien kaki diabetic di RSUP dr. Kariadi sebagai upaya meninjau pasien lebih lanjut guna member manajemen yang tepat agar mendapatkan hasil yang baik bagi pasien kaki diabetic. Kata kunci : karakteristik, kaki diabetic, bedah
Latar belakang : Cedera otak merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas tertinggi di dunia, dengan prevalensi yang meningkat setiap tahunnya, hal ini terutama terjadi pada Negara berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Di Indonesia, meskioun angka kejadian tinggi, data mengenai kejadian serta karakteristik kasus-kasus pasien dengan cedera kepala masih belum banyak dipublikasikan. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk menggambarkan pola karakteristik kasus cedera kepala di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian ini adalah deskripstif dengan penelitian retrospektif menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP Dr. Kariadi pada periode 1 Januari 2019-31 Desember 2019. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan program SPSS veris 23 dan ditampilna dalam nilai rerata media, frekuensi dan persentase. Hasil : Pada studi ini dari total 333 kasus didapatkan prevalensi tertinggi kasus cedera kepala adalah pada laki-laki (63,3%) dibandingkan perempuan dan didominasi oleh kelompok usia remaja akhir (26,4%), meskipun dilihat dari pekerjaan yang terbanyak adalah pelajar (34,2%). Penyebab terbanyak kasus ini adalah kecelakaan (92,1%) dan cedera kepala ringan memiliki frekuensi tertinggi (89,7%) dibandingkan tingkat keparahan cedera kepala lainnya. Kesimpulan : Tingginya prevalensi cedera kepala yang terutama adalah akibat kecelakaan dan pada kelompok usia remaja dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah setempat untuk lebih memperhatikan kesadaran keamanan berkendara bagi masyarakat setempat baik melalui program penyuluhan maupun instrument lainnya. Kata kunci : karakteristik, cedera kepala, RSUP dr. Kariadi, periode
Latar belakang : Angka kejadian trauma vertebra di dunia tercatat sebesar 0,019% hingga 0,088% per tahun. Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa pria memiliki resiko 1,9-3,3 kali lebih besar daripada wanita untuk mengalami cedera vertebra. Namun angka kejadian tersebut berbeda pada masing-masing Negara bergantung pada beberapa faktor seperti latar belakang geografis, iklim, sosio-ekonomi, serta budaya masyarakat. Tujuan: Mengtahui gambaran epidemiologi fraktur vertebra di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif observasional Data diperoleh dari rekam medic pasien dengan fraktur vertebra di RSUP Dr. Kariadi dalam periode tahun 2015-2019. Pada penelitian ini diperoleh 358 sampel secara total sampling. Data yang dikumpulkan berupa data diri pasien, diagnosis dan lama perawatan. Kemudian data diolah menggunakan piranti lunak SPSS untuk mengetahui jumlah kasus, perbandingan kasus pada pasien laki-laki –perempuan, distribusi usia, jumlah kasus per tahun, jenis fraktur dan lama perawatan pada pasien dengan fraktur vertebra. Hasil : Angka kejadian fraktur vertebra pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 64,8% pada laki-laki dan 35,2% pada perempuan. Distribusi usia pasien yang paling banyak mengalami fraktur vertebra adalah kelompok usia > 50 tahun yaitu sebesar 41,6%. Jenis fraktur vertebra paling banyak adalah jenis fraktur vertebra lumbal yaitu sebesar 60,9%. Lama perawatan pasien fraktur vertebra paling banyak selama 5-10 hari yaitu sebesar 30,7%. Kesimpulan : Laki-laki lebih berisiko untuk mengalami trauma pada vertebra. Pada populasi kelompok usia > 50 tahun mempunyai risiko tinggi dikarenakan adanya osteoporosis primer pasca menopause. Tingginya angka kejadian vertebra lumbal pada pria berkaitan dengan trauma yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Kata kunci : fraktur vertebra, trauma
Latar belakang : Kondisi shunt terekspos adalah komplikasi yang jarang terjadi namun berat setelah pemasangan ventriculoperitoneal (VP) shunt. Belum jelas apakah kandungan protein, glukosa atau sel polimorfonuklear (PMN) dari cairan serebrospinal/cerebrospinal fluids (CSF) dapat mempengaruhi tereksposnya shunt pada individu berisiko tinggi. Tujuan: Menemukan hubungan antara parameter CSF dan tereksposnya shunt. Metode : Pemeriksaan karakteristik CSF pre-operatif termasuk kandungan warna CSF, protein, glukosa dan sel PMN pada 513 pasien dengan penyakit hidrosefalus. Uji mann-whitney digunakan untuk menentukan korelasi antara parameter CSF dan tereksposnya shunt. Hasil : Shunt yang terekspos terdeteksi di 25 kasus (4,87%). Terdapat korelasi yang signifikan antara tereksposnya ujung distal dengan glukosa pre-operatif (p=0,000), tingkat protein (p=0,007), atau jumlah sel PMN (p=0,043). Kesimpulan : Isi CSF pre-operatif memiliki korelasi yang signifikan terhadap tereksposenya shunt pada pasien hidrosefalus. Kata kunci : glukosa, protein, sel polimorfonuklear, cairan serebrospinal, shunt terekspos
Latar belakang : Respons inflamasi mempunyai peranan penting pada terjadinya stroke non hemoragik. Rasio neutrofil limfosit (RNL) merupakan pertanda inflamasi local dan sistemik. Neutrofil berhubungan positif dengan luas volume infark serta meningkatnya derajat keparahan stroke, jumlah limfosit yang rendah berhubungan dengan luaran fungsional yang buruk. Protein S100B ialah protein yang ditemukan pada sel glia. Indeks berthel merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai keluaran dalam uji klinik dan dapat memberikan penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke. Penilaian yang akurat terhadap ADL (activity dialy living) sangat membantu dalam evaluasi keberhasilan pengobatan dan rehabilitasi stroke. Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan nilai RNL dan protein S100B berdasarkan derajat keluaran klinis indeks barthel pada stroke non hemoragik. Metode : Penelitian belah lintang pada 74 pasien stroke non hemoragik di RS Telogorejo berusia 43-69 tahun periode September 2019-Maret 2020. Rasio neutrofil limfosit dihitung menggunakan alat hematologi otomatis. Kadar protein S100B diperiksa menggunakan metod e ELISA. Analisis statitik menggunakan uji beda independent T test. (p