Latar belakang: Setiap pembedahan akan menimbulkan konsekuensi nyeri termasuk pada operasi tiroid. Substansi P merupakan suatu neuropeptida elemen penting dalam proses persepsi nyeri. Penghambatan pelepasan mediator ini salah satunya dengan blok regional yakni bilateral superficial cervical plexus block(BSCPB). Anestesi lokal dengan ketamin merupakan salah satu metode penanganan nyeri pascabedah yang memberikan efek analgesia preemptif. Tujuan:Mengetahui pengaruh adjuvan ketamin 0,25 mg/kg pada BSCPB terhadap kadar substansi P serum pada pasien tiroidektomi dengananestesi umum. Metode: Penelitian ini merupakaneksperimental acak tersamar ganda yang mengikutsertakan 48 pasien yang menjalani tiroidektomi dengan anestesi umum yang dibagi dalam 3 kelompok yang memenuhi kriteria penelitian. Kelompok N mendapat BSCPB plasebo yakni normal salin 0,9%. Kelompok B mendapat BSCPB bupivakain 0,25% dan kelompok K mendapat BSCPB bupivakain 0,25% dengan adjuvan ketamin 0,25 mg/kg. Masing-masing kelompok diberikan volume infiltrasi 15ml. Pasien diintruksikan menggunakan visual analog score(VAS). VAS dinilai jam ke-1 dan 12 pasca operasi. Sampel darah substansi P diambil sebelum tindakan blok dan 12 jam pasca operasi. Hasil:Pada penelitian ini dengan tingkat kepercayaan 95%, terlihat bahwa terdapat pengaruh pemberian blok BSCPB baik dengan adjuvan maupun tanpa adjuvan terhadap kadar substansi P dan nilai VAS pada tiroidektomi dengan anestesi umum (p < 0,05). Kebutuhan opioid perioperatif juga lebih rendah untuk kelompok B dan K dibandingkan dengan kelompok kelompk N (p < 0,05). Namun kadar substansi P dan nilai VAS 12 jam pasca operasi tidak berbeda antara kelompok B dan K (p > 0,05). Simpulan:Penggunaan blok BSCPB baik bupivacain 0,25% maupun dengan adjuvan ketamin 0,25 mg/kg terbukti efektif sebagai analgetik perioperatif maupun pasca operasi pasien tiroidektomidengan anestesi umum. Dimana penggunaan blok BSCPB terbukti menurunkan kadar substansi P dan nilai VAS 12 jam pasca operasi, serta kebutuhan opioid perioperatif. Kata kunci: BSCPB, ketamin, substansi P, tiroidektomi, VAS
Latar Belakang : Nyeri merupakan salah satu masalah yang paling konsekuensial yang disebabkan setelah prosedur invasif. Pengelolaan nyeri pasca operasi tonsilektomi adalah tugas yang sulit, hal tersebut dmengakibatkan berkurangnya asupan gizi secara oral, perawatan yang lama di rumah sakit, dan keterlambatan dalam kembali ke aktivitas normal. Di era BPJS, pemerintah lebih bijak menentukan tarif. Rumah Sakit ditekan dengan biaya rendah namun memberikan pelayanan yang optimal. Sebagai ahli anestesi harus memiliki metode dalam mengurangi morbiditas pasca operasi. Nyeri pasca tonsilektomi diyakini dimediasi oleh stimulasi dari serabut saraf aferen C-fiber yang terletak di ruang peritonsillar, dan infiltrasi anestesi lokal ke daerah ini dapat menurunkan rasa sakit dengan memblokir jalur sensorik dan dengan demikian mencegah impuls nosiseptif. Infiltrasi Peritonsillar ketamin sendiri atau dalam kombinasi dengan epinefrin dapat mengurangi VAS (Visual Analog Score) dan penggunaan opioid. Tujuan : Evaluasi efektivitas ketamin pada blok peritonsiller dan pengelolaan nyeri pasca operasi setelah tonsilektomi. Metode : Dua perempuan di dekade kedua dan ketiga mereka dijadwalkan untuk tonsilektomi elektif. Premedikasi midazolam menggunakan 3 mg, induksi menggunakan propofol 2 mg / kg intravena, dexametason 10 mg intravena, di cuffed dengan sevofluran, dan dilakukan intubasi. Operasi itu berlangsung 10 menit, menggunakan teknik diseksi, kami melakukan blok peritonsillar di fossa peritonsillar menggunakan ketamin 0,1 mg / kgBB dan lidokain cum adrenalin 1: 200.000 sebagai pelarut, 2 ml volume diterapkan di setiap tonsil sebelum ekstubasi. Kami mengevaluasi nyeri pasca operasi dengan menggunakan skala VAS pada 1 jam, satu jam 6 pasca operasi. Kami juga menilai komplikasi yang mungkin terjadi pasca op. Hasil : Satu jam observasi, semua pasien yang mengalami sakit ringan, dan pengamatan setelah enam jam tidak memiliki rasa sakit, dan hal ini mengurangi penggunaan opioid atau NSAID. Muntah sebagai komplikasi terjadi hanya pada pasien pertama, dan diberikan antiemetik. Semua pasien dipulangkan dari rumah sakit 8 jam setelah operasi, dan diberikan asam mefenamat 500 mg per delapan jam per oral. Kesimpulan : Blok peritonsillar menggunakan ketamin dan lidocain cum adrenalin 1:200.000 sebagai pelarut efektif untuk meminimalkan nyeri pasca operasi tonsilektomi di kedua pasien hingga 6 jam pasca op, dan secara signifikan mengurangi kebutuhan opioid atau NSAID analgetik. Kata kunci : Manajemen nyeri pasca operasi, infiltrasi peritonsillar, ketamin.
Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin jantung paru. Penggunaan mesin jantung paru menyebabkan respon inflamasi yang besar dan ditandai dengan leukositosis (neutrophil). Salah satu cara untuk mengurangi produksi neutrophil ini dengan menggunakan dexamethason, ada beberapa teknik pemberian deksametason diantaranya cara premedikasi dan priming. Tujuan: Membandingkan dexamethason 1 mg/kgBB sebagai premedikasi dan dexamethason 1 mg/kgBB saat priming terhadap jumlah neutrofil post CPB pada operasi jantung. Metode: Penelitian ini merupakan percobaan klinik secara acak yang mengikut sertakan 18 pasien bedah jantungg anti katup dengan general anestesi dan menggunakan mesin jantung paru. Sampel dibagi 2, antara pemberian deksametason teknik premedikasi dan teknik priming. Kelompok premedikasi mendapatkan deksametason 1 mg/kgbb setelah induksi, kelompok priming mendapatkan deksametason 1 mg/kgbb pada mesin jantung paru. Dengan membandingkan jumlah neutrophil pada masing-masing teknik antara preoperasi dan post operasi. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan penurunan produksi neutrophil batang untuk teknik premedikasi dengan (p = 0,048) dan terjadi peningkatan neutrophil batang pada teknik priming (p = 0,012). Namun pada pemeriksaan neutrophil segmen terjadi peningkatan yang tidak bermakna untuk teknik premedikasi (p = 0,086) dan peningkatan yang bermakna untuk neutrophil segmen untung teknik priming (p = 0,012). Simpulan: Pemberian dexamethasone 1 mg/kgbb dengan teknik premedikasi terbukti menurunkan jumlah neutrophil batang pada pemeriksaan paska operasi bila dibandingkan pemberian dengan teknik priming. Namun tidak terbukti pada jumlah neutrophil segmen. Kata kunci: CPB, deksametason, neutrophil, premedikasi, priming
Latar Belakang: Labioplasti merupakan salah satu tindakan pembedahan yang banyak dilakukan pada pasien pediatri. Anestesi terpilih pada operasi labioplasti yaitu general anestesi dengan agen inhalasi sevoflurane. Efek samping sevoflurane yang sering muncul adalah agitasi pasca anestesi.. Beberapa obat sering digunakan untuk mengurangi agitasi pasca anestesi dengan agen inhalasi sevoflurane, diantaranya difenhidramin dan klonidin. Tujuan: Membandingkan pengaruh pemberian difenhidramin dan klinidin intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi terhadap insiden agitasi saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum dengan gas inhalasi sevofluran. Metode: Dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized, double-blind, controlled trial pada 50 pasien pediatri sebagai subjek penelitian yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing-masing kelompok terdiri dari 25 anak yang menjalani operasi labioplasti dengan anestesi umum inhalasi menggunakan agen inhalasi sevoflurane. Kelompok I mendapat perlakuan injeksi difenhidramin 0,5 mg/kgbb 15 menit sebelum agen inhalasi dimatikan. Kelompok II mendapat klonidin 2 mcq/kgbb 15 menit sebelum agen inhalasi dimatikan. Dievaluasi kejadian agitasi dengan membandingkan skor PAEDS pre operasi, 1 menit post ekstubasi, saat mulai pulih sadar, dan 15 menit post ekstubasi. Hasil: Penelitian ini menunjukan bahwa klonidin lebih efektif dibandingkan dengan difenhidramin dalam menurunkan angka kejadian agitasi dan emergence delirium pasca anestesi umum dengan sevofluran pada pasien pediatrik, tetapi tidak berbeda bermakna dengan nilai p≤0,05 Kesimpulan: Pemberian klonidin intravena sebelum ekstubasi lebih efektif dibandingkan dengan difenhidramin dalam menurunkan angka kejadian agitasi saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik yang menjalani labioplasti dengan gas inhalasi sevofluran tetapi tidak berbeda bermakna Kata Kunci : Sevoflurane, Agitasi, PAEDS Score, klonidin, difenhidramin
Latar belakang: Kraniotomi adalah salah satu prosedur bedah rutin dilakukan dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Surgical Apgar score SAS) adalah skoring yang berdasarkan pada tiga parameter fisiologis yang mudah dihitung: perkiraan jumlah kehilangan darah, denyut jantung (HR) terendah, dan tekanan arteri rerata (MAP) terendah selama periode intra-operatif. SAS juga telah dikaitkan dengan mortalitas pasca operasi bedah saraf oleh semua penyebab dalam studi kohort bedah saraf besar. SAS juga bermanfaat dalam prediksi morbiditas pasca operasi bedah saraf selain kematian Tujuan: Megetahui hubungan antara Surgical Apgar Score (SAS) dengan kejadian morbiditas dan mortalitas pasca operasi pasien kraniotomi elektif di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cohortre trospektif Total sampel pasien bedah saraf yang menjalani kraniotomi elektif periode Juli – Desember 2016 adalah sebesar 175 pasien. 153 pasien memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik pasien kemudian dikelompokkan menjadi jenis kelamin, dan kelompok umur. Dari data rekam medis pasien, dicatat skor SAS, morbiditas dan mortalitas yang terjadi pasca operasi dan selama perawatan. Untuk melihat hubungan SAS dengan morbiditas dan mortalitas di uji dengan pearson chi square test Hasil: Pada penelitian ini didapatkan Mortalitas pasca operasi sebanyak 5,9%. Sebanyak 34 (22,2%) pasien memiliki morbiditas danmortalitas selama perawatan dengan komplikasi terbanyak adalah perdarahan yang membutuhkan 4 unit transfusi sel darah merah dalam waktu 72 jam diikuti dengan acute kidney injury dan koma. Setelah stratifikasi SAS, 85 (55,6%) pasien dikategorikan sebagai resiko sedang dengan nilai mean SAS 6,16 (± 0,80), 39 (25,5%) pasien resiko rendah dengan nilai mean SAS 8,33 (± 0,48) dan 29 (19%) pasien adalah resiko tinggi dengan nilai mean SAS 2,9 (± 1,11). Dari keseluruhan 34 pasien yang mendapatkan morbiditas dan mortalitas, mayoritas pasien (86,3%) yang memiliki morbiditas dan mortalitas berada pada kategori resiko tinggi. Pada kelompok resiko rendah tidak ada morbiditas dan mortalitas dibandingkan kelompok resiko sedang, dan kelompok resiko sedang (14,7%) memiliki morbiditas dan mortalitas lebih sedikit dibandingkan kelompok resiko tinggi dengan hasil berbeda bermakna ( P = 0,000) Simpulan: Skor SAS memiliki korelasi bermakna dengan kejadian morbiditas atau mortalitas. Kejadian morbiditas dan mortalitas terbanyak didapatkan pada angka ≤4 Kata kunci: SAS, kraniotomi, morbiditas, mortalitas
Latarbelakang :Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih setelah intubasi endotrakea dan ditandai dengan infiltrate progresif atau yang baru terjadi, infeksi sistemik, perubahan sputum, dan ditemukan penyebabnya. VAP merupakan infeksinosokomial paling sering pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik. Kejadian VAP merupakan separuh kasus pneumonia yang didapatkan di rumah sakit. Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri yang lain diperoleh data bahwa kejadian VAP bervariasi antara 9-27% angka kematiannya 27% bahkan sudah mencapai 43%. Sekitar 63% pasien VAP yang dirawat adalah pasien pasca pembedahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Rello dkk, bahwa insiden dan angka mortalitas pasien VAP tinggi terutama pada pasien pasca trauma sebanyak 28-40%. Namun di ruang ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang angka kejadian VAP justru sangat rendah bahkan mencapai 0% sehingga menyebabkan munculnya sebuah tanda tanya. Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan, berakibat buruk pada lama rawat di ICU, lama penggunaan ventilator, dan biaya rawat inap. Dalam beberapa studi yang dilakukan di luar negeri, pemeriksaan kultur secret merupakan gold standard guna menegakkan diagnosis VAP. Tujuan : Mencari kejadian VAP pada pasien pasca pembedahan di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan pemeriksaan kultur secret sebagai penunjang diagnosis. Metode : Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan menggunakan 16 sampel pasien yang dilakukan pemeriksaan kultur secret pada saat dilakukan awal perawatan pasca pembedahan dengan menggunakan ventilator mekanik di ICU dan kultur secret pada saat 48 jam pemakaian ventilator. Hasil : Didapatkan sebanyak 4 pasien (25%) disimpulkan oleh peneliti terdiagnosis VAP. Penegakan diagnosis berdasar pertumbuhan kuman yang ada pada pemeriksaan kultur secret pertama dan kedua. Kesimpulan : Pemeriksaan kultur secret merupakan pemeriksaan penunjang diagnosis yang akurat pada penegakan diagnosis VAP, dan untuk mengetahui jenis kuman yang berkembang, sehingga dapat dilakukan pengobatan secara tepat. Kata Kunci :Ventilator Associated Pneumonia, ventilator mekanik, kultursekret.